Cerita Tentang Fleksibilitas Tenaga Kerja yang Menghancurkan Daya Hidup Buruh
Adalah pak Yana, yang sudah lebih dari dua dekade berprofesi sebagai sopir transportasi. Teriknya matari hingga pekatnya malam, berikut dengan mara bahaya di bengisnya jalanan sudah menjadi makanan sehari – hari. Dari subuh, ia sudah bergegas bangun dari peraduan, berbekal minum teh manis yang diharap bisa menenangkan perut sepanjang hari agar tidak banyak protes. Pak Yana sering kali dihadapkan pada pilihan antara rokok atau sarapan dan ia setia pada pilihan pertama.
Dua tahun terakhir, Pak Yana bekerja di sebuah perusahaan transportasi yang bergerak di bidang logistik, yang sudah berdiri sejak 2010 silam. Bekerja sebagai sopir di perusahaan tersebut, Pak Yana dan teman – temannya menerima upah bulanan dengan besaran sesuai UMP DKI 2021 (Rp 4,416,186). Namun, belakangan pihak perusahaan merubah status hubungan kerja buruh dengan sistem gaji bulanan, menjadi hubungan kerja kemitraan dengan upah berbasis komisi. Dampak yang dirasakan Pak Yana beserta keluarganya bukan perkara sepele, penghasilan yang berbentuk komisi, membuat pendapatan bulanannya terjun bebas hingga kisaran Rp 2 juta saja.
Situasi pandemi yang memperparah keadaan, usia yang tidak lagi muda semakin memperburuk kondisi perekonomian Pak yana. Tiga per empat hidupnya telah habis untuk tiap perusahaan tempat ia mengadu nasib sedari usia belia. Dalam sehari, sepanjang 24 jam, hidupnya habis di jalanan, tak jarang menantang bahaya, mulai dari pungli atau pungutan liar, hingga bahaya mengancam nyawa seperti “bajilo”. Tiga per empat hidupnya tak berbuah penghargaan yang diharap bisa menebus sekian waktu berharga bersama keluarga yang menghilang ditelan waktu. Hanya sedikit momen yang Pak Yana kenang tentang masa bocah ketiga anaknya. Seolah baru kemarin ketiganya terlahir di dunia, kini ketiganya sudah dewasa, sementara rambutnya sudah sepenuhnya memutih dan tubuh tidak lagi setegap dulu. Betapa kerja telah membuatnya menghilang bersama waktu, datang dan pergi, kadang tidak diketahui keberadaannya. Ia ingat betul saat ketiga anaknya masih kecil, kerap menanyakan kabarnya, bermanja ria di peluknya, namun kemudian terbenam oleh pilunya kecewa karena waktu sang ayah kian menipis tergerus oleh kerja.
Sekarang, yang tersisa hanya serupa daging dan kulit, beserta jiwa yang renta. Namun, yang renta itu bersua dengan titik dimana ia sudah tak mau menyerah lagi, mengikhlaskan seolah tiada luka yang berjejak di jiwanya. Sejak diberlakukannya status mitra, Pak Yana memilih berserikat bersama teman-temannya. Jalan yang harusnya ia pilih sedari dulu. Tapi kata seorang kawan kepadanya suatu hari “tidak ada kata terlambat”.
Cerita Pak Yana juga dialami Putri, seorang buruh garmen di sebuah kota kecil bernama Klaten. Putri dilahirkan dari keluarga petani dengan luas tanah tidak seberapa. Hasil panen sanggup mencukupi kebutuhan pangan satu keluarga, namun tidak pernah memberi penghasilan yang mencukupi untuk kebutuhan lain seperti pendidikan, kesehatan, listrik, air dan kebutuhan lainnya yang mensyaratkan sejumlah uang sebagai alat tukar.
Pengalaman hidup di kota kecil, di bagian tengah pulau Jawa, mengajarkan kepada Putri betapa krusialnya uang untuk membeli buku sekolah, jajan hingga biaya berobat saat ia dan anggota keluarga lainnya sakit. Keresahan jiwa mudanya beriringan dengan tumbuhnya industri garment di kotanya itu. Lambat laun, menjadi buruh garmen telah menemani impian masa remajanya. Selepas lulus sekolah menengah atas, Putri melamar di perusahaan garmen kecil setingkat konveksi sambil belajar menjahit, sehingga ia mahir menjahit semua pola dan semua jenis pakaian secara utuh. Putri yakin dengan ‘skill’ menjahit yang sudah dikuasai dengan susah payah, ia bisa mendapat pekerjaan yang lebih baik dari pada bertani.
Suatu hari, betapa girang saat ia diterima bekerja di perusahaan sarung tangan. Gaji pertama merupakan ganjaran yang ia terima dengan suka hati dan semakin giatlah ia bekerja. Seiring berjalannya waktu, pekerjaan yang ia senangi sebagai sumber nafkah itu mulai mengering menjadi kerontang tanpa daya hidup. Ia mulai merasa lelah, penat dengan target yang kian tidak masuk akal, jam kerja yang makin panjang hingga larut malam, sementara nominal yang ia peroleh tak kunjung bertambah. Sampai akhirnya, Putri mengetahui kalau upah yang diterimanya termasuk terendah di seluruh negeri. Benar, UMR Klaten adalah salah satu terendah, juara terakhir dalam dunia perupahan. UMR Klaten saat itu, hanya berkisar Rp 1 juta, padahal ia bekerja lebih dari 8 jam. Rata – rata ia bekerja hingga 12 jam dengan target produksi sarung tangan sekitar 100 pcs/jam / hari. Itu pun, ia dikenai jam molor sebanyak 1 jam saat pulang kerja dan 30 menit di jam istirahat, tanpa bayar. Belum lagi perhitungan upah lembur yang merupakan lembur mati atau tidak berjalan.
Tapi Putri tidak ada pilihan lain. Menjahit adalah keahlian yang ia punya. Hingga suatu hari ia menikah dan mulai melahirkan anak pertama. Sepanjang masa melahirkan dan menyusui, Putri memilih mengundurkan diri. Tak sepeserpun ia terima dari perusahaan tempat ia bekerja. Demikianlah, Putri disibukkan dengan dunia pengasuhan, perawatan hingga si sulung cukup besar untuk ditinggal. Namun, betapa hidupnya penuh kejutan, Putri hamil lagi anak kedua saat si sulung belum genap satu tahun.
Masa istirahat dari kerja produksi semakin panjang, sampai buah hati keduanya menginjak usia 3 bulan dan bisa dirawat sang nenek, sementara ia bekerja di perusahaan garmen lainnya. Di perusahaan ini, tidak ada perbedaan, mulai dari jam kerja, upah lembur hingga cuti haid yang kosong tanpa pelaksanaan. Tiap jam istirahat tiba, Putri bergegas pulang ke rumah demi menengok kedua anaknya, terutama si bungsu yang masih kecil. Putri bukannya tak mau lebih lama mengasuh anak, namun penghasilan suami sama sekali tak cukup memenuhi kebutuhan satu keluarga, dan mendorongnya segera turut mencari nafkah. Itupun, bila kedua penghasilan digabungkan, angkanya tidak lebih dari Rp 3 juta.
Sebagaimana buruh pada umumnya, pandemi menjadi badai kehidupan selanjutnya. Putri di PHK begitu saja tanpa sepeserpun uang. Seperti Pak Yana, Putri juga memililh berserikat yang sampai kini masih berjuang menghadapi pengusaha sekaligus negara di ranah mediasi yang belum tentu tahu ujung pangkalnya.
Hancurnya Tenaga Produktif dan Kerja Reproduksi Sosial yang Tak Pernah Diakui
Cerita Pak Yana dan Putri adalah cerita sehari – hari buruh. Meski berbeda sektor, penghisapannya adalah serupa dan mengandung cerminan fleksibilitas tenaga kerja yang sudah dari lama diberlakukan dan disahkan melalui hukum ketenagakerjaan sejak 2003.
Pak Yana, yang hidupnya habis digerus buasnya jalanan, nyaris tanpa perlindungan. Perubahan status kerja dari buruh dengan gaji bulanan, menjadi kemitraan telah berdampak pada hilangnya sebagian besar hak normatif. Jam kerja yang panjang, upah berbasis komisi, ketiadaan K3 (Keamanan dan Keselamatan Kerja) selama menyopir, lambat laun menghancurkan kondisi fisk dan mental Pak Yana dan buruh transportasi pada umumnya. Hidup yang semestinya penuh kebermaknaan bersama keluarga, mengembangkan kualitas hidup (kesehatan) dan pengembangan diri atau aktualisasi diri menjadi kering kerontang tergilas roda ekonomi.
Demikian halnya dengan Putri yang meski sudah bekerja dengan patuh dan rajin, bahkan rela menghabiskan waktu istirahatnya untuk pulang menemui si buah hati, tak merasakan upah yang sebanding dengan jam kerja atau hilangnya waktu bersama buah hati dan keluarga. Upah yang ia peroleh dengan skill yang dipunya tak pernah bisa dibandingkan. Ia dan teman- temannya yang punya skill menjahit itu tetaplah juara upah terendah seluruh negeri.
Namun, ada sisi cerita lain dari seorang Putri. Sebagai perempuan, ada kerja tidak terlihat pemberi nafas kehidupan yang tak pernah diakui, lebih banyak diremehkan, serta minim penghargaan. Ia adalah kerja perawatan yang lebih sering tidak dianggap kerja, tersembunyi dari balik dinding yang kerap dinyatakan “privat”, tidak boleh disentuh dan dicampuri negara. Kerja perawatan itu tampil dalam bentuk siklus reproduksi kehamilan yang dianggap menghambat percepatan profit, memperlambat ritme kerja dalam memproduksi barang atau jasa. Tak jarang, banyak buruh perempuan yang tidak diperkenankan hamil saat perekrutan kerja. Namun, dari proses kehamilan yang merubah hormon tubuh perempuan itu, terlahir ke dunia manusia baru sebagai calon tenaga kerja yang tak mau diturut campuri korporasi dan negara, baik soal pemenuhan gizi dan K3 saat hamil hingga saat bertaruh nyawa di momen melahirkan.
Dalam sebuah webinar tentang Daycare, yang diadakan sebuah partai politik, seorang pengusaha yang menjadi peserta webinar berkata begini
“Anak itu tanggung jawab keluarga, anak itu tanggung jawab orang tua, tanggung jawab ibu, kan yang bikin itu orang tua, jadi jangan menuntut pada negara dan perusahaan…”
Begitulah, dalam perspektif bisnis, sebagaimana yang diucapkan pengusaha itu, kerja perawatan adalah murni beban keluarga, terutama perempuan semata, sementara profit terus didulang dari kerja tak terlihat itu. Pun, menjadi sah bila negara tak perlu ambil peran dalam kerja perawatan. Tak heran, bila penghitungan penentuan upah mengabaikan kerja reproduksi sosial yang selama ini menjadi nafas dari kerja produksi dan ekonomi dunia. Padahal, Indonesia sudah 31 tahun meratifikasi Konvensi Hak Anak dan memiliki UU Perlindungan Anak No.23/2002, bahkan sudah mengeluarkan Kepmen PPA tentang Daycare bagi anak buruh. Sayang, pelaksanaannya masih jauh dari harapan, sehingga belum memiliki daya manfaat bagi keluarga buruh.
Dalam sebuah forum negosiasi terkait pembangunan pilot project Day Care Anak Buruh di sebuah kawasan industri di Jakarta, seorang perwakilan pengelola Kawasan Industri itu berkata
“Kami menginginkan dibangun Day Care tapi bukan buat anak buruh yang kerja di Kawasan Industri, tapi bagi anak pegawai perusahaan pengelola kawasan dan hanya 10 anak saja”
Tentu saja yang dimaksud adalah anak dari tataran manajemen pengelola kawasan industri. Dengan mudahnya mereka mengabaikan hasil penelitian tentang kondisi anak buruh di kawasan industri tersebut yang menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Menteri PPA tentang Day Care bagi anak buruh.
Pernyataan manajemen pengelola kawasan industri serta pengusaha di sebuah acara webinar mewakili posisi kelas penguasa yang tak ambil peduli dengan hancurnya jiwa dan raga kaum buruh beserta keluarganya akibat eksploitasi kerja.
Tuduhan Produktivitas Rendah (Malas) = Budaya Konial
“Bos bilang, kalau gaji kami bulanan, nanti kami malas kerja” Ucap Pak Yana suatu saat ketika menceritakan peralilhan status kerjanya menjadi kemitraan oleh perusahaan.
Pernyataan itu merupakan penghinaan bagi kaum buruh dan seirama dengan pernyataan seorang staf Kementerian Tenaga Kerja bahwa tuntutan upah buruh terlalu tinggi bila dibandingkan dengan tenaga produktivitas tenaga kerja Indonesia yang rendah. Ia bahkan membandingkan upah minimum Indonesia dengan upah minimum Phuket, Thailand yang berkisar Rp 4,1 juta. Perbandingan itu tidak tepat karena secara nasional rata – rata upah minimum Thailand berkisar Rp 6 juta, dengan jam kerja 40 – 42 hari per minggu. Bandingkan dengan upah minimum di wilayah dengan upah minimum tertinggi di Indonesia yang berkisar Rp 4,4 juta di DKI dan Rp 4,7 juta di Karawang, dengan jam kerja 41 hari per minggu. Dilihat dari jam kerja juga tidak terpaut jauh, itupun pada prakteknya terjadi perpanjangan jam kerja hingga 12 jam/hari dengan hitungan upah lembur tidak sesuai atau bahkan tidak dibayar seperti yang terjadi di KBN Cakung yang terkenal dengan istilah ‘skor’ dan ‘jam molor’ di Jawa Tengah. Padahal, Indonesia sudah meratifikasi Konvensi ILO tentang jam kerja yang membatasi jam kerja hingga maksimal 48 jam per minggu. Namun, praktek di lapangan, terutama di negeri – negeri Asia, masih banyak yang melanggar jam kerja akibat penegakan hukum yang buruk.
Lebih lanjut lagi, Jam kerja yang panjang berdampak besar bagi kesehatan fisik, kesehatan mental, kualitas kerja, work- life balance dan keselamatan kerja. Serupa dengan cerita hidup Pak Yana dan Putri yang bekerja dengan jam kerja panjang. Sistem kerja yang tidak jelas seperti kemitraan dan kontrak tak tertulis seperti yang dialami Putri, menyebabkan batasan jam kerja yang tidak jelas.
Pernyataan Ibu Menteri Ida Fauziah dan Staffnya juga seirama dengan pandangan ekonom klasik yang berpandangan upah minimum membuat alokasi sumber daya tidak efisien, pun mengakibatkan pengangguran. Tak heran, bila setiap buruh menuntut kenaikan upah selalu dijawab dengan nada menakuti bahwa angka pengangguran meningkat bila upah naik terlampau tinggi. Narasi serupa juga terjadi saat perlawanan terhadap Omnibus Law mengencang. Namun, seorang peraih nobel 2021, David Card sudah membantah opini tersebut. Berdasarkan penelitiannya terkait upah minimum dengan membandingkan dua pasar tenaga kerja yang berbatasan di Amerika Serikat yaitu New Jersey dan Eastern Pnnsylvania, Card menemukan beberapa kemungkinan yang menjelaskan bahwa upah minimum tidak meningkatkan pengangguran atau menurunkan produktivitas tapi justru sebaliknya. Pertama, upah minimum meningkatkan loyalitas pekerja kepada perusahaan sehingga justru mengurangi retensi pekerja. Kedua, upah minimum meningkatkan produktivitas pekerja yang berdampak positif kepada produktivitas perusahaan secara agregat. Ketiga, upah minimum ditanggung oleh kenaikan harga yang dibebankan kepada konsumen tanpa mengurangi permintaan secara signifikan. (https://news.detik.com/kolom/d-5787869/hadiah-nobel-untuk-kaum-pekerja)
Dengan demikian, justru upah minimum yang tinggi, yang bisa meningkatkan produktivitas dan tidak berdampak pada bertambahnya angka pengangguran. Narasi – narasi pemerintah dan korporasi tentang bahaya hilangnya lapangan kerja akibat kenaikan upah yang tinggi adalah narasi usang peninggalan budaya kolonial yang kerap dipaparkan untuk menakut – nakuti buruh supaya tetap rajin, tunduk dan patuh. Baiknya, para pejabat negeri ini bercermin diri, bahwa cerita tentang korupsi para pejabat lah yang justru menghancurkan produktivitas, bukan kenaikan upah minimum kaum buruh.
Di tengah teriknya matahari, ribuan buruh bernasib sama dengan Pak Yana dan Putri bergabung dalam gelombang aksi yang bergulir dari satu kota ke kota yang lain, memenuhi kawasan – kawasan industri, menduduki pusat – pusat kekuasaan, menyatakan diri sebagai buruh yang tidak patuh, tidak tunduk dan rajin protes. Oleh karena, hanya dengan demikianlah, Ibu Menteri Ketenagakerjaan dan Bapak Presiden Jokowi lebih mudah dicari.