Oleh: Dian Septi Trisnanti (Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia/FSBPI)
Beberapa saat lalu, Ibu Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziah, menyatakan upah buruh rata – rata naik 1,09 %. Menurutnya, upah buruh sudah terlalu tinggi. Pernyataan itu sesuai dengan Surat Edaran (SE) Penetapan Upah Minimum yang sudah ditandatangani ibu Ida Fauziah. Hadirnya SE Penetapan Upah Minimum 2022 dan pernyataan ibu menteri mengundang amarah kaum buruh. Pada 18 November 2021, buruh bergerak di beberapa wilayah, seperti Jawa Tengah dan Bekasi menuntut kenaikan upah tanpa PP 36/2021. Keesokan harinya, GEBRAK (Gerakan Buruh dan Rakyat) menggelar protes di depan gedung Kemnaker. Selain menuntut PP 36/2021 dan UU Cipta Kerja dicabut, GEBRAK juga menuntut agar presiden Jokowi menerbitkan Perpres Penetapan Upah Nasional 2021, tentu saja tanpa PP 36/2021 yang merupakan turunan UU Cipta Kerja.
Ucapan Ibu Ida Fauziah sudah membuat buruh sakit hati. Sakit hati yang dirasakan kawan-kawan buruh bukan hanya sekali ini saja. Sejak dilantik menjadi Menteri Ketenagakerjaan RI, beragam kebijakan yang dikeluarkannya lebih banyak membuat buruh semakin terpojok di tengah dera kenaikan harga pangan dan krisis pandemi. Bila saja, ibu Ida Fauziah mau sedikit membuka telinga dan mata terhadap nasib buruh, terutama buruh perempuan yang harus mengelola keuangan rumah tangga sekaligus bekerja mencari nafkah, pasti bisa memahami. Tapi tidak. Ibu Ida, saya rasa tidak pernah bertemu dan berbincang dengan salah seorang teman saya, buruh perempuan yang harus menerima upah hanya 50% selama hampir setahun di masa pandemi, atau seorang buruh perempuan lainnya yang terpaksa menerima Surat Peringatan dari atasan hanya karena meminta jam istirahat diberlakukan selama pelaksanaan PPKM Darurat.
Mungkin bagi ibu menteri, kawan-kawan saya yang adalah buruh pabrik wajar “disesuaikan upahnya” dengan alasan pandemi atau bekerja dari subuh tanpa jam istirahat, sehingga energi terkuras. Padahal, upah di tahun 2021 naik hanya setetes saja karena ibu Menteri Ketenagakerjaan mengeluarkan kebijakan serupa yang “menghimbau” bahwa upah boleh tidak naik akibat pandemi. Sementara harga barang merangkak naik, terutama kebutuhan kesehatan mulai dari PCR, tabung oksigen hingga masker.
Ah, ibu Ida, di negeri dimana anda menjadi Menteri Ketenagakerjaan, di saat –saat kami, kaum buruh membutuhkan perlindungan anda, kami tidak melihat anda hadir. Pun, struktur pemerintah di bawah anda tidak pernah ada untuk kami. Tak jarang, buruh, yang mencoba membela haknya bisa digelandang begitu saja dengan tuduhan mencemarkan nama baik. Pertanyaan kami sebenarnya sederhana saja, anda dimana saat kami berjibaku di tempat kerja berhadapan dengan pemilik perusahaan yang demikian otoriter seolah tidak ada hukum yang mengaturnya dalam menjalankan bisnis. Upah buruh sudah tergerus sedemikian rupa, dengan upah yang naik tidak mencapai Rp. 100.000. Kira-kira, apakah cukup untuk membeli kebutuhan sehari-hari yang tidak bisa ditunda.
Di suatu malam, ketika tubuh ini sudah rebah berpeluk mimpi, saya diundang di sebuah stasiun televisi nasional. Di ruang maya, hadir seorang pengusaha, mewakili KADIN, sepintas ia berucap, “daya beli pengusaha juga turun, bukan hanya buruh”.
“Anda tidak bisa samakan kondisi ekonomi buruh dan pengusaha itu sama” jawab saya waktu itu.
Kiranya, cara berpikir pengusaha itu sama dengan pendapat umum saat ini, terutama pemerintah. Buruh ditempatkan dalam kondisi yang sama dengan pengusaha, mengabaikan fakta bahwa kaum buruh berada dalam strata sosial ekonomi yang jauh lebih lemah dibanding pengusaha. Pola pikir macam ini mengabaikan bahwa kita terlahir dalam strata sosial masysarakat yang berkelas, hirarkis dimana ada yang punya akses kekuasaan dan modal, sementara mayoritas yang lain tidak punya akses sama sekali.
Begitulah kiranya, kami kaum buruh diperlakukan secara tidak adil. Di tengah daya beli yang anjlok dengan angka konsumsi rumah tangga yang nyungsep, selalu dipaksa berkorban menjadi tumbal krisis. Andai ibu Menteri tahu, jauh sebelum pandemi berlangsung, tingkat kepatuhan pengusaha dalam membayar upah sesuai kebijakan Upah Minimum yang telah ditetapkan pemerintah sangat rendah. 50% pengusaha tidak membayar upah sesuai ketentuan Upah Mimimum. Jadi, saya rasa sungguh omong kosong kalau dikatakan buruh akan sejahtera bila pengusaha semakin banyak mendulang profit. Tidak, semakin banyak profit didulang, semakin rakus mereka mengeksploitasi tenaga buruh.
Sejenak, saya teringat dengan sosok Menteri Perburuhan terdahulu, seorang yang meletakkan fondasi hak-hak buruh yang kini masih bisa dinikmati seperti cuti hamil dan cuti haid. Satu-satunya Menteri Ketenagakerjaan yang fotonya tidak terpampang dalam deretan foto-foto Menteri Ketenagakerjaan di gedung Kementerian Ketenagakerjaan. Ia adalah SK Tri Murti. Sayang, keberaniannya dan keberpihakannya kepada buruh tidak pernah menjadi teladan bagi Menteri Ketenagakerjaan setelahnya, dari masa Orde Baru hingga saat ini.