Pada momentum peringatan International Womens’ Day (IWD) atau Hari Perempuan Internasional, kabar anti-demokrasi kembali terdengar. Rezim pemerintahan Joko Widodo, yang didalamnya telah bergumul pada pemodal kawakan, lagi-lagi menunjukkan wajah beringasnya di hadapan massa rakyat. Pada tanggal 9 Maret 2021, Nining Elitos, ketua umum Konfederasi Kongres Aliansi Buruh Indonesia (Konfederasi KASBI) mendapatkan panggilan kepolisian untuk dimintai keterangannya berkaitan dengan aksi peringatan IWD di Jakarta.
Dalam panggilan ini, Nining Elitos dinyatakan berstatus sebagai Terlapor karena dugaan turut campur dalam perkumpulan yang bermaksud melakukan kejahatan atau menghasut untuk melakukan sesuatu perbuatan yang melawan hukum dan/atau karena melanggaran peraturan kekarantinaan kesehatan. Pandemi, lagi-lagi dijadikan dalih untuk melakukan tindakan anti-demokrasi. Di sisi lain, gerak modal dalam melakukan ekspolitasi terhadap alam dan manusia tak pernah dibatasi, malah bahkan difasilitasi.
Adalah bahaya yang patut diwaspadai, bahwa pemanggilan Nining Elitos dapat berujung pada kriminalisasi. Kriminalisasi seorang perempuan-pemimpin buruh yang bersuara di Hari Perempuan Internasional. Hal ini linier dengan kecenderungan politik belakangan ini. Berdasarkan data YBLHI, pada 2019 terdapat 47 kasus dugaan kriminalisasi masyarakat sipil dengan jumlah korban 1.019 orang. Dari kasus-kasus ini, 21% merupakan kriminalisasi yang berkaitan dengan isu kebebasan berpendapat. Sementara pada 2020, pelanggaran hak dan kebebasan sipil dilakukan dalam bentuk: pelanggaran hak berekspresi atau berpendapat secara lisan 26(%); pelanggaran hak menyampaikan pendapat melalui unjuk rasa (25%); dan pelanggaran hak berekspresi atau berpendapat secara digital (17%). Hal ini semakin menegaskan corak neoliberal pemerintahan Indonesia. Represi, agresivitas ekspansi modal, dan eksploitasi bergerak seiring sejalan. Kebebasan berserikat dan menyampaikan pendapat sebagai hak dasar rakyat, secara gradual dipersempit.
Di situasi pandemi Covid-19, aparat represi negara tampak bergerak semakin bebas dalam melakukan pengekangan hak-hak sipil dengan dalih pandemi. Pada kasus Nining Elitos, pengekangan ini tampak jelas dilakukan, salah satunya, melalui penggunaan aturan hukum pengentasan pandemi. Di sisi lain, jaminan hak rakyat -yang juga diatur dalam aturan yang sama- morat marit pemenuhannya. Anggaran yang semestinya diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan langsung rakyat digunakan untuk program Kartu Pra-Kerja yang memberi manfaat besar kepada platform-platform digital dan sebagian lainnya dikorupsi. Kemakmuran selalu berputar pada kelas berpunya. Sementara, norma-norma hukum dimanfaatkan pemerintah agar tindakan anti-demokrasi memperoleh selubung yang legal.
Kecenderungan negara dalam menggunakan pendekatan keamanan (security approach) dalam menghadapi demokrasi yang substansial seakan menjadi tradisi yang belum mereda, bahkan setelah reformasi. Dwi-Fungsi ABRI yang telah lama dicabut seolah bangkit dari kubur dan hidup dalam bentuk barunya: negara polisi. Kondusifitas, demi langgengnya kekuasaan politik dan modal, menjadi prioritas dalam operasionalisasi negara. Daulat rakyat hanya menjadi teks konstitusi semata tanpa benar-benar hidup dalam praktik politik. Secara ekonomi, rakyat dimiskinkan. Secara politik, rakyat dikekang.
Indonesia tampak tengah melangkah balik kepada masa otoritarianisme. Konsolidasi kekuasaan semakin solid, bersekutu dalam merampas apa yang secara mendasar dimiliki rakyat: hak asasi. Kelas berpunya, yang secara naluriah cenderung menindas, melakukan apa saja demi mempertahankan kuasa. Gerakan massa rakyat hendak ditumpas, sehingga proses penghisapan untuk mengakumulasi laba berjalan sejadi-jadinya.
Nining Elitos merupakan salah satu corong mengenai pekik ketertindasan rakyat. Ancaman kriminalisasi terhadap Nining Elitos telah semakin memperjelas bahwa posisi rakyat dan negara-pemodal adalah berhadap-hadapan. Kehadiran perempuan yang berdaya telah membuat kekuasaan yang begitu maskulin sangat ketakutan sehingga ancaman menjadi satu-satunya jalan yang ditempuh.
Aksi peringatan IWD harusnya dimaknai sebagai ekspresi perlawanan terhadap ketidakadilan ekonomi dan gender. Namun, Negara memiliki kepentingan yang berbeda terhadap hal ini. Rakyat yang telah lama dihisap hasil kerjanya, diupah sekedarnya untuk bertahan hidup, berada pada posisi subordinat dari kelompok kecil yang berkuasa, mesti bersatu suara dalam hal ini. Kriminalisasi terhadap Nining Elitos dan terhadap seluruh aktivis pro-demokrasi haruslah mendapat perlawanan yang hebat dari rakyat.