Bambu, Barisan Maju Buruh Perempuan/dok.dev.marsinah.id
Oleh Muuhsanati Yusuf (Lanang)
Suara azan magrib terdengar di telingaku. Bila biasanya kita shalat bersama keluarga di rumah, kadang di masjid, namun kali itu, tgl 30 Oktober 2015, kami shalat berjamah depan istana bersama kawan buruh lain yang warna baju seragamnya pun beda dengan kita.
Lantunan suara yang merdu itu mengiringi detik- detik dimana air hujan buatan manusia (water canon) menghujam ke lautan massa buruh. Tiada henti, aku ingatkan ke kawan – kawan supaya berpegangan tangan.
“Kawannya jangan sampai lepas ya”
“iya, iya” jawab kawan-kawan
Itu suara yang selalu kudengar dari barisan rantai tangan manusia. Selang beberapa menit kemudian ketika aku sedang memberi aba-aba, tiba- tiba semprotan air pas megenai belakangku. Aku pun terjatuh dan berusaha bangun lagi agar kawan-kawanku tetap semangat.
Lebih dari sepuluh kali semporotan air dihujamkan. Yang kupikirkan adalah keadaan kawan – kawan dan yang ada di mobil komando (mokom). Sekali – kali, kulihat mokom aman, namun kala terakhir kali aku melihat mokom, seorang perempuan jatuh akibat semprotan yang sangat kencang sekali. Aku tidak tahu pasti siapa gerangan perempuan itu, karena di mokom ada banyak orang.
Tanpa peduli dengan semprotan water canon, dan peringatan terakhir dari aparat, kami tetap bertahan.
Terlintas di pikiran aku harus koordinasi dengan komandan BAPOR, aku minta kawan – kawan perempuan berada didepan pas dengan mokom. Setelahnya, aku minta tolong salah satu kawan dari FBTPI, agar kawan – kawan lelaki bisa memberi jalan
Aku dan kawan – kawan FBTPI (Federasi Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia) pun mulai memberikan intruksi supaya barisan perempuan pindah barisan.
Dengan suara lantang barisan bapor perempuan bilang “Nggak mau. Enak aja emang perempuan apaan,wuuuuuu, kita berani”
Aku hanya tersenyum melihat semangat juang kawan – kawan.
Rantai tangan manusia mulai berpegangan dengan erat, karena gas air mata segera ditembakkan ke arah belakang barisan. Kamipun sudah siap- siap. Tembakan gas air mata pun dilancarkan. Salah satu barisan perempuan terkena tembakan gas airmata. Di saat itu, aku masih bisa mengintruksikan agar ber siap- siap, supaya genggaman tangan tidak terlepas.
“Merunduk” Teriakku ,
“ Doooorrr” barisan belakangku terkena gas airmata. Hamburan gas air mata dari badanku membuat barisan bambu merasai perih, sesak napas, batuk, ada juga yang mual. Asap yang begitu banyak di dekatku hingga barisan lari kocar kacir mencari pertolongan. Yang tersisa di barisan Bambu, hanya satu orang. Ia berdiri tegak sambil menangis menahan perih. Melihatnya, aku balik badan dan menolongnya.
“Subhanalah..” ternyata ia Atih, salah seorang anggota kami. Sepanjang jalan, ia terisak. Maklum ini baru pengalaman pertama ia terkena gas air mata.
Kemudian, di tengah jalan, aku melihat seorang lelaki terjatuh dan ditolong oleh seorang kawan yang lain. Baru terayun satu langkah kakiku, kulihat kawanku, Dahe jatuh.
Akhirnya, ada kawan Yoyok, menolongnya sambil berteriak “bangun, bangun”
Itu suara terakhir yang aku dengar dari kawan – kawan yang sebelumnya satu barisan denganku. Aku terus berusaha membawa satu kawan yang tersisa di tanganku. Pagar kawat, bahkan aku panjat demi menyelamatkan satu kawanku itu. Akhirnya sampailah kami di taman yang sepi orang. Aku berusaha menenangkan kawanku agar tidak lagi menangis. Untuk menenangkannya aku butuh air. Tiba – tiba ada seorang laki –laku kulihat sedang minum air.
Kuberanikan diri meminta air dan Alhamdulilah ia berkenan berbagi. Satu teguk aku bagi berdua dengan kawanku.
Lega rasanya minum air, akupun mulai tenang dan ada semangat baru. Mana kala aku melihat ke kanan mokom, kumelihat seorang kawan lelaki yang sedang memeluk seorang perempuan berperawakan kecil, diserbu oleh polisi. Perempuan mungil itu, Bu Jum. Aku pun begegas ke arah mokom. Aku bilang ke kawanku
“Kamu tunggu di sini jangan kemana – mana aku mau tolong bu Jum”
Di atas mokom ada beberapa polisi, tangan para polisi itu masih saja memukul dan menendang salah seorang kawan. Ia adalah Sutar, anggota FBTPI yang terus berusaha berdiri tegak menghalangi pukulan aparat. Sutarpun ditarik dan ditangkap, hanya Syahrul yang tersisa di mokom. Ia pasang badan menjaga Jumisih. Aku tidak tinggal diam, aku hampiri mokom, tanpa peduli dorong – dorongan dengan polisi. Aku hanya berpikir bagaimana supaya Bu Jum bisa selamat. Kulihat Bu Jum turun dari mokom dengan muka pucat, aku memeluk dari belakang berusaha menghalangi polisi. Lega rasanya, akhirnya Bu Jum selamat.
Akupun kemudian kembali ke taman untuk menjemput Atih, ternyata ia sudah tidak ada di taman. Aku pun kebingungan. Namun akhirnya, ia kami temukan bersama anggota lain. Sayang, kami terpaksa pulang tanpa Lami dan Dian. Baru kemudian kuketahui Dian tertangkap dan Lami diselamatkan oleh kawan Brigade SPSI.