Mogok Nasional KBN Cakung/dok perempuan mahardhika
Oleh Dian Novita
Siang itu matahari sangat terik, panasnya sampai perih terasa di kulit. Hari ini adalah hari ke dua Mogok Nasional, meskipun tidak menghentikan produksi tetapi semua serikat yang ada di DKI Jakarta bersepakat untuk membuat Rapat Akbar Buruh di Kawasan Berikat Nusantara Cakung. Aku bersama buruh-buruh yang lain menjadi bagian dalam barisan rapat akbar tersebut. Siang hari setelah istirahat jam makan siang, aku tidak tahu pasti jam berapa saat itu korlap meminta kami untuk berbaris rapi dan bersama-sama berjalan ke arah PT.Hansae, barisan kami berhenti didepan PT Hansae. Barisan diarahkan kesana karena ada kabar barisan buruh yang konvoi mengelilingi KBN dilempar botol oleh preman saat melintas di depan PT.Hansae 6. Suasana makin panas karena atmosfir kemarahan buruh yang tidak terima kawannya diserang preman. Kami diintruksikan oleh korlap untuk duduk agar kondusif, aku dan peserta aksi lainnya mematuhi arahan untuk duduk, lalu kami mendengarkan orasi-orasi dari perwakilan-perwakilan serikat buruh.
Panas semakin menyengat, meskipun sudah mengenakan topi aku tetap menunduk untuk menghindari teriknya sinar matahari langsung mengenai wajahku. Tiba-tiba pergelangan tangan ku dipegang oleh seorang perempuan, kulitnya kuning, rambutnya panjang lurus berwarna coklat. Aku kaget dan menoleh kebelakang, menyipitkan mataku dan coba mengenali wajah perempuan itu tapi tetap saja aku tidak berhasil mengingat siapa namanya.
“Eh, kenapa mbak?”, aku coba bertanya.
“Mbak, aku mau ngadu nih mbak. Aku dipecat barusan saja. Ini aku baru dari PT ku, langsung bergabung kesini. Aku pengen banget PT ku didatengin, digeruduk aja mbak biar tau rasa, sakit hati banget aku.”
“Kamu dari PT apa? Kenapa dipecat?” Tanyaku lagi.
“Aku dari Hansol”. Dia mengeluarkan amplop putih berkop surat PT.Hansol, kemudian dia berikan amplop itu padaku.
“Ini mbak, surat pemecatanku, hari ini juga”. Aku ambil amplop itu, kukeluarkan selembar kertas dan kubaca nama yang dituju surat tersebut dan perihal surat yaitu surat pemberitahuan selesai masa kerja harian lepas, tidak ada keterangan mengapa dia dipecat.
“Namamu Suriyani? kamu buruh harian lepas?” tanyaku lagi.
“Iya mbak panggil aja aku Ria , aku harian lepas. Seharusnya kontrak ku habis tanggal 9 Desember 2015 tapi hari ini juga aku dipecat. Kan tadi siang yang demo ini keliling ya mbak, lewat Hansol juga pas jam makan siang. Semua karyawan PT.Hansol kan makan di depan PT, aku lagi beli minum sama temen ku, terus rombongan demo lewat dan teriak Hidup Buruh, aku ya jawab Hidup Buruh… Kan kita ini juga buruh, orang supervisor itu juga buruh”. ujarnya setengah marah.
“Seharusnya kan gak masalah ya mbak, orang aku cuma bilang Hidup Buruh kan aku gak ikut demo. Tapi gara-gara itu aku dipanggil sama manajemen dan diminta ketemu Missnya, supervisorku itu memang gak suka sama aku, kayaknya dia ngadu ke Missnya. Katanya, aku ikutan bilang hidup buruh dan gak tau lagi dia fitnah aku apa ke Miss nyasampe-sampe aku dipecat saat itu juga, gak adil banget.” Jelasnya panjang lebar.
Aku diam sambil mendengarkan ceritanya. “Missnya itu percaya banget sama si Surya itu, masa gak pake manggil saksi langsung percaya aja”. Sakit hati banget aku mbak, di geruduk aja itu Hansol, keluarin karyawan biar tau rasa si Surya itu, Surya itu supervisor aku mbak”. Tambahnya lagi.
“Emm, Buruh Harian Lepas ya? Kamu ada surat kontrak kerja?” tanyaku.
“Dulu pas masuk ada, aku inget banget kok kontrak ku sampai 9 Desember, tapi surat itu sama mereka nggak di aku mbak”.
“Iya sih tapi agak sulit juga kalau kamu gak punya surat kontrak kerja”. Tambah ku, sambil melihat surat PHK nya sekali lagi.
“Atau gini aja, kamu simpan no telp Jumisih, dia ketua Serikat FBLP mungkin nanti bisa diadvokasi soal kasus kamu ini, aku juga minta no mu ya. Oiya namaku Dinov, kamu bisa simpan no ku juga.” Ucap ku sambil tersenyum dan menjulurkan tangan untuk bersalaman, dia sambut tangan ku sambil tersenyum.
Dia ambil HP nya dan dia sebutkan nomornya untuk aku catat.
“Emm… apa gak apa-apa mbak? Udah mbak, aku gak minta uang atau apa kok, udah biar ajalah.” Ujarnya terlihat ragu. Mungkin karena dia dengar kata-kata advokasi, malah memunculkan ke khawatirannya.
“Udah mbak gak apa-apa, biar dibantu advokasi. Iya, Mbak nya gak usah takut”, ujar dua orang perempuan disebelahku yang mengenakan kaos merah bertuliskan FBTPI. Rupanya sedari tadi mereka memperhatikan obrolan kami.
“Aku cuma pengen itu Hansol didemo aja. Aku gak mau ada urusan lagi sama PT itu, aku takut nanti mereka malah cari-cari aku mbak”. tambahnya dengan wajah yang semakin cemas.
Hidup Buruh…! Kembali terdengar dari atas mobil komando. Kami berhenti sejenak dari obrolan kami.
Hidup Buruh… peserta aksi yang lain ikut berseru. Aku dan Ria juga ikut berseru, Hidup Buruh!
Hidup Buruh… Ria mengulang lagi seruan dari Korlap, sedangkan aku, aku sibuk melihat wajah Ria, wajah yang terlihat cemas dan aku lihat keringat mengalir dari dahi nya.
“Sekalian saja aku gabung ke demo ini mbak, dari pada gara-gara cuma bilang Hidup Buruh, aku di Pecat”. Ucapnya sambil menyeringai.
Aku hanya menjawab dengan senyuman, dan aku berseru Hidup Buruh untuk kesekian kalinya.