Catatan Dialog Angka Jadi Suara di Taman Baca Kasiman Denpasar/ima dok
oleh Thien Koesna
Pemutaran dan dialog Angka Jadi Suara dilakukan kedua kalinya di Denpasar Bali, pada 18 Mei 2017. Kali ini Angka Jadi Suara difasilitasi oleh Taman Baca Kesiman. Sekitar 70 peserta hadir, dari pelajar hingga ibu rumah tangga. Di tempat terbuka yang sangat menyenangkan, Taman Baca Kesiman.
Bukan perjalanan biasa, bagi saya yang lebih akrab dengan Pasar Sukapura (pasar di belakang KBN Cakung Jakarta) daripada dengan bandara udara atau tempat wisata. Kawan-kawan lain dari FBLP dan Perempuan Mahardhika sudah dibagi dan ditugaskan, dan saya kebagian tugas ke Bali. Dengan deg-degan, saya beranikan diri ke Bali, naik pesawat, dan berangkat seorang diri.
Acara dimulai setelah hari gelap. Film Angka Jadi Suara diputar, peserta pada serius menyimak. Selesai film, ternyata saya maju sendiri. Waduh.. pikir saya, semua wajah pintar itu menuju ke saya. Gak ada pembicara lain, gak ada moderator juga. (Jadi ngerasa rugi, karena saya ada bolos saat pelatihan fasilitator di FBLP, oleh Mas Yono atau Mas Abu).
Saat tanya jawab, pertanyaan awal dari aktivis budaya, terus dari pelajar SMK, ‘Bagaimana tingkat pelecehan di KBN Cakung setelah semua ini?’ ‘Setelah plang dipasang, apakah ada tindakan bagi pelaku?’ Saya menjawab sebaik-baiknya saya bisa, bahwa sebenarnya belum diketahui dampak langsung dari pemasangan plang bebas dari pelecehan seksual, di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung. Plang atau rambu tentu capaian penting, tapi masih awal dan butuh banyak dukungan lagi. Agar plang serupa bisa diterima dan dipasang juga di pabrik-pabrik di KBN Cakung.
Entah bagaimana saya menjelaskan, para peserta makin rajin angkat tangan untuk bicara. Ada pertanyaan, ada tanggapan dan pandangan, juga saling menanggapi, dari perempuan maupun laki-laki. Ada tentang proses membuat film Angka Jadi Suara, juga tentang pelecehan seksual. Saya juga mengajukan pertanyaan, kan namanya dialog, jadi saya juga peserta, misalnya apakah ada plang atau rambu di tempat teman-teman ini.
Menarik bagi saya, ketika dalam dialog ini, muncul juga pernyataan dari laki-laki, “Saya merasa pernah melakukan pelecehan seksual, seperti pegang-pegang, ngintip. Masalah ini dari kecil. Perlu peran negara agar ada pengetahuan.” Pernyataan ini mengingatkan saya dengan diskusi-diskusi di FBLP, bahwa upaya besar sebenarnya adalah merubah cara berpikir. Agar ada pandangan baru tentang kesetaraan dan keberdayaan, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Kita akan ikut mendorong hal itu terjadi, sampai negara mengambil tanggung jawab. Jadi saya senang ketika dalam dialog ini juga bisa tersampaikan pandangan dan pengalaman.
Film Angka Jadi Suara sepertinya cukup bisa memantik diskusi di Taman Baca Kesiman. Diskusi mengalir bukan hanya tentang film dan KBN, juga tentang pelecehan seksual di komunitas masing-masing. Pikir saya, dialog semacam inilah yang akan memberi banyak pengetahuan kepada saya, juga kepada FBLP dan Perempuan Mahardhika. Sebab selain bicara masalah, diskusi juga tentang apa yang bisa diupayakan. Di forum ini saya juga sampaikan ajakan untuk bersama mendukung pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, serta membayangkan untuk membuat dialog serupa tapi secara nasional.
Sehabis diskusi, masih lanjut ngobrol-ngobrol akrab dengan teman-teman baru ini. Sangat mengesankan. Saya menginap di tempat Riama. (Makasih Riama, juga jalan-jalannya). Baru mau tidur, eh datang kejutan tengah malam, Acha datang, temen buruh KBN yang sekarang kerja di Bali. Katanya baru pulang kerja, jadinya gak ngikut nonton dan diskusi. Sama ternyata dengan situasi saya belasan tahun kerja di KBN Cakung, rasanya dunia sebatas ruang kerja dan kamar kontrakan, dan tiba-tiba waktu habis, terus diulang lagi. Tapi dengan semua beban itu, saya yakin, buruh dan perempuan menjadi kokoh menanggung tugas perubahan.
Akhirnya perjalanan ke Bali menjadi pengalaman luar biasa. Terima kasih semua yang menyertai pengalaman ini. Semoga bertemu dalam Angka Jadi Suara di kesempatan yang lain.