http://foto.okezone.com/view/2013/11/17/1/12100/tolak-penangguhan-upa
Gubernur DKI, Ahok, memang sudah menolak penangguhan upah yang diajukan pengusaha. Namun, bukan berarti penangguhan upah tidak terjadi di lapangan. Berdasarkan pengaduan dari buruh di KBN Cakung, beberapa perusahaan masih ada yang mengupah buruhnya sebesar Rp 2,5 juta, padahal keputusan UMP DKI (Upah Minimum Provinsi DKI) adalah Rp 2,7 juta. Perusahaan lain, di beberapa tempat mungkin banyak lagi yang melakukan hal sama. Bukan hanya itu, pengusaha tidak kehabisan akal juga siasat. Insentif cuti haid yang sudah diberikan selama bertahun-tahun ditiadakan guna menghemat ongkos yang dikeluarkan untuk tenaga kerja. Lebih jauh lagi, perampasan jam kerja menjadi pilihan paling jitu. Mengingat selama belasan tahun, perampasan jam kerja melalui “skors” atau “molor” (lembur tidak dibayar) selalu berhasil memperkaya perusahaan dan mencekik leher buruh.
Penangguhan Upah Batal, Insentif Cuti Haid Dihilangkan
Insentif cuti haid biasanya diberikan per bulan kepada buruh perempuan sebagai pengganti waktu istirahat dua hari pertama haid. Artinya, cuti haid buruh perempuan diuangkan agar buruh perempuan tetap masuk kerja meski sedang haid atau sakit ketika haid. Besaran insentif cuti haid pun beragam dari yang cuma sebesar Rp 30.000,00 hingga Rp 300.000,00. Dengan insentif ini, pihak perusahaan menginginkan buruh perempuannya tidak mengambil istirahat dua hari per bulan ketika haid. Bagi perusahaan, bila buruh perempuan tidak masuk kerja karena cuti haid, maka akan menghambat produktivitas perusahaan. Target akan sulit diraih dan keuntungan bisa berkurang. Sehingga, insentif cuti haid pengganti cuti haid akan menghasilkan kinerja yang efektif dan efisien. Keberadaan insentif cuti haid inipun bagi buruh perempuan dirasa penting karena menambah penghasilan buruh perempuan untuk keluarga.
Menyusul ditolaknya penangguhan upah yang diajukan perusahaan oleh Ahok, perusahaan di KBN Cakung dengan kompak menghilangkan insentif cuti haid. Dengan penghapusan insentif cuti haid, perusahaan beranggapan sedang menghemat ongkos produksi. Namun, buruh perempuan diperbolehkan mengambil cuti haid yakni beristirahat pada dua hari pertama haid. Tentu saja dengan persyaratan, memberikan surat dokter yang menyatakan buruh perempuan tersebut sakit ketika haid dan boleh beristirahat.
Celah inilah yang dipakai perusahaan untuk mempersulit buruh perempuan yang mau mengajukan cuti haid. Sebab, mengajukan cuti haid dengan menghadap ke pengawas atau personalia membutuhkan keberanian lebih. Keberanian lebih ini dibutuhkan karena relasi antara pengawas dan personalian (atasan) adalah relasi kuasa. Yang artinya, atasan lebih berkuasa dibandingkan buruh yang secara struktur perusahaan adalah bawahannya. Rasa takut buruh perempuan itu didukung dengan status kerjanya yang kontrak, borongan atau harian lepas.
Rasa takut ini bisa ditembus bila buruh bisa berjuang bersama untuk mendapatkan cuti haid. Pengalaman di suatu perusahaan di KBN Cakung misalnya, 100 buruh perempuan dalam satu hari mengajukan cuti haid di waktu bersamaan. Personalia tidak berkutik menghadapi 100 buruh perempuan yang datang kepadanya dan mengajukan cuti haid. Pelajaran pentingnya adalah satu buruh perempuan mengajukan cuti haid mungkin sedikit saja kekuatannya, tapi bila bersama-sama, ia bisa menembus ketakutan dan melipatgandakan keberanian.
Banyak Kerja Tapi Makin Miskin
Siasat lain setelah penangguhan upah gagal diterapkan adalah perpanjangan jam kerja melalui lembur tidak dibayar. Lembur tidak dibayar di KBN Cakung sering disebut dengan istilah “skors” dan di beberapa tempat lain disebut “molor”, dan mungkin ada lagi sebutan lainnya di lain tempat. Istilah “skors” berawal dari bentuk sanksi bila buruh tidak berhasil memenuhi target kerja. Misal, sampai jam pulang kerja, yakni jam 4 sore, ternyata buruh belum memenuhi target produksi sebanyak 100 helai baju. Sebagai bentuk sanksi, buruh tidak diperbolehkan pulang dan harus bekerja sampai target terpenuhi. Alhasil, buruh pulang jam 6 sore. Hanya saja, kerja buruh dari jam 4 sore sampai jam 6 sore tidak dianggap lembur dan tidak dibayar. Untuk menghilangkan bukti, personalia mengedarkan absensi pulang jam 4 sore yang ditandatangani oleh buruh. Peristiwa inilah yang dialami oleh Atly Serita (baca http://dev.marsinah.id/menjadi-ibu-sekaligus-ayah-dan-aktif-berorganisasi-4/).
Siasat pengusaha ini berjalan selama belasan tahun di KBN Cakung dan metodenya pun berkembang. Misal, masuk kerja lebih awal dari jam masuk kerja. Ini marak terjadi, dimana buruh masuk kerja jam 6 pagi meski jam kerjanya sebenarnya mulai jam 7 pagi. Artinya buruh bekerja satu jam lebih awal dan satu jam kerja tersebut tidak dibayar. Saat jam istirahat, yang mestinya satu jam, buruh hanya beristirahat setengah jam. Setengah jam kerja di jam istirahat ini tidak dibayar oleh pengusaha. Pun demkian dengan jam pulang kerja. Kadang, karena rasa takut yang sangat kuat di diri buruh, ia menjalani praktek di atas meski pengusaha melalui pengawas dan personalianya tidak menyuruh. Para atasan memang tidak menyuruh tapi setiap hari mereka menciptakan ketakutan dengan omelan, makian yang mempertajam relasi kuasa (menindas) atasan pada bawahan.
Setelah penangguhan upah gagal diterapkan, perpanjangan jam kerja melalui lembur tanpa bayar semakin menggila. Buruh semakin tak punya waktu untuk dirinya sendiri, keluarga, apalagi berjuang dan berorganisasi. Banyak kerja, tapi makin miskin. Demikianlah gambaran buruh di KBN Cakung. Apa yang dialami oleh buruh KBN Cakung, mungkin saja juga dialami oleh buruh di tempat lain. Bisa jadi tempat lain kondisinya lebih parah.
Namun, selalu saja ada yang melawan praktek lembur tidak dibayar seperti Atly Serita, Sri Jumiati, Thinkoesna dan masih banyak lagi buruh lainnya. Keberanian-keberanian ini dibutuhkan lebih banyak dan tidak bisa sendiri-sendiri. Proses belajar melampaui ketakutan, bertransisi dari takut jadi berani, dari sendiri jadi bersama-sama, akan menjadi kekuatan. Kemudian, jadilah peringatan buat para atasan. Awas! Buruh bisa marah.