Hampir 12 tahun aku bekerja di salah satu perusahaan di KBN Cakung. Dengan latar belakang pendidikan yang tidak tinggi, aku mendapatkan pekerjaan menjahit sesuai keahlianku. 12 tahun lalu, hampir setiap hari aku habiskan waktu bersama ’’MASJUKI’’(mesin jahit bermerk Juki). Menjahit kemeja, 8 sampai 11 jam sehari. Rasa lelah, pegal, kesal karena diomelin pengawas, tapi semua itu sirna berganti senang kala waktu gajian tiba.
Bekerja di perusahaan ini, aku langsung menjadi anggota serikat yang sudah berdiri di perusahaan itu dan karena serikat itulah aku mendapatkan hakku sebagai karyawan ketika ter PHK. Selama bekerja aku memperoleh upah sesuai UMP, cuti haid, uang target, tunjangan dan fasilitas yang lain. Selain buruh pabrik,aku juga meluangkan waktuku sepulang kerja menjadi bagian dari Radio komunitas, menjadi relawan posko yang setiap hari Senin aku piket dari jam 4 sampai jam 6 sore.
Hari demi hari terus berlalu. Masih lekat dalam ingatanku, setahun yang lalu, seorang manajerku mengumumkan bahwa perusahaan dimana saya bekerja selama 12 tahun ini akan tutup. Sontak aku merasa sedih bercampur bingung. Manajerku bilang, kalau perusahaan ini ditutup karena tingginya biaya produksi dan pabrik akan dialihkan ke luar negri. Secara bergiliran kami diPHK ,satu persatu aku kehilangan teman temanku. Ada yang senang dengan uang pesangonya,ada juga yang sedih dan berharap bisa mempergunakan pesangonya sebaik- baiknya, karena sudah tidak lagi bekerja.
Bayang – bayang PHK terus menghantuiku. Kala pagi tiba, hatiku bertanya “Apakah kini giliranku? Apakah bila mendapat pekerjaan di tempat baru, aku akan memperoleh hak yang sama?” Kegalauanku itu terus memenuhi pikiranku, mengingat banyak perusahaan yang tidak memberikan hak buruhnya. Setiap kali piket jaga sebagai relawan posko di Posko Pembelaan Buruh Perempuan kudengar lalu lalang teman – teman buruh berkisah tentang penindasan di pabriknya. Sering aku dengar celoteh dan keluhan teman -teman dengan kondisi perusahaan tempat mereka bekerja. Ada yang diskors (lembur tidak dibayar), tidak boleh berserikat, tidak dapat cuti melahirkan, bahkan ada juga yang sampai di tinggal kabur bosnya. Alam pikirku berkata ,’’Ternyata aku masih sangat beruntung, karena aku berserikat jadi tau mana hakku sebagai buruh pabrik, hingga ku ter PHK”
Dan tiba waktunya tanggal 8 maret 2018, persis di Hari Perempuan Internasional, aku dipanggil, karena hari itu adalah hari terakhir aku bekerja. “Ya… aku terPHK!” .Rasanya campur aduk, sedih karena berpisah dengan teman-teman, sedih sudah tidak bekerja, sedih karena mungkin saja ini kali terakhir aku menjadi karyawan tetap. Tapi saya tetap bersyukur karena mendapatkan hakku sebagai karyawan dan akan saya pergunakan uang pesangon ini dengan baik.
Terimakasih tentunya kuucapkan degan serikat tempat aku bernaung, karena telah mengukir sejarah di kehidupanku. Dan aku baru sadar bahwa berserikat atau berorganisasi itu penting ketika kita menjadi buruh, agar kita tau hak-hak kita sebagai buruh. Kita bisa setara dengan perusahaan untuk memperjuangkan hak kita, tidak diintimidasi, tidak diupah murah, tidak bisa ditindas dan jadi berani melawan. Oleh karena, pada hakekatnya, manusia harus dimanusiakan.
Selamat tinggal, terimakasih atas segala dan duka. Kenangan ini akan selalu ada dan dimanapun saya bekerja, saya akan berserikat.
Oleh Cipit