2nd Annual Kartini Conference on Indonesian Feminisms (KCIF 2024) merupakan penyelenggaraan konferensi feminis Indonesia yang kedua kalinya, setelah KCIF pertama pada tahun 2023. KCIF diadakan secara online, gratis atas dasar kerja suka rela. Dalam perhelatan kali ke dua ini, sekitar 1500 orang dari berbagai negara siap untuk hadir. Setidaknya beberapa negara lain yang hadir selain Indonesia adalah Australia, Amerika, Inggris, Jerman, Bahrain, Belanda, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, dll. Diah Irawaty, Pendiri dan Koordinator LETSS Talk sekaligus Koordinator Program KCIF2024 menyatakan, harapannya KCIF akan menginspirasi konektivitas lebih kuat antara kajian, penelitian, advokasi, dan pemberdayaan sebagai agenda feminisme Indonesia yang integratif.
KCIF sendiri merupakan ruang pertemuan pemikiran tentang feminisme yang diadakan setiap tahunnya untuk bertukar pengetahuan hasil riset dan kajian berbagai tema feminisme Indonesia, berbagi pengalaman advokasi, juga refleksi personal. KCIF 2024 dilaksanakan secara virtual melalui Zoom pada 24-30 Juni 2024 oleh A Consortium for Plural and Inclusive Indonesian Feminisms yang terdiri dari dua lembaga, yaitu LETSS Talk (Let’s Talk about SEX n SEXUALITIES) dan Konde.co.
Farid Muttaqin, Conference Chair KCIF 2024 menyatakan, penentuan tema KCIF 2024, “Menguatkan Sinergi Kajian dan Aktivisme Feminisme Indonesia di Tengah Politik Oligarki Nasional dan Fasisme Global,” mempertimbangkan situasi sosial-politik, baik lokal, nasional, hingga global yang tidak selalu mendukung, bahkan bertentangan dengan, agenda-agenda feminisme. Krisis kemanusiaan di Palestina, Ukraina, Rohingya, Uighur, Afghanistan, dengan korban terbanyak kelompok yang direntankan, seperti perempuan, anak, people with disability (warga disabilitas), minoritas gender dan seksual, dan kelas sosial-ekonomi bawah, menegaskan agenda feminisme untuk keadilan dan HAM yang tak pernah usai.
Di sisi lain, “politik feminisme” kontemporer menyebabkan gerakan feminisme bukan saja semakin memiliki banyak rupa, tapi memunculkan kontestasi dan konflik atas nama ideologi, sejarah, dan kepentingan politik, di kalangan feminisme sendiri. Akibatnya, untuk tragedi kemanusiaan paling tragis seperti Palestina, feminisme belum menampakkan satu visi dan misi yang solid, untuk melawan kolonialisme, rasisme, dan genosida.
“Kita menyaksikan dan mengalami menguatnya oligarki nasional dan fasisme global yang menjadi ancaman kontemporer bagi kemanusiaan, keadilan, dan kebebasan. Perkembangan politik tersebut tidak mengarah pada tercapainya atau menguatnya tujuan yang diinginkan gerakan feminisme, seperti keadilan gender, kebebasan mengekspresikan identitas gender dan mengartikulasikan seksualitas, dan memperjuangkan ide-ide feminisme,” kata Farid Muttaqin.
Agenda-agenda “tradisional” feminisme, seperti hak asasi manusia, keadilan gender, inklusivitas pada keragaman gender, keragaman seksual, dan queer, keadilan reproduksi, keadilan iklim, jika tidak mendapatkan resistansi dan tantangan, tidak menjadi agenda populer bahkan sekadar menjadi subjek yang “nyaman” untuk disuarakan tanpa khawatir dibully (mengalami perundungan). Konservatisme agama dan budaya, ekstremisme politik, hinga depolitisasi digital politics menjadi sumber-sumber baru fenomena sosial-politik yang kontraproduktif dengan agenda feminisme.
Dalam politik global, atas nama gerakan anti-Woke, kelompok politik ekstrem Sayap Kanan (Right-Wing) dan Kanan Jauh (Far-Right) melakukan propaganda anti-transgender dan bahkan anti-gender.
Pada Pemilu 2024 lalu, HAM, keadilan gender, keadilan reproduksi, keadilan iklim, dan agenda feminis lainnya sama sekali tidak menjadi faktor krusial dan determinan untuk memengaruhi proses pemilu agar menjadi proyek membangun ulang negara-bangsa yang lebih menghormati HAM dan memiliki political will kuat pada agenda-agenda feminisme. Sebaliknya, HAM dan agenda-agenda feminisme justru menjadi faktor marginal bahkan “menyusutkan” elektabilitas.
“Kami berkeinginan mengajak kita semua untuk berkontribusi membangun dunia yang lebih waras (sane), yang menekankan pada empati dan solidaritas. Politik elitisme berbasis oligarki dan fasisme menjadi ancaman gerakan feminisme dalam memperjuangkan keadilan di segala aspek kehidupan. Ketika para oligarkh, fasis, dan elit-feodal yang anti-feminisme go low dengan berbagai aksi diskriminatif, opresif, ofensif, rasis, seksis, homofobik, transfobik, queerfobik, misoginis, kita berusaha terus untuk go high dengan menebarkan empati, toleransi, inklusivitas, solidaritas, dan anti-kekerasan,” kata Farid Muttaqin.
Pemimpin Redaksi dan Penanggung Jawab Konde.co, Luviana Ariyanti menyatakan, KCIF 2024 dilaksanakan di tengah banyaknya kontradiksi, baik di Indonesia maupun di dunia internasional. Di Indonesia, Pemilu 2024 penuh nepotisme, implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan aturan turunannya yang jalan di tempat, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) 20 tahun tak juga disahkan, dan Koalisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengatur media penyiaran dan digital dan memberangus pers dan mendiskriminasi kelompok minoritas. Di dunia internasional, Israel menjarah tanah-tanah di Palestina.
“Apakah kita akan kalah? Berhenti di tengah, atau menyerah? Tapi, bagaimana tidak putus asa, jika ketika sedang berjuang untuk stop perubahan iklim, namun banyak manusia meninggal karena penguasa menjarah tanah-tanah, kontradiksi-kontradiksi ini berlangsung saat ini,” kata Luviana Ariyanti.
Dalam KCIF 2024 akan dipresentasikan berbagai hasil kajian, pengalaman advokasi dan pemberdayaan, dan refleksi personal feminisme dari akademisi, aktivis, jurnalis, peneliti, dan penyintas kekerasan berbasis gender. Para pembicara dan presenter akan memaparkan berbagai kajian feminisme melalui 45 topik diskusi, seperti penguatan sinergi feminisme antara akademisi dan aktivis, everyday feminism (feminisme keseharian) dan penguatan feminisme akar rumput, maskulinitas baru, migrasi perempuan dan perubahan relasi gender, care work, feminisme, etnisitas dan agama, hingga feminisme dan media di era digital, juga AI, dll. Mereka antara lain, Dr. Abby Gina Boang Manalu, Prof. Dr. Atun Wardatun, Dr. Nikodemus Niko, Dr. Saras Dewi, Dr. Wisnu Adihartono, Dr. Mia Siscawati, Prof. Nina Nurmila, Prof. Siti Kusujiarti, Wahyu Susilo, Dédé Oetomo, Dewi Candraningrum, dan lainnya. Dr. Rosalia Sciortino, Profesor di Mahidol University dan Chulalongkorn University, Thailand dan Direktur SEA Junction akan menjadi pembicara kunci. Satu sesi khusus tentang “Pendudukan Palestina dan Gerakan Feminisme” menghadirkan empat pembicara dari universitas luar negeri, yaitu Dr. Loren Lybarger (Ohio University), Dr. Dina Siddiqi (New York University), Dr. Kholoud Al-Qubbaj (Southern Utah University), dan Dr. Intan Paramaditha (Macquarie University).
Di sisi lain Diah Irawaty, Koordinator Program KCIF 2024 sekaligus Pendiri dan Koordinator LETSS Talk menuturkan “Kami berharap, beragam pengetahuan yang disirkulasi dan hasil-hasil penelitian dan kajian feminisme yang dipresentasikan dalam KCIF mendorong upaya-upaya advokasi dan pemberdayaan dalam masyarakat, termasuk di level lokal. Sebaliknya, KCIF juga mendorong produksi pengetahuan berbasis advokasi dan pemberdayaan, yang banyak dilakukan organisasi-organisasi feminis di Indonesia.”
Diah Irawaty menyatakan, salah satu ekspektasi LETSS Talk dan Konde.co dalam penyelenggaraan KCIF adalah kehadiran agenda berpengetahuan feminisme yang tidak eksklusif, tapi terbuka bagi semua elemen dan entitas feminisme Indonesia. KCIF diharapkan selalu menekankan semangat volunterisme, kolaboratif, kolektif, inklusif, dan interseksional, yang aware pada pluralitas, marginalitas, “vulnerabilitas,” disabilitas, dan “invisibilitas.” Melalui KCIF, gagasan, ide, dan agenda feminisme semakin familiar dan populer, bukan dianggap asing apalagi menakutkan, termasuk di kalangan masyarakat umum.
Dalam KCIF 2024 ini, juga akan ada diskusi buku hasil KCIF 2023 yang berjudul “Transformasi Feminisme Indonesia: Pluralitas, Inklusivitas, dan Interseksionalitas” hasil kerja sama LETSS Talk, Konde.co, Pusat Kajian Literasi Kesehatan dan Gender, London School of Public Relations (LSPR), dan LSPR Publishing. Sejak diluncurkan pada April 2024 lalu, buku setebal 506 halaman tersebut mendapat sambutan hangat dari berbagai kalangan.
Sumber: rilis KCIF 2024