Search
Close this search box.

Ironi Pahlawan Devisa; Sebuah Percakapan

Oleh Ezra Manulang *

Juli 2015

Aku adalah mahasiswa yang sedang menjalani masa magang di FBLP. Seorang teman yang magang juga di lembaga buruh migran, namanya Andi, pernah bercerita. Ceritanya kepadaku pada malam itu adalah mengenai lembaga tempat ia kerja adalah lembaga yang memberi perhatian pada bagaimana para pekerja rumah tangga yang bekerja di luar negeri. Andi terkejut dengan realitas bahwa sebenarnya sering sekali para buruh migran ini mendapat ketidakadilan dari majikannya. Andi merasa miris ketika menyadari kualitas buruh migran Indonesia di lura negri, begini katanya.

“Dan gini ca. Salah satu hal yang paling miris menurut gue adalah para PRT (Pekerja Rumah Tangga)  ini  sebenarnya belum memiliki kemampuan yang cukup untuk bekerja di luar negeri. Misalnya aja kemampuan bahasanya, kalau keterampilan mah mungkin bisa dilatih. Tapi kalau bahasa? Kalau disana dia salah mengerti instruksi dari majikannya karena dia nggak ngerti bahasanya gimana? Ya majikannya jelas akan marah toh?” kata Andi

“Bukannya ada pelatihan bahasa juga ya? Biasanya hal-hal seperti itu disediakan penampung buruh migran itu.” Ujarku menanggapi Andi.

“Iya ada. Tapi sedikit sekali yang berjalan dengan baik. Misalnya aja ya, ada satu buruh yang baru satu bulan berada di pelatihan sudah langsung diberangkatkan ke Arab Saudi atau ke Cina” pungkas Andi.

“Lah, kok bisa gitu? Bukannya penampungnya itu milik pemerintah ya?” tanyaku sedikit penasaran.

“Nggak ca. Itu milik swasta. Sama, para pengusaha juga yang punya penampungan buruh migran itu.” Tegas Andi.

“Oh, pantas aja mereka gitu. Ya logislah. Ketika mereka nggak bisa bahasanya, mereka tidak akan mengerti apa yang harus dilakukan setiap kali diberi instruksi oleh majikannya. Tapi kasihanlah seperti itu. Mereka jadinya disiksa karena semata-mata bukan kesalahan mereka.” Ungkapku kepada Andi.

Andi menjelaskan banyak hal yang janggal mengenai sistem pengiriman dan persiapan para calon buruh migran. Namun ada satu hal yang membuat Andi pusing bukan kepalang, begini ungkapnya.

“Ya, tapi gue bingung deh. Ada satu kota di Jawa itu yang setiap tahun menyediakan ratusan buruh yang ingin sekali bekerja sebagai TKI di luar negeri. Kebanyakan memang perempuan sih, yang menjadi Pekerja Rumah Tangga gitu. Lucunya, mereka ingin sekali bekerja di luar negeri karena mereka melihat  beberapa teman yang menjadi kaya setelah pulang bekerja dari luar negeri.” Jelas Andi.

“Ya Andi. Yang mereka lihat yang baik, kalau nggak baik gimana? Kalau disiksa oleh majikannya gimana? Kalau gajinya tidak dibayar gimana?” tanyaku kepada  Andi.

“Ya itulah yang membuat mereka kurang minat dalam mengikuti pelatihan. Dan ketika itu terjadi, pihak penampungan juga merasa senang dengan berkurangnya beban mereka dalam membenahi calon buruh migran.”

Setelah itu Andi bercerita mengenai sulitnya permasalahan buruh-buruh migran di luar negeri. Andi mengambil contoh seperti yang ada di Arab Saudi, bagaimana seorang PRT tidak digaji, disiksa oleh majikannya, dan akhirnya melarikan diri dari rumah majikannya ke Kedutaan Besar Indonesia di Arab Saudi. Dia membenarkan beberapa berita yang sudah pernah muncul di televisi tentang PRT yang dihukum mati karena sudah tersiksa oleh majikannya, dan akhirnya membunuh majikannya. Andi juga sempat bercerita mengenai PRT di Taiwan yang sudah berkali-kali bekerja namun tetap tidak mendapatkan haknya sebagai pekerja. Dia sudah pernah bekerja menjadi PRT, tidak betah, dia bekerja di restoran, tidak betah dia kemudian bekerja di sebuah pabrik, sampai akhirnya dia mengalami gangguan kejiwaan. Gangguan kejiwaan tersebut mungkin disebabkan oleh hak-haknya sebagai pekerja tidak pernah dia dapatkan secara penuh, selalu dikurangi.

Tidak hanya itu, Andi juga bercerita kepadaku mengenai bagaimana sulitnya pemerintah Indonesia untuk mencampuri hukum yang berlaku di negara lain. Oleh karena itu, Jokowi pada tahun 2016 akan mengembalikan seluruh buruh migran dari luar negeri. Hal ini sangat ditentang oleh Andi dan lembaganya. Karena menurut mereka hal tersebut justru sama sekali tidak menyelesaikan permasalahan para PRT yang sedang bekerja di negeri orang.

“Apa yang mereka lakukan ketika sudah sampai di Indonesia? Ya tidak ada. Justru tindakan Jokowi seperti itu hanya akan menambah jumlah pengangguran di Indonesia” Jelas Andi.

Namun aku sempat membantah Andi dalam hal ini. “Menurut gue Ndi, Jokowi memulangkan mereka karena memang pemerintah Indonesia belum punya jalan keluar untuk mempertahankan mereka bekerja tanpa disiksa di sana. Mungkin    ini hanya langkah pencegahan akan lebih banyak lagi korban ketidakadilan Ndi. Mungkin biar para majikannya juga sadar betapa pentingnya peran PRT di dalam sebuah keluarga yang amat sibuk. Agar mereka juga belajar menghargai PRT yang sudah ada untuk mereka Ndi.”

“Iya ca. Tapi di Indonesia mereka jadi apa? Parahnya lagi apabila hal-hal seperti itu mempengaruhi harmonisnya hubungan antar negara, kan jadi repot kalau  gitu.” Jelas Andi menjawab penjelasanku.

“Ya juga sih. Makanya itu, justru masalahnya menurut gue adalah bagaimana persiapan para buruh migran sebelum mereka dikirim untuk bekerja ke luar   negeri. Mereka harus benar-benar sanggup menghadapi berbagai macam  masalah yang mungkin mereka hadapi di negeri orang. Tapi lembaga kalian masa tidak bisa berperan langsung untuk menyelesaikan ini?” tanyaku kepada Andi.

“Ya lembaga kami kan lembaga non-pemerintah. Tapi kami tetap aktif kok  menerima pengaduan dan bahkan memperjuangkannya semampu kami” kata Andi.

Dari penggalan obrolan kami ini, jelas terlihat berbagai masalah yang kembali berdampak pada dehumanisasi. Buruh migran yang sebagian besar adalah perempuan sudah dimanfaatkan di luar sana dan sama sekali tidak diberi perhatian yang baik oleh pemerintah. Dari mulai perekrutan sampai pengalaman-pengalaman para buruh migran ini, baik yang legal maupun illegal, semuanya tidak ada yang beres 100%. Bahkan Andi sempat bercerita bahwa ada kasus yang tertunda hingga 10 tahun, dan sampai sekarang tak kunjung selesai.

Perbudakan para Pekerja Rumah Tangga bahkan secara implisit justru dirintis oleh negara pemasok Pekerja Rumah Tangga tersebut, yaitu Indonesia. Dengan persiapan seadanya, pendidikan seadanya, pembekalan seadanya, mereka berangkat untuk mengadu nasib di negeri orang. Pahlawan devisa negara yang justru ditindas oleh negaranya sendiri. Aku sempat berpikir “berarti berbagai statement ‘negara hadir’ bagi rakyatnya yang sering kudengar akhir-akhir ini hanyalah bualan semata? Atau hanya mengumbar utopia agar merdu didengar telinga? Omong kosong!”

Satu hal yang dapat kulihat jelas adalah masalah “kebodohan.” Aku lebih suka menyebutnya sebagai “ketidaktahuan.” Dari cerita Andi di atas, ketidaktahuan para buruh migran mengenai bahasa, keterampilan bekerja dan apalagi hak-haknya membuat para majikan dan aparatur negara bersangkutan dapat bertindak semena-mena terhadap buruh migran tersebut. Ditambah pula posisi buruh migran tersebut yang hanya dianggap “pembantu” rumah tangga di sana. Belum lagi budaya yang berlaku di negara tempat ia bekerja adalah budaya yang sangat kental menonjolkan keperkasaan laki-laki. Penindasan yang berlipat ganda ini justru “dicuekin” oleh calon buruh migran karena pemahaman mereka yang sempit mengenai bekerja menjadi seorang TKI. Hal ini tentunya bisa dibenahi. Perlu proses yang panjang namun tak akan berjalan jika tidak dimulai.

*Mahasiswa STT Jakarta

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Berbagai Dinamika Pasca Pengesahan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Tuti Wijaya menyatakan kasus kekerasan seksual sangat banyak. LBH Semarang mencatat pada tahun 2021-2022 kasus kekerasan mengalami lonjakan yang cukup signifikan, dimana pada tahun 2021 aduan kekerasan seksual sebesar 19 aduan dan di tahun 2022 mengalami lonjakan sebesar 142% dan setelah pengesahan UU TPKS ini, LBH Semarang juga mencatat ada 49 aduan pasca pengesahan UU TPKS ini. 

Berjuang, Agar Korban Jadi Pejuang

Nama saya Ajeng Pangesti Anggriani, saya lahir di Bogor. Ibu saya berdarah Sunda asli dan bapak saya Jawa tulen tapi tidak satupun bahasa daerah yang

Yanti, Dokter Perempuan untuk Kemanusiaan

Perempuan Pelita edisi 18 September 2014 Di dunia ini, tak banyak yang menyandarkan pilihan profesi berdasarkan kecintaan pada kemanusiaan. Bila kita tilik, kebanyakan memilih profesi

Masukan untuk Draft RUU KIA: Memastikan Kesejahteraan Ibu Anak Tanpa Kekerasan dan Diskriminasi

Dalam kesempatan tersebut, Ketua Umum FSBPI, Dian Septi Trisnanti menyampaikan supaya RUU KIA tidak membebankan tanggung jawab pemeliharaan kehamilan, pengasuhan anak kepada ibu saja. Hal senada juga diungkapkan oleh Rena Heridiani, Wakil Ketua Keorganisasian Kalyanamitra, dimana RUU KIA masih bias gender karena menempatkan tanggung jawab utama pemeliharaan janin dan pengasuhan anak pada perempuan sebagaimana tercantum pada pasal 12.