Tari Topeng
Adakah di antara kita yang mengetahui tari tradisional kita bernama Tari Topeng? Namanya juga tari topeng, tentu saja para penarinya mengenakan topeng. Topeng sendiri sudah ada di dunia ini semenjak masa pra sejarah. Secara luas, topeng digunakan dalam tari yang menjadi bagian dari upacara adat atau penceritaan kembali cerita leluhur. Topeng diyakini berkaitan erat dengan roh para leluhur yang dianggap sebagai representasi dewa – dewa. Dewasa ini, di beberapa suku, topeng masih menghiasi berbagai kegiatan seni dan adat sehari – hari.
Tarian topeng menceritakan banyak cerita klasik, diantaranya Ramayana dan Panji yang sudah berkembang semenjak ratusan tahun sebelumnya. Topeng – topeng di Jawa dibuat untuk pementasan sendratari.
Beberapa daerah memiliki khas tarian topeng, salah satunya adalah tari topeng Cirebon. Salah satu penari topeng yang melestarikan tarian topeng Cirebon sepanjang hidupnya adalah Mimi Rasinah.
Mimi Rasinah
Rasinah, yang akrab dipanggil Mimi Rasinah, terlahir di Indramayu pada 3 Februari 1930 silam. Perjalanan hidupnya diabadikan dalam sebuah film dokumenter berdurasi 54 menit, dengan judul Rasinah: The Enchanted Mask.
Tari topeng sudah menjadi nadi hidup Rasinah sedari kecil. Dari sang ayah, ia mempelajari tari tradisional tersebut. Ketika usianya masih bocah, yaitu 5 tahun, ia sudah diajarkan menari oleh ayahnya yang seorang dalang, sementara ibunya adalah dalang ronggeng. Menginjak usia 7 tahun, ia sudah mengamen tari topeng. Masa penjajahan dari Belanda hingga Jepang sudah dirasai getir olehnya. Ketika masa penjajahan Jepang, rombongan topeng ayahnya dituguh sebagai mata – mata oleh Jepang. Di indramayu, semua aksesoris tari topeng dimusnahkan hingga tersisa satu topeng saja. Sementara, di masa agresi militer Belanda ke II, dengan tuduhan serupa pasukan Belanda menembak ayahnya.
Meski sang ayah sudah tiada, rombongan tari topeng Rasinah tidak gentar, mereka terus melanjutkan menari tarian topeng. Suami Rasinah, yang seorang seniman dalang wayang memimpin rombongan tari topeng. Hingga tragedi G30 S terjadi, mereka dilarang untuk pentas karena dianggap membangkitkan syahwat dan abangan.
Seiring berjalannya waktu dan pergantian jaman, tarian topeng makin ditinggalkan masyarakat. Hal ini tampak dari sepinya penonton tiap pementasan. Tarian topeng tersingkir oleh tarling, dangdut dan sandiwara. Sepinya penonton dan semakin sedikitnya peminat, memaksa suami Rasinah menjual semua topeng dan aksesori tari sebagai modal mendirikan grup sandiwara. Sejak itu, Rasinah berhenti menari topeng hingga 20 tahun lamanya. Ia beralih menjadi penabuh gamelan untuk pentas sandiwara
Namun, kecintaan Rasinah pada tarian topeng menemui takdirnya. Pada 1994, Endo Suanda, seorang dosen STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Bandung, bersama seorang rekannya, Toto Amsar Suanda “menemukan kembali”Rasinah. Kedua dosen itu terpesona dengan tarian topeng Kelana yang dipertontonkan Rasinah. Rasinah memerankan 8 topeng dengan apik, dari topeng panji hingga Kelana. 8 karakter topeng yang berbeda itu bisa diperankan Rasinah dengan sangat mengesankan. Sambutan luar biasa dari kedua dosen tersebut membuat Rasinah bersemangat kembali menarikan tarian topeng. Tak pelak lagi, Rasinah mementaskan tari topeng hingga ke panggung internasional.
Mimi Rasinah pun terus menggeluti dan mempertahankan tari topeng sehingga ia disebut klasik. Dengan semangat yang sama itulah, Rasinah mengajarkan tari topeng di sekolah – sekolah di Indramayu.
Menjemput Keabadian
Rasinah tak pernah berhenti menari hingga akhir hayatnya. 11 tahun silam, tepatnya tahun 2006, Rasinah terjatuh ketika mengambil air wudhu sehabis usai mengajar tari di sebuah sekolah di Indramayu. Setelah dua pekan dirawat di RSHS, ia menghembuskan nafas terakhirnya. Kepada sang cucu, ia mewariskan seluruh topeng yang ia miliki beserta asesorisnya. Sang cucu, Aerli Rasinah, menerima warisan tersebut dengan tangis, tepat di upacara pemakamannya. Sebagai syarat menerima warisan, Aerli harus bebarangan di tujuh tempat dalam sehari. Sejak hari itu, sanggar tari Rasinah dikelola oleh Aerli, di usianya yang ke 22 tahun.
Rasinah memenuhi nazarnya untuk menari hingga ajal menjemput. Setelah terserang stroke dan menjalani perawatan, sebagian tubuh Rasinah lumpuh. Kala itu, Rasinah berkata ”Saya akan berhenti menari kalau sudah mati”. Terbukti, di tarian terakhirnya, di Bentara Budaya Jakarta dalam acara pentas seni dan pameran “Indramayu dari Dekat”, sesaat setelahnya ia jatuh sakit dan dirawat di RSUD Indramayu. Pada 7 Agustus 2010, Mimi Rasinah akhirnya meninggal. Namun, cita – citanya supaya tari topeng terus lestari tidak berhenti. Cucunya, menjadi pewaris yang meneruskan cita – citanya.
Rasinah diistirahatkan di desa Pekandangan, Indramayu. Ratusan iring – iringan pelayat mengantarkan kepergian sang penari. Prosesi pemakaman sang penari jauh dari hingar bingar, sangat bersahaja namun meninggalkan jasa yang tak terkira. Ia dikenang di hati masyarakat Indramayu, meski pemakaman sederhananya sepi dari kehadiran pejabat setempat.