Senin, 12 Juni 2023, beberapa organisasi dan Serikat Pekerja/ Serikat Buruh, Komisi VIII DPR RI mengundang beberapa organisasi dan Serikat Pekerja/ Serikat Buruh (FSBPI, Gajimu.com, Komite Perempuan Industriall, Komnas Perempuan dan Klayana Mitra) untuk memberikan masukan terkait RUU KIA (RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak).
Dalam kesempatan tersebut, Ketua Umum FSBPI, Dian Septi Trisnanti menyampaikan supaya RUU KIA tidak membebankan tanggung jawab pemeliharaan kehamilan, pengasuhan anak kepada ibu saja. Hal senada juga diungkapkan oleh Rena Heridiani, Wakil Ketua Keorganisasian Kalyanamitra, dimana RUU KIA masih bias gender karena menempatkan tanggung jawab utama pemeliharaan janin dan pengasuhan anak pada perempuan sebagaimana tercantum pada pasal 12.
Selain itu, cuti hamil maksimal enam bulan dengan nominal upah 75% dari UMP (Upah Minimum Provinsi) seperti yang tercantum dalam Pasal 5 ayat (2) dinilai diskriminatif bagi ibu melahirkan yang mengalami kondisi khusus, diantaranya adalah mengalami sakit. “Adanya ketentuan ini akan membuat ibu yang bekerja memilih tetap bekerja dan tidak akan mengaku sakit supaya tidak mengalami penurunan upah”, ucap Dian Septi Trisnanti.
Gajimu.com, yang diwakili oleh Dela Feby Situmorang menunjukkan fakta – fakta pelanggaran maternitas (cuti haid, hamil dan melahirkan, keguguran, hingga menyusui) di tempat kerja. Dari fakta yang terangkum, tingkat kepatuhan perusahaan terhadap pemenuhan hak buruh ibu masih rendah, padahal merupakan hak normatif. “Hak menyusui misalnya, masih sulit terpenuhi karena sistem kerja target dan jauh dari ruang produksi.” Tambah Dela. Dengan demikian, klausul pemenuhan hak buruh ibu di tempat kerja yang masih mempertimbangkan capaian target kerja lebih baik dihilangkan. Sistem kerja target, dinilai menjadi akar masalah yang membahayakan bagi buruh ibu.
Sementara, Andi Yentriani dari Ketua Komnas Perempuan, mengapresiasi upaya pemenuhan cuti enam bulan yang tentu saja tidak mudah. Namun, sungguh demikian, RUU KIA ini harus disinkronkan dengan Peraturan Perundangan lain seperti UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja yang belum mengakomodir secara komprehensif hak ibu dan anak di ruang kerja. Terlebih, menurut Ita Purnamasari, Departemen Advokasi FSBPI, pekerja bukan hanya di sektor formal namun juga informal yang ruang kerjanya bisa di ranah privat atau rumah dan kondisinya jauh lebih rentan. Di sisi lain, jaminan sosial atau perlindungan sosial bagi buruh ibu masih terbatas, semisal pemeriksaan USG yang masih belum ditanggung BPJS dan sulitnya buruh ibu melakukan cek up karena sulit mendapatkan ijin dari atasan.
Tak hanya buruh ibu yang berhak mendapatkan cuti hamil, namun juga para suami, yaitu sebanyak dua hari. Pasal 7 ayat (3) draft RUU KIA menyebutkan selain cuti dua hari, suami berhak mendapatkan ijin waktu secukupnya. Terkait pasal ini, Dian Septi Trisnanti mengajukan supaya direvisi menjadi “Suami berhak mendapatkan cuti tambahan”, bukan ijin waktu tambahan yang berpotensi pada pengurangan upah suami sebagai buruh.
Menanggapi aspirasi dari berbagai organisasi dan Serikat Pekerja/ Serikat Buruh, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Diah Pitaloka, mengajak kepada organisasi dan Serikat Pekerja/ Serikat Buruh supaya memberikan masukan pasal per pasal yang ada dalam draft RUU KIA, karena tidak mungkin menarik kembali draft RUU KIA yang sedang berjalan. Betul, bahwa berbagai faktor sosial ekonomi politik memunculkan problem ibu dan anak sehingga berbagai UU yang mengatur hak normatif sekalipun masih belum berjalan. “Tapi mari jadikan kesempatan masukan bagi RUU ini supaya menghasilkan kebijakan yang lebih baik bagi perlindungan dan kesejahteraan ibu dan anak”
“Kami sebenarnya punya harapan dicapitalized dalam RUU KIA karena kalau draft RUU ini menyatakan dikembalikan lagi ke Peraturan Perundangan lain seperti UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja, ya sama saja karena UU terkait itu bermasalah” Ucap Andi Yentriani, menutup pendiskusian.
Dalam kesempatan ini pula, 6 organisasi dan Serikat Pekerja/ Serikat Buruh, menyerahkan draft masukan terhadap RUU KIA. Harapannya, ruang untuk menyerap aspirasi masyarakat sipil terus berlanjut dan tidak terburu – buru agar tujuan kesejahteraan ibu dan anak bisa tercapai tanpa diskriminasi atau jebakan domestifikasi kepada perempuan.