Thienkoesna menjadi MC di peringatan 19 tahun kematian Marsinah (8 Mei 2012)
Bekerja di Usia Belia Agar Tidak Miskin
Saya sudah puluhan tahun bekerja sebagai buruh. Sejak usia belasan tahun, merantau ke kota dan berganti – ganti pekerjaan.Dalam goresan pena ini saya ingin bercerita sedikit kisah saya
Nama saya Thinkoesna Sarwa, atau biasa dipanggil Donna terlahir dengan latar belakang keluarga petani yang sangat sederhana.Saya, anak ketujuh dari tujuh bersaudara, pernah mempunyai cita- cita ingin menjadi orang kaya karena sudah lelah hidup miskin. Ketika usia 11 tahun dimana seharusnya sekolah,bermain, dimanja seperti anak- anak yang lain,saya justru sebaliknya.Di usia yang masih dini,saya banyak menghabiskan waktu di sawah atau ladang bersama orang tua. Ada saja yang dikerjakan mulai panen padi, memetik bayam, menanam bibit bawang atau mencari rumput untuk makan kambing. Aktivitas itu hampir setiap hari dikerjakan, sehingga membuat bosan dan jenuh. Namun saya tidak pernah malu karena memang situasi ekonomi keluarga yang sulit.
Menginjak usia 12 tahun,msaya putuskan merantau ke Jakarta dengan tujuan mencari pekerjaan.Selain menghilangkan jenuh dan bosan juga ingin bantu orang tua. Ceritanya, ingin menjadi anak yang berbakti.Ternyata, mencari pekerjaan itu tidak semudah membalikan telapak tangan. Minimnya pendidikan dan pengalaman membuat saya sulit mencari pekerjaan. Hingga akhirnya saya memilih membantu sang kakak berjualan nasi uduk saat pagi. Sementara, di siang hari menyemir sepatu di terminal Tanjung Priuk selama hampir 1 tahun.
Pengalaman Pertama Jadi Buruh Pabrik
Pengalaman bekerja pertama kali adalah saat usia saya 13 tahun, tepatnya tahun 1983. Waktu itu saya bekerja di daerah kapuk (kota), di sebuah pabrik garment dengan produksi kemeja merk ALISAN dan CARTIER. Saya bekerja di bagian gosok kerah setiap Senin s/d Sabtu. Setiap hari Sabtu atau Minggu, saya gajian dengan upah pertama sebesar Rp 10.500,- (sepuluh ribu lima ratus rupiah). Walaupun kaki bengkak karena bekerja dengan berdiri seharian, hati sangat senang,karena di pabrik garment ini, kami boleh juga belajar menjahit. Di perusahaan ini, saya bertahan selama 2 tahun
Keputusan pindah bekerja ini bermula dari keinginan mencari upah yang lebih besar. Akhir kata, sayapun melamar bekerja ke KBN Tanjung Priok di PT. Tun Yun. Upahnya pun lumayan dibanding tempat bekerja sebelumnya, yaitu sebesar RP 100.000 per dua Minggu. Di perusahaan ini saya tidak lagi bekerja di bagian gosok kerah, tetapi menjahit tutup kerah yang waktu itu dikenal punya kesulitan tersendiri.
Berpindah bekerja terus – menerus tidak membuat saya takut kehilangan pekerjaan karena kala itu buruhlah yang dicari oleh management, dan yang membuat hati senang adalah ketika bisa mengirimkan uang buat orang tua di kampung. Uang yang dikirim biasanya dipakai untuk kebutuhan di kampung termasuk untuk membeli pupuk, bibit dll. Hal yang paling menyenangkan adalah ketika mampu membeli sebidang tanah dan dijadikan kebun untuk tanam sayuran dan pohon pisang. Lebih bangga lagi bisa mengirimkan uang setiap bulan sebesar Rp 300.000/ bulan. Bisa menjadi tulang punggung setelah kakak – kakak menikah. Abah dan Mimih (panggilan ke orang tua) juga terlihat senang ketika anak bungsunya pulang kampung dan selalu berdoa buat anak tersayangnya.Panjang sekali doanya :
YA, ALLAH berikanlah anak saya kesehatan dan keselamatan
YA, ALLAH berikanlah anak saya kemudahan dalam mencari rezeki dan dekatkan rezekinya
YA, ALLAH semoga anak saya mendapatkan jodoh suami yang tampan, bekerja dan sayang keluarga
Sangat Menyenangkan
Orang tua saya akhirnya tiada. Mereka sudah meninggal 12 tahun silam. Suka dan duka bersama orang tua sudah pasti ada sampai saat ini. Saya selalu teringat akan kebaikan dan perjuangannya ketika harus membesarkan ke- 7 anaknya dalam kondisi ekonomi yang serba kurang. Belum banyak yang bisa diberikan kepada orang tua, namun setidaknya saya sudah berusaha membahagiakan beliau dengan perhatian dan materi selama saya bekerja.
Pengalaman Juang, Guru Paling Berharga
Pengalaman adalah guru yang paling besar. Pengalaman dalam berorganisasi banyak membantu untuk menentukan arah dan tujuan hidup.Saat ini saya memutuskan. Hidup selagi mau,tetap akan bekerja; hidup selagi mampu,tetap akan berorganisasi; hidup selagi bisa, akan membantu sesama; hidup tanpa ikatan pernikahan sudah menjadi pilihan.
Sekarang tidak ada yang harus disesali, baik itu kemiskinan maupun minimnya pendidikan. Belajar dan terus belajar dari pengalaman, bahwa harta sebanyak apapun akan tetap habis, tapi ilmu dan pengetahuan tidak akan pernah ada habisnya selagi nafas ini masih ada. Itulah kisah hidup saya, semoga kita bisa menyadari bahwa keinginan tidak selalu jadi kenyataan, tetapi kenyataan bisa merubah semua keinginan.
Salam setara dan penuh kasih sayang
Jakarta, 27 Januari 2015
Thinkoesna Sarwa