Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 ihwal uji formil terhadap Undang-Undang Cipta Kerja yang dibacakan pada 25 November lalu agaknya menunjukkan sikap ragu-ragu dari lembaga pengawal konstitusi tersebut. Di saat yang bersamaan, MK menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja cacat formil namun tidak serta merta membatalkan undang-undang tersebut. Pun status inkonstitusionalitas bersyarat yang diberikan oleh MK kepada Undang-Undang Cipta Kerja selama dua tahun terkesan memberikan kelonggaran bagi Undang-Undang Cipta Kerja untuk terus dijadikan legitimasi hukum untuk merongrong hajat hidup rakyat.
Tentu saja, ada amar ke tujuh yang mengharuskan pemerintah menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Sekilas tampak baik. Tapi, amar ini mempunyai problem eksekutorial. Amar ini tak ubahnya sebagai teka-teki, entah apa yang dimaksud “bersifat strategis” dan “berdampak luas”.
Belum lagi, perihal terbelahnya pendapat para Hakim Konstitusi. Empat dari total sembilan Hakim Konstitusi menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) terhadap putusan ini. Keempatnya menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja Konstitusional. Artinya, putusan yang ambigu ini hanya disepakati oleh 5/9 Hakim Konstitusi, sementara empat lainnya bersepakat dengan Pemerintah dan DPR.
Ambiguitas putusan ini telah menimbulkan diskursus baru di tengah masyarakat. Pemerintah, dengan jumawa, menyatakan akan tetap menjalankan Undang-Undang Cipta Kerja dikarenakan MK tidak membatalkan substansinya. Sementara rakyat berusaha memberikan pemaknaan lain.
Misalnya, sebagaimana disampaikan oleh pakar hukum tata negara, Feri Amsari, bahwa makna dari Putusan MK tersebut adalah Undang-Undang Cipta Kerja semestinya tidak berlaku sampai dengan dipenuhinya syarat-syarat yang ditetapkan oleh MK, yaitu perbaikan prosedur pembentukan dalam rentang waktu dua tahun. Sebagai penguat argumen ini, karena MK memutus uji materi terhadap Undang-Undang Cipta Kerja dengan Niet Ontvankelijke Verklaard (N.O.) atau tidak dapat diterima karena permohonan uji materi telah kehilangan objeknya. Artinya, secara tidak langsung MK telah menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja sudah tidak ada alias di-peti-es-kan hingga terpenuhinya syarat yang ditentukan oleh MK.
Di tengah sikap kepala batu pemerintah yang semakin ditunjukkan secara telanjang pada waktu-waktu belakangan, maka sudah saatnya rakyat bersikap sebagai pemegang daulat. Meskipun Konstitusi -yang konon katanya dijaga oleh Mahkamah Konstitusi- merupakan hukum tertinggi dalam negara hukum, namun di tengah ambiguitas yang tidak menguntungkan rakyat ini, sudah semestinya tafsir putusan tersebut diambil alih oleh rakyat. Alasannya: salus populi supreme lex esto, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi! Tentunya, keselamatan rakyat versi rakyat sendiri, bukan berdasarkan versi pemerintah. Rakyat berhak menentukan sendiri bagaimana jalan keselamatannya, karena daulat ada di tangan rakyat!
Kita pernah punya sejarah yang sedikit mirip dengan situasi saat ini. Pada saat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan disahkan, buruh melakukan aksi-aksi massa untuk menolaknya karena aturan ini dinilai tidak berpihak pada buruh. Akibatnya, undang-undang tersebut beberapa kali ditunda pemberlakuannya, selama bertahun-tahun. Hal ini terjadi bahkan sebelum Mahkamah Konstitusi terbentuk. Artinya, gerakan rakyat semestinya mampu untuk mendesak -setidaknya- penundaan pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja, bahkan tanpa bermodal putusan-putusan pengadilan. Kuncinya: persatuan.
Redaksi Marsinah FM