Search
Close this search box.

Menyoal Sinisme Pada Perjuangan Upah dan Hak Buruh Perempuan

*tanggapan atas kasus tuntutan bra triumph masuk komponen KHL Jateng

Tulisan ini kami buat untuk menanggapi berita yang dimuat di Kompas.com pada tanggal 18 Desember 2014. Dalam berita dengan judul yang sangat konfrontatif yaitu Bra Triumph Masuk Tuntutan KHL Buruh Jateng, Ganjar Geram. Walaupun dalam berita tersebut tulisan mengenai Bra Triumph masuk dalam tuntutan buruh perempuan hanya satu kalimat dalam paragraf ke dua. Yang berarti konten berita tersebut adalah tuntutan buruh terhadap upah sesuai KHL dan bukan Bra Triumph.

Tentu saja angle berita yang dibuat oleh si wartawan dan di “restui” oleh editor itu bukan tanpa perspektif. Perspektif yang kami maksud adalah perspektif yang mendiskriminasikan tubuh perempuan. Bagaimana tidak, ditengah perspektif masyarakat yang masih partiarkis, seharusnya jurnalis harus mulai jeli menggunakan kata atau kalimat yang mendidik masyarakat. Pasca berita itu dimuat pun tidak ada artikel terkait yang menjelaskan latar belakang mengapa buruh perempuan sampai menuntut pakaian dalam berkualitas dengan jenis merek tertentu, atau apa yang mendorong mereka menuntut hal tersebut dsb. Yang berkembang dari berita tersebut justru komentar-komentar melecehkan dari netizen (masyarakat pengguna internet) yang dapat dilihat dalam kolom komentar dibawah berita terkait ataupun forum-forum diskusi online seperti Kaskus.co.id.

Dari sekian banyak komentar, penulis mengambil beberapa dari Kaskus antara lain :

Komentar dengan akun Silverlight; kalo buruh cewenya kaya model di mulustrasi bolehnya disetujui.
syaratnya kerja kudu pake kutang doang.

Komentar dengan akun sgt.coconut; ane kagak ngerti masalah BRA cuman demen ISInya.

Komentar dengan akun prd0001; Boleh.. tapi mereka harus buktikan kalau mereka pakenya beha triumph. Harus ditunjukkan setiap berangkat kerja, atau di angkot. Kita kan butuh bukti kalau itu duit memang bener dipake beli bh triumph bukan buat bayar hotel.

Selain tulisan “para komentator” ini juga menambahkan gambar-gambar perempuan dengan komentar melecehkan secara seksual sebagai bahan candaan. Dalam definisi CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), sesuatu yang dikategorikan pelecehan seksual adalah segala tindakan seksual yang tidak diinginkan, permintaan melakukan pelecehan seksual yang tidak diinginkan, permintaan melakukan perbuatan seksual, tindakan lisan, atau fisik atau isyarat yang bersifat seksual, atau perilaku lain apapun yang bersifat seksual, yang membuat seseorang merasa tersinggung, dipermalukan, dan atau terintimidasi. Yang berarti berdasarkan definisi CEDAW apa yang dilakukan netizen ini telah menjadi bagian dari tindakan pelecehan seksual.

Yang paling menarik adalah ketika komentar-komentar merendahkan tersebut bukan hanya dilakukan laki-laki tetapi juga perempuan, bahkan beberapa netizen perempuan berpendapat bahwa apa yang di tuntut oleh buruh perempuan sudah keterlaluan karena menurut mereka seharusnya buruh perempuan sudah cukup bersyukur dengan bra yang tidak bermerek, karena memang seharusnya segitulah standar kelayakan buruh.

Tentu saja selain perspektif yang masih sangat bias gender, perspektif yang muncul adalah perspektif kelas. Bagaimana buruh yang dianggap sebagai kelas “rendah” seharusnya standar hidup layak mereka dihitung dari standar hidup yang minimal, dan bukan standar maksimal. Sehingga tentu saja perempuan kelas menengah pun tidak terima apabila standar kehidupan mereka disamakan dengan standar hidup buruh.

Sebenarnya apa dasar dari perhitungan upah sesuai dengan Kebutuhan Hidup Layak?

Kebutuhan Hidup Layak yang selanjutnya disingkat KHL adalah standar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak baik secara fisik, non fisik dan sosial, untuk kebutuhan 1 (satu) bulan. Bahkan dalam peraturan internasional, ILO menjelaskan upah layak (living wage) adalah hak asasi manusia dan hal ini tercantum didalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal 23.

Di Indonesia, penjelasan mengenai upah layak diatur dalam pasal 88 ayat 4 UU Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003 yang menjelaskan bahwa Pemerintah menetapkan standar KHL sebagai dasar dalam penetapan Upah Minimum. Hal ini dijelaskan lebih rinci dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 17 tahun 2005 tentang Komponen dan Pentahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak yang kemudian direvisi dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 13 tahun 2012 tentang Perubahan Penghitungan KHL. Semula jumlah jenis kebutuhan sebanyak 46 jenis, direvisi menjadi 60 jenis KHL.

Apabila kita mengacu pada dasar perhitungan upah layak yaitu hak asasi manusia maka tidak ada satu peraturan pun yang melarang buruh untuk memiliki benda dengan harga atau merk apapun yang mereka inginkan, dengan syarat upah buruh tersebut sudah memenuhi standar hidup layak.

Selama ini dalam penentuan upah minimum yang sesuai kebutuhan hidup layak masih sangat pengusaha sentris. Ini dapat dilihat dari statemen Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dalam artikel tertanggal 18 Desember 2014 tersebut tertulis Ganjar menilai, komponen hidup layak (KHL) yang diusulkan buruh sudah tidak rasional sehingga kesepakatan pun sulit dicapai. Ganjar pun melihat, buruh sudah tak lagi memperhitungkan kemampuan perusahaan”.

Penilaian pemerintah selalu melihat bagaimana situasi keuangan perusahaan dan tidak pada kehidupan layak untuk buruh. Komponen yang masuk dalam standar KHL yaitu Makanan & Minuman, Sandang, Perumahan, Pendidikan, Kesehatan, Transportasi, Rekreasi dan Tabungan dan memenuhi komponen standar hidup layak ini tentulah bukan perkara mudah. Buruh harus berfikir keras membagi segala kebutuhan domestiknya termasuk makan & minum serta kebutuhan lain dengan upah minimum yang masih jauh dari kata layak. Ambil saja contoh di provinsi Jawa Tengah, UMK  tertinggi adalah Rp 1.685.000,00 di Kota Semarang dan terendah Rp.1.100.000 di Kota Banyumas. UMK yang ditentukan pemerintah Jawa Tengah ini masih jauh dengan tuntutan serikat buruh yang mencapai 2 juta rupiah.

Sebenarnya yang harus diperdebatkan adalah sejauh mana pemerintah mampu memenuhi standar kehidupan layak bagi buruh dan bukan pada merek apa yang harus mereka pakai. Ketika buruh sejahtera dan mampu memenuhi kebutuhannya sesuai dengan kehidupan layak sebagai manusia, buruh pun berhak untuk memilih pakaian, makanan, pendidikan, ataupun kesehatan yang berkualitas. Keinginan menikmati sesuatu yang berkualitas itu sangat manusiawi dan situasi seperti inilah yang seharusnya lebih diperhatikan oleh pemerintah.

 ditulis oleh Dian Novita 

Komite Nasional Perempuan Mahardhika dan

penyiar marsinah fm. mau kenal lebih jauh cek di http://dev.marsinah.id/cerita-ku/

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

RENTENIR OH RENTENIR

“Mbak, saya mau pinjam uang 1 juta untuk biaya sekolah anakku di kampung, saya bekerja di PT MAJU JAYA, dan gajian dua kali  sebulan setiap

Membela Senyap

Bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia, sekitar 457 titik dari Aceh hingga Papua, memutar film Senyap atau The Look of Silence karya Joshua Oppenheimer. Senyap

Persatuan Buruh Indonesia Melawan Rezim Pasar Bebas

Foto oleh  Mulyadi  Oleh Michael Bangkit..Lawan..Hancurkan Tirani..!!! Buruh Bersatu Tak Bisa Dikalahkan..!!! Buruh Berkuasa Rakyat Sejahtera..!!! Tepat pada tanggal 13 September 2015, seruan persatuan dan