Dalam dialog buruh perempuan di Semarang yang menghadirkan beberapa serikat buruh, seperti KSPN, FSPMI,, FSP KEP, KAHUTINDO , FSPI, SP Reformasi dan FSPLNdan lembaga lain seperti Yasanti, LBH Semarang, LRC KJHAM. Dialog tersebut berlangsung setelah pemutaran film Angka Jadi Suara, tepatnya pada Sabtu, 20 Mei 2017, di Café de Lasco, Semarang. Saling berbagi pengalaman masing masing, menjadi kekuatan dalam dialog. Dialog ini sendiri terselenggara atas kerjasama Perempuan Mahardhika, LBH Semarang, dan FBLP
Anik, salah satu buruh perempuan dari KSPN, menyampaikan kasus pelecehan seksual ada dan tersembunyi karena korban tidak atau belum berani bersuara, dianggap biasa. “Sebagai perempuan”, ucap Anik, “Kita perlu memproteksi badan kita”. Lalu mengalirlah cerita tentang kejadian pelecehan di PUK Grand Base Semarang Utara, dimana seorang buruh packing dilecehkan seorang pengawas. Pengawas itu, menyuruh buruh perempuan tersebut memegang alat vitalnya. Awalnya, korban tak berani mengadu, namun akhirnya muncul keberaniannya mengadu setelah merasa tidak betah. Ia melapor ke serikat. Kepada serikat, korban menceritakan sudah mengadu ke manajemen tapi tidak digubris. Sebagai bentuk perlawanan, esok harinya, semua buruh mengenakan kaos hitam. Karena desakan itu, pelaku akhirnya diberi sanksi.
Kegelisahan juga menghinggapi Wahyu, wakil FSPI. Ia menuturkan, karena kondisi upah yang buruk, buruh perempuan memilih lembur meski menerima pelecehan seksual. Buruh perempuan seperti tak punya pilihan.
Kondisi upah yang rendah, memang memaksa buruh perempuan untuk mengambil lembur untuk menambah penghasilan. Tak jarang, upah lembur bisa lebih tinggi dari upah minimum provinsi. Hal itu memang memaksa buruh perempuan mengambil lembur meski kondisi kerja tak aman. Terkait hal itu, Jumisih, Ketua Umum FBLP menyampaikan pentingnya perjuangan upah dan problem perempuan mesti sinergis.
Pemasangan plang, sebagaimana yang terpapar di dalam film, adalah salah satu langkah untuk melindungi perempuan. Plang yang sudah berhasil terpasang di KBN Cakung, harapannya juga bisa diperjuangkan di kawasan industry di Semarang. “…kawan-kawan di Jakarta bisa memenangkan Plang, yang di Semarang ayo kita juga bisa mewujudkan ini”. Seru Ulfa, dari FSPMI
Pelecehan seksual yang dialami buruh perempuan di tempat kerja, bisa disebut sebagai perbudakan seksual. Perempuan lebih rentan terhadap kekerasan dan cenderung diam. Hal itu disampaikan oleh Ika Yuliana dari LRC KJHAM. Ika menambahkan, di sisi hukum belum banyak yang bisa diharapkan karena dalam KUHP, dari 9 bentuk kekerasan seksual, baru 3 bentuk yang dimasukkan, yaitu perkosaan, perzinahan dan tindakan asusila. Dalam KUHAP sendiri, minimal harus ada 2 alat bukti kalau kasusnya masuk ke ranah hukum. “Dan sering kesulitan dalam kejadian kekerasan seksual ada kaitannya dengan relasi kuasa, karena dibilang suka sama suka.”
Sebagai bentuk perlindungan terhadap buruh perempuan di tempat kerja, Serikat Buruh memiliki peran penting, sebagaimana yang dilakukan oleh PUK KSPN PT. Sinar Mas Jaya. Catur Sulistiani, salah satu pengurus menyampaikan bagaimana pasal tentang pelecehan seksual sudah tertuang dalam PKB (Perjanjian Kerja Bersama), meski belum bisa mengakomodir kebutuhan teman – temannya secara pribadi.
Dialog berlangsung seru, cerita – cerita di balik tembok pabrik mengalir deras, seperti yang dilontarkan Heni dari FSPMI. “Di pabrik kami, ada supervisor yang punya kebiasaan pegang pantat anak buahnya, kita ingin bisa melaporkan secara hukum, agar bisa membuat pelaku jera.”
Sebagai bentuk perjuangan melawan pelecehan seksual di tempat kerja, serikat – serikat buruh yang hadir dalam dialog tersebut bersepakat mendeklarasikan “Buruh Perempuan Anti Kekerasan Seksual Kota Semarang”, yang merupakan bagian dari Aliansi Buruh Peremuan Semarang.