Search
Close this search box.

Merebut Keadilan di Hari HAM

Rintik hujan menemani perjalanan kami ketika sore tiba. Tepat di seberang istana, warna – warni balon menghiasi taman aspirasi. Puluhan orang dari beragam kelompok sedang mempersiapkan instalasi seni berupa pameran foto, layar, in focus dan sound. Tak lupa miniatur gurita berwarna hijau yang dikelilingi balon warna warni. Banner berlukiskan wajah Munir berdiri tegak seolah menegaskan diri belum mati meski raga sudah binasa.

Jarum jam menunjuk angka 7 malam ketika acara dimulai. Tampak di layar, wajah seorang ibu berambut putih dengan baju hitam menunjukkan ia masih berduka. Ibu itu bernama Sumarsih, yang setiap Kamis, sejak 11 tahun silam setia berdiri di sebrang istana menyampaikan tuntutan ditegakkannya keadilan bagi puteranya yang tewas dihujam peluru oleh tentara Orde Baru, pada peristiwa Semanggi I. Di usianya yang semakin renta, Bu Sumarsih konsisten berjuang menagih janji sang presiden.  “Negara mengkhianati saya” Tegas Bu Sumarsih, mengenang pengabdiannya kepada negara selama ini sebagai pegawai negeri sipil. Sebelum Wawan tewas dihujam peluru, Bu Sumarsih bekerja di sekretariat jendral DPR RI. Ia tulus mengabdi pada negara, sampai pada suatu hari Wawan tewas tanpa keadilan dipenuhi. Rasa kecewa mendalam membuat Ibu Sumarsih menolak segala tunjangan dari negara, ia hanya meminta satu. Keadilan bagi anaknya. Sebuah nyawa mungkin tidak bisa kembali, namun keadilan satu nyawa akan bisa berpengaruh pada sebagian besar rakyat, agar tidak lagi terulang dan membuka pintu keadilan bagi banyak orang, terutama rakyat kecil.

Aksi kamisan di sebrang istana sudah berlangsung 115 kali dan  kini sudah tersebar di 10 kota. Sebuah perjuangan dengan nafas panjang, mengingat banyaknya kasus pelanggaran HAM yang belum tuntas. Yang pasti, Bu Sumarsih tidak sendiri. Keluarga korban pelanggaran HAM hingga hari ini terus bergerak membayangi setiap presiden terpilih dengan tuntutan atas keadilan.

Bapak Widodo, salah satu orang tua korban yang tewas pada peristiwa Semanggi I menyatakan kekecewaan di malam peringatan HAM tersebut. “Di Indonesia, koruptor bisa dibiarkan bebas, pencuri ayam ditangkap tapi anak saya dibunuh dibiarkan, pembunuh anak saya tidak ditangkap!” ucap pak Widodo geram. Kegeraman pak Widodo mewakili suara para penyintas. Menurut Ibu Sumarsih, negara menunggu kematian para orang tua korban, hingga suara menuntut keadilan tidak lagi terdengar.

Di akhir acara, saya membacakan sebuah puisi karya seorang buruh pabrik tentang ibu Sumarsih

 

Sumarsih menanti keadilan

 

Sebelas tahun aku berdiri disebrang istana mu

Sebelas tahun aku menanyakan tentang keadilan mu

Sebelas tahun juga aku menanti jawaban mu

Dan sampai detik ini kau bungkam

 

Apakah tembok mu terlalu tebal

Sehingga suara ku tak terdengar

Apakah lantai mu terlalu suci

Sehingga perempuan senja tak layak untuk masuk istana mu

 

Aku rakyat mu, yang sedang menanti jawaban mu

Aku, dia dan mereka sadar keluarga kami tak akan pernah kembali

Tetapi aku ingin keadilan untuk aku rakyat mu

Sumarsih tetap berdiri untuk keadilan…

 

10 Desember 2017

 

YNR

 

Selain film tentang ibu Sumarsih yang berjudul “KAMIS”, beberapa film dokumenter pendek yang lain juga diputar dengan tema- tema pelanggaran HAM, diantaranya tentang warga pulau Pari yang dikriminalisasi karena menggalang dana untuk kelestarian pulau Pari, warga Sampang Syiah yang rumahnya dibakar dan diusir dari tanah kelahirannya sendiri, hingga penambangan batu baru yang merampas ruang hidup warga. Dari semua derita itu, ia menjadi suara perlawanan. Tabik pada semua pejuang, kami belajar banyak padamu, terimakasih telah menjadi inspirasi dari kami.

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Memaknai Kemerdekaan yang Sesungguhnya

Bangsa Indonesia tengah merayakan peringatan hari kemerdekaan yang ke 76 tahun. Sebuah peristiwa yang sangat bersejarah dalam pertarungan sebuah bangsa untuk mendirikan Negara Republik yang

Eyang Sri: Peran Perempuan Dalam Kemerdekaan

tulisan ini adalah hasil wawancara tim marsinah fm dengan Sri Sulistyawati (eks anggota Gerwani) Eyang Sri, demikian kami memanggilnya, menyambut kami dengan hangat, mana kala

 B A M B U P E R E M P U A N

Dalan pergolakan Ibu Pertiwi  Membanjiri asa yang haus kemerdekaan  Menerpa sanubari untuk kesejahteraan Dalam serbuan bambu yang akan menyatu Gerakan bambu ada persatuan Teruskan bunyi

Suara Buruh Episode 30 Juni 2015

Suara Buruh episode 30 Juni 2015 hadir dengan rangkaian berita aksi Buruh Volstek yang terus melawan, Cerita miris buruh KBN Cakung dan Perkenalkan “Ide Band”

Gelombang Perlawanan Perempuan Iran, Tentang Mereka yang Menolak Redam

Kematian Amini memicu gelombang aksi protes di berbagai kota. Di sepanjang aksi – aksi protes,  pengunjuk rasa meneriakkan slogan “Perempuan, Hidup dan Kebebasan” (Woman, Life, Freedom). Slogan ini mengejewantahkan amarah pengunjuk rasa kepada rejim yang sibuk merepresi perempuan dan abai mengeluarkan kebijakan yang lebih fundamental seperti perbaikan kesejahteraan rakyat, padahal satu dari tiga warga Iran hidup di bawah garis kemiskinan. Lebih jauh lagi, slogan tersebut berasal dari gerakan pembebasan perempuan Kurdish di Turki dan Syria yang mengalami penindasan berbasis etnik selama puluhan tahun.

Apa Manfaat Berserikat?

Masih banyak di kalangan teman-teman kita yang masih awam tentang Serikat Buruh. Berdasarkan catatan ILO, hanya 15 persen buruh yang berserikat dari keseluruhan jumlah buruh