ilustrasi, buruh dililit banyak masalah. – Khamid
Oleh Khamid Isthakori
-Sebuah Surat Kepada Djoehana, Di Malaysia-
Djoe yang baik, apa kabar? Semoga kabar baik, sembari menunggu apakah gerakan kaos kuning masih meneruskan aksinya pagi ini. Yang aku tahu, tempat kerjamu sungguh jauh dari lokasi “tsunami kecil” itu.
Surat ini, aku tulis dengan buru-buru,ketika sebuah berita TV dalam beberapa hari ini, begitu riuh mengulas tentang serombongan pekerja asing dari daratan Tiongkok. Begitu riuh, bising sampai film kartun Sponge Bob kesukaan Lintang harus terkalahkan. Dibahas, dianalisa dalam rumah kaca bernama nasionalisme, kesempatan kerja bagi pribumi dan kaca mata kecil bernama Indonesia semata.
Omong-omong, apakah ini tahun keduamu bekerja di Malaysia sebagai tenaga kerja Indonesia alias TKI? Ah, tentu rasa kangenmu pada anak-anak di Lampung kamu bunuh dengan sangat ya. Yang aku tahu, kamu begitu melankolis menuliskan kerinduan itu di status facebookmu. Tapi, sejatinya kamu tidak sendirian. Ribuan, puluhan ribu, ratusan ribu atau bahkan jutaan yang lain, manusia berdokumen Indonesia yang lebih lama tinggal di negeri Jiran itu. Coba kamu cek google, pasti jumlahnya akan melebihi perkiraanmu. Apa saja pekerjaan mereka? Kuli bangunan sepertimu –bukankah kamu mandor disana?—atau menjadi asisten rumah tangga –untuk menyebut pembantu aku takut sekarang, kena protes—dan bisa jadi jutaan lainnya pekerja anonim di kebun sawit tanpa kejelasan visa ataupun dokumen. Aku protes ketika Jokowi, ikutan menyebut mereka sebagai TKI ilegal. Siapa yang berhak menyatakan manusia tak berdokumen (karena alasan apapun) sebagai manusia ilegal?
Djoe,
Apa sebenarnya yang membuatmu harus “minggat” ke Malaysia? Bukankah ini negeri menjengkelkan yang seneng klaim kekayaan negeri kita? Apa sebenarnya? Benarkah tanah airmu tak kaya lagi? Benarkah alasan profesionalisme dan upah tinggi sampai rela kau korbankan kangenmu pada keluarga? Ayo jawab, Djoe. Ini, pertanyaan yang aku sangat ingin tahu jawabannya, melengkapi pertanyaan lainnya dulu ketika kita masih berkutat tentang outsourcing dan pilkada di Indramayu yang calonnya itu-itu saja.
Ah,
Apapun jawabanmu atas tanyaku, tidaklah penting. Apapun alasanmu pergi merantau juga tak terlalu prinsip. Apapun makananmu disana juga bukan urusanku. Yang menjadi urusanku, urusan kita adalah sebuah gugatan yang menghantui pikiranku berhari-hari belakangan ini, ketika orang ramai kasak kusuk tentang tenaga kerja asing. Lebih tepat, penolakan terhadap keberadaan tenaga kerja asing di Indonesia, terutama yang secara RASIS disebut dengan intonasi kasar dari Tiongkok sana. Lalu berlalu lalang, poster, stiker, banner dan pesan singkat menyatakan TOLAK! Semua, dengan kaca mata sempit menggugat rasa nasionalisme. Benarkah kedatangan mereka mengangu nasionalisme kita? Benarkah kepergianmu ke Malaysia itu menjadi TKI karena iman keindonesiaanmu tipis? Aku gak yakin.
Berkali, puluhan kali bahkan ratusan kali, berbusa mulut kita mengatakan slogan BURUH SEDUNIA BERSATULAH! Slogan itu, begitu terkenal. Slogan –yang dicap sebagai komunis itu—menyatukan kita. Mengantarkan ribuan solidaritas dari berbagai belahan dunia ketika kita kesusahan di negeri sendiri menghadapi juragan pabrik garmen, pabrik kursi dan pabrik elektronika. Slogan itu, yang menyatakan dengan tegas, bahwa buruh dimanapun berada maka disitulah ia menemukan tanah airnya. Slogan, yang katanya dimanapun buruh berjuang berserikat adalah saudara kita.
Lalu, kenapa slogan itu sekarang seolah menjadi sempit hanya karena ketertakutan kita karena kalah bersaing? Karena khawatir lapak kerja kita diserobot? Atau alasan lain sebenarnya? Sentimen elit, kegenitan politisi berbaju nasionalisme?
Djoe, baik-baiklah di sana, negeri orang. Tapi tak usah khawatir sebab dimanapun, mereka adalah saudara. Kawan kita yang juga hidup dalam “represi” pemerintahannya. Yang aku takut, adalah kalau masyarakat Malaysia berdemo di Kuala Lumpur, ribuan atau jutaan dengan mengusung banner raksana : USIR TENAGA KERJA INDONESIA! Dan yang aku lebih takutkan, kalau diantara spanduk itu menyebutkan namamu : USIR DJOEHANA! GANYANG DJOEHANA!
Ah, aku berharap, demo seperti itu hanya ada di Indonesia, di Jakarta. Hari ini. Ya, HARI INI SAJA! Rasisme, atas nama apapun tak boleh lagi mengotori semangat internasionalisme yang bertahun dikumandangkan!
Selamat pagi, Djoe. Salam buat kawan-kawanmu. Malaysia, adalah tanah airmu juga. Sebab bagi kita, buruh ini, tak pernah sempit memandang kecintaan pada tanah kelahiran melebihi kecintaan pada rasa kemanusiaan.