Jakarta, 22 Juli 2024 – Rancangan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) telah diperjuangkan selama 20 tahun dan tak kunjung disahkan. Karenanya, Jaringan Masyarakat Supil mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) untuk membahas dan mengesahkannya.
Sejak tahun 2004, RUU PPRT telah beberapa kali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI, namun draft RUU ini belum pernah dibahas. Bahkan setelah ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR pada 21 Maret 2023, dan meskipun telah dikirimkan Surat Presiden dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) ke DPR serta dibahas dalam Rapat Paripurna DPR, hingga hari ini RUU PPRT belum mendapatkan jadwal pembahasan antara pemerintah dan DPR. Proses pengesahannya masih tertahan di meja Puan Maharani, Ketua DPR RI.
Mempertanyakan Keberpihakan Puan kepada Orang Kecil
Keberpihakan Puan terhadap orang kecil dipertanyakan. Komitmen ini seharusnya selaras dengan ajaran Presiden RI-1 Soekarno dalam bukunya “Sarinah”, yang menyerukan kepada masyarakat untuk menghormati orang kecil. Soekarno sering mengenang Sarinah, pengasuhnya di masa kecil, yang menunjukkan kasih sayang dan mengajarkannya untuk peduli pada orang kecil. Pentingnya peran pekerja rumah tangga tergambar jelas dari cerita Soekarno tentang Sarinah. Sebagai bentuk rasa terima kasih Soekarno kepada Sarinah, nama Sarinah dijadikan judul salah satu bukunya dan nama pusat perbelanjaan di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat.
“Tentang RUU PPRT yang mandeg selama 20 tahun di DPR dan belum juga dibahas-bahas, ini adalah tentang moral anggota DPR. Mba Puan Maharani pasti punya PRT. Apakah Mba Puan mempunyai keberpihakan dan kepedulian terhadap PRT-nya? Kami ingin mempertanyakannya. Sebenarnya mereka dipilih kan untuk mewakili kepentingan rakyat dan PRT adalah rakyat itu sendiri. Jika Mba Puan dan anggota DPR masih mempunyai kepedulian terhadap rakyat, ya jangan sandera RUU PPRT. Segera bahas dan sahkan. Karena tidak ada alasan untuk terus menunda-nunda,” kata Jumisih dari Jala PRT.
Urgensi Pelindungan Pekerja Rumah Tangga
Isu pelindungan pekerja rumah tangga (PRT) sangat mendesak karena mereka rentan terhadap eksploitasi, diskriminasi, kekerasan, dan perbudakan modern. Kerentanan ini muncul karena PRT belum diakui oleh negara sebagai pekerja, sehingga tidak menikmati hak atau perlindungan. Mayoritas PRT di Indonesia adalah perempuan yang masih bekerja dalam kondisi tidak layak, termasuk bekerja hingga 16 jam sehari.
PRT juga sangat rentan terhadap kekerasan. Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mencatat sekitar 3.635 kasus kekerasan fatal terhadap PRT dari 2017 hingga 2022, termasuk 2.031 kasus kekerasan fisik dan psikis serta 1.609 kasus kekerasan ekonomi. Kekerasan ini terjadi karena belum adanya RUU PPRT yang dapat menjadi payung hukum untuk melindungi PRT. Penundaan pengesahan RUU PPRT hanya akan menambah daftar panjang kekerasan yang dialami PRT di berbagai wilayah Indonesia.
Kewajiban Internasional dan Rekomendasi
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1984. Pasal 2 Konvensi CEDAW secara jelas menyatakan bahwa negara-negara pihak mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuknya, dan sepakat untuk segera mengambil langkah tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan. Komite CEDAW dalam Observasi Kesimpulan (Concluding Observation) tahun 2021 merekomendasikan agar pemerintah Indonesia mengadopsi RUU PPRT tanpa penundaan, karena PRT menghadapi risiko kekerasan dan diskriminasi berbasis gender yang tinggi.
“Diskriminasi dan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga masih banyak terjadi. Satu korban terlalu banyak, jangan menunggu korban-korban berjatuhan baru merasa penting untuk membuat aturan. Maka, diperlukan segera aturan untuk pelindungan dan jaminan pemenuhan hak-hak dasar pekerja rumah tangga, kesejahteraan, serta pendidikan dan pelatihan kerja bagi pekerja rumah tangga. Termasuk aturan bagi pemberi kerja untuk keseimbangan hak dan kewajiban dalam hubungan kerja antara pekerja rumah tangga dan pemberi kerja. Sahkan RUU PRT sekarang juga!” desak Afrintina dari Perkumpulan Damar.
Rekomendasi Jaringan Masyarakat Sipil
Terkait persoalan di atas, Jaringan Masyarakat Sipil untuk Kebijakan Adil Gender dari berbagai organisasi dan daerah di Indonesia menyampaikan beberapa rekomendasi sebagai berikut:
- Mendesak Ketua DPR RI Puan Maharani untuk tidak menahan RUU PPRT dan segera mengesahkan RUU PPRT dalam masa kerja DPR RI periode 2019-2024.
- Mengajak seluruh elemen jaringan masyarakat sipil untuk terlibat dalam aksi mendorong pengesahan RUU PPRT pada tanggal 15 Agustus 2024.
sumber: press release