gambar diambil dari https://seputarteater.wordpress.com/2015/09/06/aneka-1954-memperkenalkan-sandiwara-miss-tjitjih/
Tjitjih, Gadis Seniman Multi Talenta
Bila kita melewati wilayah Cempaka Baru, Kemayoran, Jakarta Pusat, tepatnya di Jalan Kabel Pendek, maka kita akan menemukan bangunan gedung kesenian Miss Tijijih. Usia gedung kesenian sudah 30 tahun sejak didirikan pada 1987. Nama gedung kesenian tersebut, mengambil nama seorang seniman opera berbahasa sunda bernama Tjitjih.
Nyi Tijtjih, demikian ia dipanggil, adalah seorang seniman muda yang multi talenta. Perempuan kelahiran Sumedang pada tahun 1908 ini, bisa berakting, menyanyi dan menari, yang mengantarnya pada ketenaran sejak usia masih belia, yaitu 15 tahun. Ia juga berkesenian dengan memainkan tonil Sunda dan bermain sandiwara, termasuk opera meski hanya bisa berbahasa Sunda.
Suatu kala, Tjijih bertemu dengan seorang pemilik sandiwara keliling atau seringkali disebut Komedie Stamboel yang kebetulan sedang mengadakan pertunjukan keliling di Jawa Barat. Tepatnya di Sumedang, Aboebakar Bafaqih, sang pemilik sandiwara keliling terpesona dengan kepiawaian Nyi Tjijih memainkan tonil Sunda. Ketertarikan Bafaqih mendorongnya untuk mengajak Nyi Tijijih yang kala itu masih berusia 18 tahun, untuk bergabung dalam perkumpulan sandiwaranya yang bernama Opera Valencia. Nyi Tjijih menyambut baik tawaran itu dan sejak itu (1926), Nyi Tjijih menjadi bagian Opera Valencia dan ia pun pindah ke Batavia. Kehadirannya di Opera Valencia, membuat perkumpulan sandiwara itu berkembang.
Bergabungnya Nyi Tijijih pada 1926 membawa oksigen baru bagi Opera Valencia. Sebelum Nyi Tijijih bergabung, Opera Valencia hanya mementaskan cerita kerajaan. Seperti di perkumpulan sandiwara sebelumnya, Nyi Tijijih menjadi primadona. Tak hanya masyarakat pribumi yang terkesan dengan pementasan Nyi Tjijih, namun juga orang – orang Belanda. Bahkan, kabarnya, pemerintah kolonial sampai memberinya gelar ‘Miss’, hingga kemudian ia dikenal dengan sebutan “Miss Tjijih”.
Pesona Nyi Tjijih, meluluhkan hati banyak pria, tak terkecuali pemilik Opera Valencia, Bafaqih. Bafaqih, akhirnya menikahi Nyi Tijijih pada tahun 1928 sebagai istri kedua, namun akhirnya istri pertama diceraikan. Di saat yang bersamaan, Bafaqih bahkan berani mengambil keputusan besar. Mengganti nama Opera Valencia menjadi Tonil Miss Tjijih. Pergantian tersebut, bukan hanya pergantian nama, namun juga pergantian konsep perkumpulan sandiwara Opera Valencia menjadi pementasan Tonil Berbahasa Sunda. Namun, justru itu yang menjadi ciri khas Tonil Miss Tjijih. Pementasannya banyak digandrungi dan dinantikan khalayak luas. Tonil Miss Tijijih, berhasil menggeser ketenaran perkumpulan sandiwara lain bernama Miss Riboet yang sudah hadir sejak 1925 dan berbahasa melayu.
Sayang, Nyi Tijijih terpaksa mangkat di usia yang masih muda. Penyakit TBC menggerogoti tubuhnya yang lincah. Meski sudah sakit – sakitan, Nyi Tjijih tetap menari dan menyanyi. Kecintaannya pada dunia seni membuatnya tak beranjak dari panggung. Sampai suatu ketika, ia terjatuh seusai pentas berlangsung. Kejadian itu membuatnya memilih pulang ke kampung halaman, Sumedang. Di usia ke 28 tahun, Nyi Tijijih menghembuskan nafas terakhir. Tepat di tahun 1936, Tonil Miss Tjitjih ditinggalkan oleh primadonanya. Sebelum meninggal, Nyi Tijijih berpesan supaya Tonil Miss Tjitjih tetap hidup dan berkembang dengan ciri khasnya, berbahasa Sunda. Pesan itu dijaga dan diwujudkan oleh sang suami dan seluruh anggota Tonil Miss Tjijih, selama turun menurun. Hingga kini, Tonil Miss Tjitjih teta hidup dipertahankan dengan komitmen yang teguh oleh anggota – anggotanya secara turun menurun.
Sandiwara Miss Tjijih Kini
Mungkin, Nyi Tijijih bakal menangis sedih melihat kondisi Sandiwara Miss Tjijih yang memprihatinkan baik dari nasib anggotanya maupun gedung keseniannya.
Setelah Nyi Tjitjih meninggal, Bafaqih melajutkan kelompok sandiwara dalam bahasa Sunda, menunaikan janjinya pada almarhum istrinya. Sekitar tahun 1957, gedung Miss Tjitjih yang berlokasi di Kramat dijual dan hasilnya dibagi rata ke semua pemain. Salah satu anak dari Bafaqih kemudian mewarisi kepedulian orang tuanya terhadap kelompok sandiwara yand didirikan ayahnya. Rumah warisan Bafaqih dijual dan digunakan sebagai modal membangun gedung kesenian yang terbuat dari papan dan seng Angke. Gedung itu selesai dibanugn pada tahun 1960an dan pementasan pun dipindah ke Gedung Angke. Lokasinya terletak di sebelah Stasiun Tanah Abang. Dengan mempertahankan pementasan berbahasa Sunda, gedung selalu dipenuhi penonton. Namun, pada tahun 1987, mereka tergusur.
Setelah tergusur dari Gedung Angke, mereka berpindah – pindah markas, sampai akhirnya kelompok sandiwara miss Tjitjih pindah di daerah Cempaka Baru, Kemayoran. Sebuah yayasan dibentuk dan Pemerintah DKI membangun Gedung Kesenian Miss Tjitjih. Salah satu sutradaranya bernama Imas Darsih, anak dari salah satu pemain bernama Pak Tebah.
Miss Tjitjih mementaskan berbagai cerita, sebagian adalah cerita bergenre horor. Ambil contoh seperti Si Manis Jembatan Ancol atau Beranak Dalam Kubur. Setiap pementasan, mereka bisa tampil selama 2 sampai 3 jam. Dengan anggota tim sebanyak 50an orang, mereka terbagi atas pemain panggung, gamelan, dan kru tata panggung. Kebanyakan anggotanya menjadi anggota Miss Tjitjih secara turun menurun. Orang tua mereka mewariskan komitmen menjadi anggota Miss Tjitjih untuk melestarikan kesenian tradisional. Namun, dengan pemasukan tak seberapa, Miss Tjitjih tidak sanggup memberikan upah layak bagi pemainnya. Setiap tahun, Miss Tjitjih memperoleh anggaran dari APBD DKI untuk biaya operasional dan perawatan. Anggaran dari APBD tak mencukupi untuk kebutuhan pementasan dalam kurun setahun, apalagi untuk menghidupi anggota dan keluarganya.
Selain gedung kesenian Miss Tjitjih, mereka menempati rusun yang khusus diperuntukkan bagi anggota Miss Tjitjih. Letaknya tak jauh dari bagian belakang Gedung Pertunjukan Miss Tjitjih. Meski demikian, banyak anggota Miss Tjitjih yang tidak bertempat tinggal di rusun, karena tidak cukup. Bahkan menurut cerita salah seorang anggota di sebuah media, ada yang tidur di teras luar kamar karena ruangannya tidak muat. Meski tinggal di luar rusun, anggota yang tidak tinggal di rusun, tetap aktif di Miss Tjitjih.
Kondisi rusun Miss Tjitjih tampak tidak terawat, agak berbeda dengan kondisi Gedung Pertunjukan Miss Tjitjih. Meski berantakan namun agak lebih baik. Kursi penonton kebanyakan rusak dan sudah rapuh, lengan kursi banyak yang sudah patah. Kapasitas gedung tersebut adalah 200 kursi dengan tatak panggung yang bagus. Sayang, kini pementasan Miss Tjitjih sepi penonton. Rata- rata penonton tiap pementasan adalah 20 – 50 orang, dengan tiket menonton sebesar Rp 10.000,- saja. Dalam setahun, dengan anggaran dari APBD DKI, rombongan Miss Tjitjih bisa pentas ke luar kota. Setiap pementasan tiap pemain hanya diupah Rp 75.000 – Rp 300.000, karena minimnya anggaran. Meski demikian, anggota Miss Tjitjih keberatan. Komitmen terhadap Miss Tjitjih dan melestarikan seni tradisional membuat mereka rela hidup pas – pasan. Tentu saja mereka punya pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mulai dari menjadi sopir, PNS, berdagang dan lain lain. Namun, bila sudah di atas panggung, mereka semua adalah seniman. Nyi Tjitjih pasti tersenyum dari peraduannya, menyaksikan generasi setelahnya masih memegang teguh pesannya untuk meneruskan Perkumpulan Sandiwara Miss Tjitjih, sebuah pentas pertunjukan opera berbahasa sunda.Salah satu harta budaya yang berharga.