Oleh: Tri Ombun Indah Lestari Sitorus
Seratus hari kerja Kabinet Merah Putih sudah berjalan, semua pejabat negara sepertinya harus lebih bekerja keras lagi terutama di bidang tenaga kerja. Pada saat kampanye, Prabowo-Gibran berjanji akan menyiapkan 19 juta lapangan pekerjaan. Namun, faktanya gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) justru terus meningkat di berbagai sektor. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), sepanjang tahun 2024 terjadi 77.965 kasus PHK di Indonesia atau meningkat sebanyak 20,21% dan pada Desember 2024 jumlah PHK mencapai 10.095 kasus atau meningkat sebesar 45,63% dari Desember 2023. Di tengah pergolakan geopolitik ekonomi dunia yang semakin berat, banyak perusahaan melakukan efisiensi. Kenaikan pajak pertambahan nilai, pembatasan subsidi pemerintah dan kenaikan premi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), kian memperparah situasi. Namun, yang menjadi pertanyaan, bagaimana pemerintah merespons hal ini?
Presiden dan kabinetnya berjanji untuk meningkatkan investasi dan membuka lebih banyak peluang kerja. Program insentif dan kemudahan perizinan investasi pun dicanangkan sebagai solusi. Namun, apakah kebijakan ini cukup menahan laju PHK? Sejauh ini, program subsidi upah dan pelatihan vokasi bagi korban PHK mulai digalakkan. Namun, implementasinya masih menghadapi berbagai kendala, Mulai dari birokrasi yang rumit hingga ketidaksesuaian antara keterampilan pekerja dengan kebutuhan industri. Pemerintah harus mencegah terjadinya PHK massal yang lebih marak lagi karena tren ini tidak hanya berimbas pada tenaga kerja tapi juga berisiko pada meningkatnya kemiskinan.
Pemerintah harus merivisi peraturan tentang persyaratan PHK, membuat kebijakan impor yang tidak merugikan produk lokal, dan mendorong pengembangan pasar ekonomi di tingkat internasional. Pemerintah juga perlu memastikan penyerapan tenaga kerja di sektor padat karya seperti manfaktur, pertanian modern dan pariwisata. Ekonomi digital yang saat ini semakin cepat membuat para tenaga kerja dari semua golongan umur dan tingkat pendidikan harus beradaptasi dengan cepat. Mereka yang berasal dari daerah tertinggal harus mendapatkan peluang kerja yang sama tanpa harus berbondong-bondong ke kota untuk mencari pekerjaan.
Revitalisasi pendidikan vokasi dan pelatihan kerja juga mesti segera dilakukan. Program pendidikan pemerintah harus beriringan dengan program di sekolah dan dunia kerja sehingga masyarakat tidak hanya disiapkan sebagai pekerja tetapi juga mampu membuka lapangan pekerjaan sendiri. Selain itu, pemerintah juga harus meningkatkan akses perlindungan sosial bagi pekerja informal dengan mempermudah mekanisme keikutsertaan program BPJS Ketengakerjaan dan jaminan sosial lainnya. Ini penting dilakukan agar UMKM dapat merekrut pekerja secara formal.
Di tengah kondisi ini, serikat-serikat pekerja dan organisasi masyarakat sipil berperan penting dalam mengadvokasi hak-hak pekerja. Terkait itu, pemerintah perlu menjalin komunikasi lebih erat dengan serikat-serikat pekerja dan organisasi masyarakat sipil dan bukan hanya dengan investor. Jika tidak, kebijakan ekonomi yang diambil akan selalu lebih menguntungkan pemilik modal daripada pekerja yang justru menjadi tulang punggung perekonomian.
Seratus hari kerja Kabinet Merah Putih belum menunjukkan hasil yang memuaskan bagi pekerja. Jika gelombang PHK terus berlanjut tanpa mitigasi yang jelas, angka pengangguran akan semakin meningkat dan daya beli masyarakat akan semakin melemah. Ini bisa menjadi ancaman bagi stabilitas ekonomi nasional. Pemerintah harus lebih berani dalam melindungi tenaga kerja, baik melalui regulasi yang berpihak kepada pekerja maupun melalui insentif yang mendorong industri untuk mempertahankan tenaga kerja mereka. Tanpa itu, janji kampanye tentang kesejahteraan ekonomi hanya akan menjadi sekadar retorika belaka. ***