Jarum jam menunjuk angka 3 sore saat saya menginjakkan kaki di sebuah gedung berlantai dua yang terletak di Jl. Diponegoro. Gedung itu adalah gedung pertama yang saya kunjungi kala pertama kali mengorganisir buruh di Marunda, Jakarta Utara. Waktu itu, 14 tahun lampau, saat tubuh masih muda dengan semangat modal nekat, sambil bekerja memburu berita. Gedung itu adalah pusat segala keluh kesah tempat ragam kasus bermuara, harapan rakyat kecil yang tak tahu kemana harus mengadu. Bagi kami kaum buruh, LBH Jakarta jauh lebih dekat dibanding pengawas ketenagakerjaan.
Ada suka dan duka terekam erat dan lekat di setiap dinding itu. Ia sekaligus menjadi saksi ragam konsolidasi dan gagasan di setiap generasi. Setidaknya, buat saya yang mengenang LBH Jakarta dari 14 tahun silam. Banyak perubahan terjadi, silih berganti pengacara muda ditempa di sini. Setidaknya setiap saya dan teman- teman mengadu silih berganti pengacara menangani kasus perburuhan yang kami adukan. Bangga menjadi bagian dari sejarah tersebut, lekat dalam perjalanan usia saya yang entah kapan akan berakhir. Sebuah akhir yang semoga cukup tenang dan damai untuk dikenang, seperti gedung ini.
Kenangan tentang LBH Jakarta mungkin juga lekat di memori banyak kelompok masyarakat sipil. Mereka yang dipaksa kehilangan tanah, ruang hidupnya. Mereka yang dipukuli tanpa balas dengan tuduhan palsu hingga yang terancam nyawa akibat tuduhan palsu. Atau mereka korban kekerasan seksual yang gigih mencari keadilan. Singkat kata, LBH Jakarta menjadi rumah kami semua, dengan periode yang berbeda dari belasan hingga puluhan tahun.
Maka, pergantian Direktur di lembaga bantuan hukum ini adalah momen teramat istimewa bagi siapa saja yang menjadikan ia sebagai rumah. Rumah Rakyat, begitu Arif Maulana menyebutnya, rumah gagasan milik semua yang tak berpunya dan terpinggirkan. Sungguh itu adalah benar, seorang Nining Elitos, pimpinan buruh yang berkecimpung dari 1998 lekat ingatan semenjak gedung LBH Jakarta masih belum berlantai dua, masih sempit.
Sungguh senang terhubung dalam elan dan rasa serupa. Boleh dibilang adalah nasib serasa sepenanggungan dari derita eksploitasi tiada akhir. Citra Referandum dan Shaleh Al Ghifari, kedua calon Direktur LBH Jakarta menyebutnya penindasan struktural, terjewantahkan dalam kekuasaan oligarki. Keduanya memaparkan fakta betapa negeri kita dikuasai si kaya yang hanya segelintir saja.
“50% aset/ kekayaan nasional dikuasai oleh 1% orang kaya” Tegas Citra Referandum.
Ketimpangan ekonomi politik itu sungguh nyata, dan mereka mengusai parlemen, menentukan kebijakan untuk kepentingan politik si kaya. Di mana si miskin yang tak berpunya? mereka dipinggirkan dirampas haknya dan dengan mudah HAM nya dilanggar nyaris tanpa perlindungan.
“Kosa kata HAM bahkan menghilang dari kosa kata kebiakan pemerintah. Jarang disebut dan ditinggalkan” Tambah Ghifar. Itu artinya agenda HAM apalagi pelanggaran HAM masa lalu tidak menjadi agenda penting pemerintah Jokowi yang sudah menikmati kekuasaan selama dua periode.
Merawat Gerakan, Membangun Narasi Tandingan
Membangun narasi tandingan adalah bentuk merawat gerakan. “Saat ini, kita bukan hanya membangun gerakan namun juga merawat gerakan dengan membangun narasi tandingan. Sebuah gerakan bersama yang inklusif dan interseksi dari semua isu” Ucap Citra
Demi tercapainya apa yang ingin diraih LBH Jakarta, penting makna partisipasi publik, sebuah dukungan bagi LBH Jakarta baik berupa materil maupun imateril. Tentu saja agar pelayanan LBH Jakarta jadi lebih baik.
“Pelayanan itu tentu saja bentuknya adalah bantuan hukum yang sekaligus mengorganisasikan masyarakat, memberikan edukasi pada publik” Tambah Ghifar
Itulah mengapa penting pengacara publik LBH Jakarta bersentuhan langsung dengan masyarakat, berinteraksi dan melibatkannya dalam proses.
Pun, sebagai sebuah organisasi, LBH Jakarta tidak lepas dari konflik internal yang membutuhkan penyelesaian konstruktif, agar tidak mempengaruhi kualitas layanan pada publik. Sebab bila penyelesaian konflik internal bersifat dekonstruktif, dampingan hukum yang diberikan tidak akan maksimal. Keduanya, baik CItra maupun Ghifar bersepakat tentang hal itu.
“Kepemimpinan feminis yang menekankan empati, mendengar, mengajak bicara, menyediakan ruang bicara adalah model kepemimpinan yang saya rasa tepat bagi LBH Jakarta. Sebuah kepemimpinan yang tidak mengedepankan dominasi dan penundukan, namun lebih pada kolaborasi, kerja sama. Pun bukan kompetisi” Ujar Citra.
Ruang kampanye, dialog dan tanya jawab pun berlalu. Saat hendak melangkahkan kaki mengejar transportasi publik busway agar tidak terlewat malam untuk menuliskan sedikit kabar tentang momen pemilihan Direktur LBH Jakarta yang sedang berlangsung, seorang kawan kemudian mencoba mencegah.
“Tunggu saja mba sampai selesai, kan biar kita bisa mengucapkan selamat secara langsung” Kata seorang kawan, seorang ibu muda sekaligus aktivis buruh yang gigih
Pikir saya benar juga. Saat berubah keputusan ia tampak sedikit bersalah
“Ah, nggak apa. Aku senang kok, benar katamu momen ini memang penting” Jawabku. Ibu muda dan aktivis buruh yang keren. Kalau saya belum tentu sanggup menanggung beban semacam itu.
Pemilihan suara berlangsung riuh, sorak gembira memenuhi ruang lantai 1 LBH Jakarta. Sungguh pesta demokrasi yang layak dinikmati. Indah.
Hasil akhir penghitungan suara pun tak kalah seru, dan hasilnya keduanya mengumpulkan suara dengan selisih sangat tipis. Satu suara saja. Citra 14 suara, Ghifar 13 suara dan 1 suara dinyatakan tidak sah. Total terdapat 28 suara.
Menutup riuh gedung LBH Jakarta, Menutup malam di balik dinding sepi di ujung utara Jakarta. Saya ucapkan selamat untuk Citra Referandum, Direktur terpilih LBH Jakarta periode 2022 – 2026. Semoga aku masih berkesmpatan menemani perjalanan mu dan rekan – rekan lain, bersama membangun perubahan bagi kaum tertindas.
Oleh Dian Septi Trisnanti