Di tengah buruknya situasi kehidupan buruh akibat Covid-19, Menaker Ida Fauziah memberikan kelonggaran bagi perusahaan dalam pembayaran THR kepada buruh. Bahkan, Menaker sudah menerbitkan Surat Edaran (SE) No. M/6/HI.00.01/V/2020 berkaitan dengan hal ini. Melalui Surat Edaran ini, Menaker berkehendak agar perusahaan-perusahaan yang tidak mampu untuk membayarkan THR bagi buruh, melakukan perundingan dengan buruh mengenai besaran serta teknis pembayarannya.
Hal ini merupakan bentuk rendahnya kapabilitas Menaker sebagai representasi negara yang ditugasi untuk melindungi hak-hak buruh. Alih-alih menekan perusahaan, Menaker seolah ingin tampil agung sebagai “penengah” antara buruh dan pengusaha. Padahal, yang dilakukannya merupakan politik cuci tangan yang dikemas dengan alasan pembenar yaitu kedaruratan Covid-19. Semestinya, di tengah kedaruratan ini, buruh sebagai pihak yang tidak menguasai sumber daya ekonomi-lah yang harus menjadi prioritas. Karenanya, Menaker Ida Fauziyah hanya tengah mengajak kementrian yang dipimpinnya menjadi lembaga yang malas di tengah kedaruratan ini.
Kegagalan SE Menaker Nomor M/3/HK/04/III/2020 yang pada intinya menghimbau perusahaan untuk mengadakan perundingan sebelum merumahkan buruh, tidak dijadikan pemerintah sebagai pembelajaran. SE ini terbukti tidak efektif, karena begitu banyak perusahaan yang melakukan PHK atau merumahkan pekerja tanpa perundingan mengenai pembayaran upah. Namun, tetap saja, Menaker begitu tumpul dalam melihat kenyataan bahwa kepemilikan sumber daya ekonomi tidak bisa diimbangi dengan himbauan-himbauan tanpa ketegasan. Perusahaan terus saja berdalih terkendala cash flow dalam pembayaran hak-hak buruh, sementara negara duduk manis tanpa mendesak pembuktian. Tentu sangat tidak logis jika perusahaan yang sudah meraup untung bertahun-tahun dari keringat buruh serta merta kehilangan kemampuan finansialnya karena berhenti berproduksi hanya selama satu bulan lebih. Selayaknya Negara tidak melakukan diskriminasi kepada buruh.
Buruknya penyaluran bantuan sosial karena data yang semrawut juga tampak tidak membuat Menaker bergeming. Padahal, karena negara yang selalu menganak-emaskan perusahaan, jutaan buruh telah kehilangan penghasilannya yang pas-pasan. Sekarang, ancaman buruh untuk tidak mendapat hak atas THR sudah di depan mata dengan adanya SE No. M/6/HI.00.01/V/2020.
Meskipun SE ini berusaha menyeimbangkan situasi perusahaan yang sedang sulit tapi kurang mempertimbangkan situasi sulit buruh dan posisi tawar buruh. Karena Surat Edaran ini mengeneralisir semua perusahaan seolah kemampuannya sama padahal situasi covid ini juga tidak bisa serta merta disebuat force majeur atau keadaan memaksa (overmacht) karena harus dilihat kasus perkasus atas kemampuan dan kondisi setiap perusahaan.
Kami secara organisasional menolak SE No. M/6/HI.00.01/V/2020 tersebut, karena SE tersebut justeru memberi celah kepada pengusaha untuk menunda atau tidak membayar THR kepada buruh. SE ini juga bertentangan dengan PP 78/2015 Pasal 7:
(1)Tunjangan hari raya keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) wajib diberikan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh.
(2)Tunjangan hari raya keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibayarkan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari raya keagamaan. Artinya THR harus dibayar sekaligus.
Selain itu, SE ini juga melanggar Permenaker 6/2016 Pasal 5 ayat (4) “THR Keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dibayarkan oleh Pengusaha paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan”.
Jakarta, 7 Mei 2020
Jumisih – 08561612485 (Ketua Umum)
Dian Septi – 081804095097 (Sekretaris Jenderal )