Adil berarti serasi, harmoni, seimbang dalam membagi tugas dan membagi hak kepada rakyat – S. K. Trimurti
Nama S. K. Trimurti mungkin asing bagi kita, khususnya bagi para remaja Indonesia masa kini. Akan tetapi, namanya begitu melegenda dikalangan jurnalis Indonesia. Ia dijuluki “Waratawati Tiga Zaman”. Selain seorang wartawati, ia juga tokoh pejuang perempuan. Pada awal revolusi, sekitar tahun 1950-an, ia sering dipanggil dengan sebutan “Zus Tri”. Zus adalah sebutan untuk kakak atau bung bagi laki-laki. Ia sangat akrab dengan penjara. Berkali-kali ia keluar masuk penjara karena tulisannya dianggap berbahaya oleh pemerintah. Ia juga aktif sebagai Dewan Pimpinan Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI). Ia juga pernah mengelola majalah Spiritual “Mawas Diri”.
SK. Trimurti lahir pada tanggal 11 Mei 1912 di Boyolali, Surakarta. Ayahnya bernama R. Ng. Salim Banjaransari Mangunsuromo dan ibunya bernama R. A. Saparinten binti Mangunbisomo. Ayahnya adalah seorang carik (juri tulis), yang kemudian menjadi camat. Nama kecilnya adalah Surastri. Surasti memiliki 8 saudara. Keluarga Surastri bisa digolongkan sebagi kalangan priyayi. Pada usianya yang ke-5, ia sudah dapat berpikir tentang kesulitan dan penderitaan yang menimpa rakyat jelata. Pemikirannya ini muncul karena dalam kesehariannya ia menyaksikan secara langsung banyak anak-anak yang bertelanjang bulat dan tidak memakai pakaian. Oleh karena hal inilah, muncul sikap peduli dan keinginan untuk membela kaum jelata.
Walaupun ia adalah anak perempuan, namun ia bisa mendapatkan pendidikan. Hal ini dikarenakan ia merupakan anak dari kalangan pamongpraja di desanya. Tahun 1925 ia menamatkan pendidikannya di Tweede Inlandsche School dan melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Guru Puteri, Meisjes Normaal School di Jebres, Solo. Sempat muncul rasa iri terhadap kakak-kakak laki-lakinya karena mereka bisa bersekolah di Europese Leger Scholl (ELS) di Klaten. ELS merupakan sekolah bergengsi yang dikhususkan untuk anak-anak dari bangsa Eropa dan anak-anak yang berasal dari golongan priyayi. Lima tahun kemudian Surastri tamat dari sekolah guru tersebut dengan predikat lulusan terbaik.
Mengenal Organisasi dan Perjuangan
Setelah lulus dari sekolah guru tersebut, ia langsung mendapat tugas mengajar di Sekolah Latihan, tempat para siswa Sekolah Guru. Ketertarikannya pada organisasi mulai berkembang ketika ia bekerja di Banyumas. Organisasi yang ia ikuti di Banyumas adalah perkumpulan Rukun Wanita. Beberapa tahun kemudian, ia mengikuti rapat yang diadakan oleh Partindo. Ia pun tertarik untuk bergabung dengan Partindo dan memutuskan untuk mengakhiri karirnya sebagai guru untuk bergabung dengan Partindo. Tahun 1933 menjadi tahun yang cukup berarti untuk Surastri karena di tahun inilah ia mendapatkan pengalaman pertamanya untuk menulis di majalah. “Tri, tulislah karangan, nanti kami muat dalam majalah Fikiran Ra’jat” ungkap Bung Karno (Presiden Pertama Indonesia dan Pimpinan Redaksi Fikiran Ra’jat) kepada Trimurti (sebutan untuk Surastri muda), yang menjadi pecutan semangat Trimurti untuk menulis di majalan untuk pertama kali di dalam kehidupannya. Ia sebenarnya lebih suka dipanggil Surastri ketimbang Trimurti karena baginya Trimurti berhubungan dengan nama istri Janaka yang kesekian. Hal ini sangat bertentangan baginya, karena ia adalah perempuan yang sangat menentang poligami.
Majalah Fikiran Ra’jat adalah majalah politik yang berhaluan radikal, nasionalis, anti-kolonialisme dan anti-imperialisme. Tulisannya tidak sempat terbit karena Bung Karno ditangkap oleh penguasa kolonial kala itu. Ia pun kembali ke kediaman orang tuanya di Klaten, Jawa Tengah. Ketika di rumah orang tuanya ia merasa resah dan tidak nyaman. Ia tidak bisa tinggal diam melihat bangsanya ditindas. Ia pun melanjutkan perjuangannya melalui tulisan-tulisannya. Ia juga pernah menulis di koran “Berdjoang” yang kala itu terbit di kota Surabaya yang dipimpin oleh Doel Arnowo, seorang pejuang. Ia juga mendirikan sebuah koran yang ia beri nama “Bedoeg” di tahun 1935. Nama itu terinspirasi dari bedug Masjid yang digunakan untuk memanggil kaum Muslim untuk sholat. Ia berharap dengan nama tersebut, koran yang ia dirikan bisa membangunkan dan memanggil rakyat untuk berjuang. Nama Koran Bedoeg kemudian berganti nama menjadi “Terompet”. Trimurti juga pernah memimpin redaksi dari majalah Suara Marhaeni. Setiap menulis di surat kabar Suara Marhaeni, Trimurti selalu menggunakan nama Trimurti, bukan nama kecilnya Surastri, karena ia takut apabila identitasnya diketahui dan ancaman datang untuk kedua orang tuanya. Selain itu, ketika ia tinggal di Solo, ia pernah mengirim beberapa tulisan dengan nama samara Karma. Sejak saat itulah, ia menggunakan nama Surastri Karma Trimurti untuk memimpin redaksi di majalah tersebut. Hingga wafatnya, namanya yang lebih dikenal oleh masyarakat adalah Trimurti.
Tahun 1936, ia diperiksa oleh polisi pemerintah Belanda karena penyebaran pamphlet oleh majalahnya dan kemudian ia dimasukkan ke dalam penjara. Tahun 1937 ia dibebaskan dan berkenalan dengan Mohammad Ibnu Sayuti atau yang kita kenal sebagai Sayuti Melik, Sang Pengetik Naskah Proklamasi Kemerdekaan, ketika ia sedang membantu majalah Sinar Selatan. Mereka menikah pada 19 Juli 1938 di Solo. Mereka dikaruniai dua orang anak laki-laki yaitu Moesafir Karma Budiman (M. K. Budiman) lahir di Solo pada 11 April 1939 dan Heru Baskoro yang lahir di Semarang pada 1 Juni 1942. Pada tahun 1947-1948 ia mendapatkan amanat untuk menduduki jabatan sebagai Mentri Perburuhan pertama pada Kementrian Perburuhan RI. Tahun 1959 ia menjadi anggota Dewan Nasional RI. Tahun 1960 ia mendapatkan gelar sarjana dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Ia juga pernah diutus oleh Pemerintah RI ke Yugoslavia untuk mempelajari Workers’ Management dan juga ke negara-negara sosialis lainnya di wilayah Eropa untuk studi banding mengenai sistem ekonomi. Tahun 1972 ia kembali memimpin majalah mental spiritual bernama “Mawas Diri”
Pada awal Jepang memasuki Indonesia, ia diinternir oleh Belanda karena dianggap mendukung Jepang melalui tulisannya yang dimuat di Sinar Selatan. Beberapa saat setelah melahirkan anak keduanya, ia kembali ditangkap dan dijadikan tahanan rumah, tidak boleh keluar rumah dan tidak boleh menerima tamu. Ia juga pernah disiksa oleh Kenpetai dan dipukuli kepalanya dengan pentungan karet karena tidak suka dengan penjajahan yang dilakukan oleh Belanda dan Jepang. Ia juga pernah menjadi anggota Pengurus Besar Partai Buruh Indonesia (PBI) di Yogyakarta, sebelum menjadi Mentri Perburuhan.
Indonesia, Belum Merdeka Seutuhnya
Pada usianya yang ke-70, ia mengungkapkan cita-cita bangsa Indonesia yang menurutnya belum terpenuhi. Indonesia telah merdeka, namun belum berdaulat sepenuhnya. Bersatu, namun masih ada virus-virus perpecahan di dalamnya. Adil, tapi belum terang. Makmur, belum terlihat namun sudah ada usaha menuju ke sana. Ia juga prihatin melihat adanya oknum-oknum yang menggerogoti kemerdekaan dengan korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan penyimpangan-penyimpangan dari cita-cita perjuangan. Baginya, keadilan lebih dahulu dibandingkan kemakmuran.
Perjuangan bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaan bukan hanya dilakukan oleh kaum laki-laki saja, akan tetapi kaum perempuan pun ikut campur untuk merebut kemerdekaan Indonesia. S. K. Trimurti merupakan salah satu contoh perempuan yang ikut dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Walaupun tanpa angkat senjata dan hanya melalui tulisan saja, ia berhasil memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tulisan-tulisannya yang berani untuk membangunkan dan membuka mata rakyat Indonesia berhasil untuk mengumpulkan tenaga dan semangat perjuangan di Indonesia. Berbagai tantangan dan cobaan yang ia lalui tidak membuatnya patah semangat. Perjuangannya yang tak kenal lelah membuat ia ditakuti oleh para penguasa yang tidak menginginkan Indonesia merdeka. Semangat yang tinggi dan kemauan yang keras membuat perjuangannya tidak sia-sia.