Search
Close this search box.

Berjuang, Agar Korban Jadi Pejuang

Nama saya Ajeng Pangesti Anggriani, saya lahir di Bogor. Ibu saya berdarah Sunda asli dan bapak saya Jawa tulen tapi tidak satupun bahasa daerah yang saya kuasai, mungkin karena saya dari umur 4 tahun sudah di Jakarta dan tumbuh besar di tanah Betawi ini.

Sekarang saya mengontrak sebuah kamar di belakang KBN Cakung. Masa kecil saya tidak seperti anak-anak lain karena ibu saya berpisah dengan bapak sejak saya masih kecil dan karena ayah saya memutuskan untuk tinggal bersama istri keduanya. Ya itulah, ayah saya berpoligami, membuat saya tidak pernah merasa punya ayah karena memang beliau hampir tidak pernah ada di setiap proses penting hidup saya, kecuali waktu saya menikah karena memang secara agama, pernikahan saya baru sah bila beliau menjadi wali saya. Sayangnya, pernikahan saya pun tidak bertahan lama hanya 3 tahun setelah itu, sayapun berpisah dengan suami saya.

Setelah selesai sekolah, umur saya 18 tahun, saya sudah bekerja di KBN Cakung dengan berpindah-pindah PT dan di PT ini saya sudah bekerja selama 8 tahun. Tapi tidak full bekerja secara terus menerus, karena PT tempat saya bekerja ini sempat vakum selama 1.5 tahun karena ditinggal kabur bosnya, selama itu juga saya mendirikan tenda perjuangan. Pihak pengelola Kawasan Berikat Nusantara (KBN) dan serikat pekerja tempat saya bernaung, yang kebetulan saya juga adalah pengurus serikat, mengajukan proses pailit ke Pengadilan (PN) Niaga. Bos pun kembali dan mengajak berdamai yang akhirnya disetujui oleh semua pihak dengan beberapa syarat. Sekarang PT nya berjalan kembali.

Saya sudah aktif di serikat pekerja sekitar 6 tahun, ya awalnya cuma jadi anggota biasa, ikut-ikutan saja tapi ternyata dunia serikat membuka hati saya, bahwa saya bisa melakukan lebih untuk kawan-kawan saya sesama buruh. Hingga sekarang, saya menjadi pengurus serikat di tempat saya bekerja.

Awalnya, saya cuma tahu tentang hak normatif dan belajar tentang Undang Undang Ketenagakerjaan saja. Tapi setelah saya mengikuti Sekolah Buruh Perempuan (SBP) yang diselenggarakan oleh Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), saya belajar sesuatu yang baru tentang Buruh Perempuan dengan sejuta masalahnya, dari hak maternitas, pelecehan seksual dan lain lain. Saya tertegun, menyadari bahwa kesejahteraan buruh perempuan tidak melulu tentang upah, pelecehan seksual adalah salah satu hal yang paling menjadi momok dan sangat sulit diungkapkan hingga sekarang.

Saya menjadi sangat tertarik untuk belajar lebih dalam lagi tentang hak buruh perempuan. Pucuk dicinta ulampun tiba, begitulah kira-kira istilah saat saya diajak bergabung di Komite Buruh Perempuan yang terdiri dari FBLP, Perempuan Mahardika, FSUI dan LBH Jakarta.

Komite Buruh Perempuan berkomitmen untuk menjadikan KBN Cakung sebagai kawasan bebas dari pelecahan seksual. Sebagai Kawasan Industri dengan jumlah buruh perempuan terbanyak tentu saja tidak lepas dari masalah pelecehan seksual sebagai kejahatan sunyi. Ya, lagi-lagi perempuan yang disalahkan kalau berani bercerita tentang pelecehan seksual yang dialaminya.

Untuk itu kita mengajak Managemen KBN Cakung untuk bekerja sama agar ada fasilitas dimana buruh perempuan tidak takut untuk mengadu. Fasilitas yang membuat buruh perempuan merasa aman untuk bercerita tentang pelecehan yang dialami. Dan akhirnya Posko Pembelaan Buruh Perempuan pun terwujud, bertempat di belakang KBN, memang belum permanen karena masih berbagi tempat dengan Pos security tapi menurut saya ini sudah sebuah awal yang baik dan keren karena baru KBN Cakung satu-satunya kawasan yang punya fasilitas Posko seperti ini.

Sayapun tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk jadi Relawan Posko. Sebuah pengalaman berharga bisa mendengarkan cerita, menerima pengaduan tentang masalah yang dialami oleh kawan-kawan buruh perempuan. Dan sayapun mendapat kesempatan untuk menjadi tim advokasi dari kasus korban kekerasan seksual. Sungguh, tidak akan pernah saya lupakan bagaimana saya mendampingi korban mulai dari membuat laporan ke kepolisian, visum, mencari saksi dan menunjukkan bukti-bukti. Saya juga mendampingi untuk pemulihan korban dari trauma dengan konseling ke Yayasan Pulih.

Semua pengalaman ini membuat ilmu saya bertambah, ilmu yang nggak saya peroleh waktu sekolah. Saya juga merasa terharu karena merasa berguna untuk sesama perempuan. Semua itu hanya bisa saya dapatkan setelah menjadi relawan posko. Maka saya bangga menjadi relawan posko.

Harapan saya, Posko Pembelaan Buruh Perempuan akan segera permanen. Dan menjadi contoh untuk kawasan industri lain agar punya posko yang sejenis.

Masih banyak pekerjaan rumah (PR) agar buruh perempuan bisa sejahtera dan bebas dari pelecehan seksual maka semangatlah para relawan!

Hidup relawan posko!
Hidup Perempuan!

Ajeng –
Relawan Posko Pembelahan Buruh Perempuan

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Menyegarkan Pergerakan Bersama Kafe Kobar

Kelompok Belajar Perburuhan (Kobar), sebuah kelompok belajar yang diinisiasi oleh Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), mengadakan Pendidikan Singkat Ekonomi-Politik untuk Kaum Muda pada Jumat hingga

Peradilan Sesat

Oleh Hasyim    Telat bubar demo,  dipidana jadi terdakwa Dituduh menghasut,  kami tidak takut   BAP palsu satu malam dipaksa menjawab satu malam itu juga 

Suka Duka Driver (Supir) Gojek

Apakah sahabat Marsinah pernah menggunakan jasa Driver On Line? Berikut ini sepenggal kisah seorang driver Go Jek. Panggil saja saya Rian, sehari – hari saya

Berani = Merdeka (1)

Tias di pembukaan Obor Marsinah/dok liputan6.com   Oleh  *Tiasri Wiandani Bekerja, Memperbaiki Nasib Saya seorang buruh perempuan dari salah satu perusahaan garment yang merupakan perusahaan

Manfaat Pernikahan Bagi Perempuan: Masihkah Relevan?

Pada zaman sekarang, perempuan  bisa memproteksi dirinya sendiri. Ancaman zaman sekarang memang tidak dalam bentuk hewan buas atau bencana alam,  tapi diskriminasi, ketidakadilan, penindasan, penjajahan dan teman-temannya. Negara yang memiliki  regulasi yang cukup adil dan stabilitas politik seharusnya bisa menjamin keselamatan semua orang, termasuk perempuan.