Kapal Ini Bocor, Bukan Kamu yang Gagal: Peta Jalan Pengorganisasian Buruh Perikanan

Kisah Asep dan Sri adalah potret buram dari puluhan ribu buruh di sektor perikanan Indonesia. Masalahnya, cerita-cerita ini seringkali berakhir dengan rasa lelah dan perasaan gagal secara pribadi. Kita sibuk menyalahkan diri sendiri, tanpa menyadari bahwa bukan kita yang gagal—kapalnya yang memang sudah bocor sejak awal.

Oleh: Hasriadi (Ary) Masalam*

Bayangkan Asep, anak muda dari Indramayu yang keluarganya terlilit utang besar pada calo agar ia bisa bekerja di kapal ikan. Janjinya gaji jutaan, realitasnya kerja 18 jam sehari dan utang yang tak lunas-lunas. Ia terjebak. Sendirian.

Bayangkan Sri di Bitung, berdiri di lantai pabrik yang dingin dan basah selama 12 jam atau lebih saat musim puncak. Statusnya buruh harian lepas. Kalau sakit atau protes, besok ia bisa tak dipanggil lagi. Ia merasa harus lebih kuat, menyalahkan daya tahan tubuhnya sendiri.

Kisah Asep dan Sri adalah potret buram dari puluhan ribu buruh di sektor perikanan Indonesia. Masalahnya, cerita-cerita ini seringkali berakhir dengan rasa lelah dan perasaan gagal secara pribadi. Kita sibuk menyalahkan diri sendiri, tanpa menyadari bahwa bukan kita yang gagal—kapalnya yang memang sudah bocor sejak awal.

Kapal ini bocor bukan karena nasib sial. Ia sengaja dibuat rapuh oleh sebuah sistem. Untuk bisa selamat, kita harus paham siapa yang membuat kapal ini bocor. Ada tiga kekuatan yang saling berkelindan di atas penderitaan kita.

Membongkar Mesin Penindasan: Dua Lawan Utama dan Satu Jebakan Internal

Untuk bisa menang, kita harus kenal lawan. Seringkali, lawan kita tidak hanya terlihat di depan mata. Ada dua lawan utama yang menciptakan sistem ini, dan satu jebakan internal yang seringkali membuat kita lemah.

1. Lawan Pertama: Si Wasit yang Curang (Negara). Bayangkan kita sedang main bola. Wasitnya (pemerintah) bukannya adil, tapi malah sering kasih operan ke tim lawan. Pura-pura tidak lihat ketika perusahaan main curang, dan gesit memberi kartu kuning jika buruh protes. Peran negara bukan hanya “lemahnya penegakan hukum”, tapi seringkali aktif berpihak pada modal. Proses hukum dibuat berbelit-belit sampai kita kehabisan napas dan uang. Lebih dari itu, kita dihadapkan pada labirin birokrasi antar kementerian—Kemenaker, BP2MI, Kemenhub, KKP—yang seringkali saling lempar tanggung jawab, membuat buruh tak punya tempat mengadu yang jelas secara hukum.

2. Lawan Kedua: Si Pemilik Waralaba (Bos yang Tak Terlihat). Kita sering marah pada kapten kapal atau mandor pabrik. Padahal, mereka seringnya hanya ‘kepala toko’ dari sebuah waralaba raksasa. Rantai penindasan ini panjang: dimulai dari calo di kampung, pemilik kapal, pabrik pengolahan, hingga ‘bos’ sesungguhnya—merek-merek besar di luar negeri yang menuntut harga murah. Tekanan dari puncak inilah yang membuat mandor dan kapten di lapangan memeras keringat kita hingga titik darah penghabisan. Target kita yang sebenarnya bukanlah pion-pion di depan kita, melainkan raja yang duduk nyaman di singgasananya di seberang lautan.

3. Jebakan Internal: ‘Si Pemadam Kebakaran’. Menghadapi dua lawan raksasa itu, sangat mudah bagi kita—para aktivis, serikat, dan LSM yang berniat baik—untuk terjebak dalam peran ‘Pemadam Kebakaran’. Karena saking banyaknya ‘kebakaran’ (kasus-kasus mendesak), energi kita habis untuk mengurus kasus per kasus. Risikonya, tanpa sadar, kita hanya fokus ‘membantu’ buruh, bukan ‘membangun kekuatan bersama’ mereka. Agar tak kehilangan arah strategis, kita perlu terus-menerus merefleksikan pertanyaan ini. “Apakah kerja kita hari ini membangun kekuatan jangka panjang, atau hanya memadamkan api yang besok akan menyala lagi di tempat lain?”

Menghadapi semua ini terasa mustahil. Aksi-aksi besar dan konfrontatif yang tidak terukur seringkali berakhir dengan PHK massal. Lalu, dari mana kita harus memulai?

Tiga Pilar Kerja Gerakan

Sebelum melangkah, penting untuk memahami bahwa ada tiga pilar kerja dalam gerakan kita. Bayangkan perjuangan ini seperti sebuah rumah sakit di medan perang.

Pekerjaan pelayanan (bantuan hukum, dll.) adalah Unit Gawat Darurat (UGD) kita; perannya mutlak vital untuk menyelamatkan korban yang berjatuhan. Pekerjaan advokasi (lobi, kampanye) adalah tim diplomat kita, yang berunding untuk mengubah aturan perang. Dan pengorganisasian adalah pusat pelatihan yang membuat para pejuang kita lebih kuat, lebih banyak, dan lebih solid.

Artikel ini sengaja berfokus pada pengorganisasian bukan karena dua pilar lainnya tidak penting. Sebaliknya, karena saat ini UGD kita sedang kewalahan dan diplomat kita kekurangan daya tawar. Keduanya membutuhkan pasukan yang lebih kuat di lapangan untuk bisa efektif. Membangun pasukan itulah esensi dari pengorganisasian, dan peran sentralnya adalah menjadi seorang Tukang Jaring.

Peta Jalan Pengorganisasian Buruh Perikanan

Metodologi ini kita sebut kerja ‘Tukang Jaring’. Namun, ada satu pertanyaan kritis yang harus kita ajukan pada diri sendiri. Jangan sampai metodologi ini, yang banyak terinspirasi dari tradisi pengorganisasian di Barat, menjadi ‘resep tunggal’ yang justru meminggirkan bentuk-bentuk perlawanan sunyi yang sudah dilakukan Asep dan Sri setiap hari—mulai dari melambatkan kerja, menyebar desas-desus, hingga sekadar bekerja dengan bermartabat.

Maka, ‘Peta Jalan Tukang Jaring’ ini sebaiknya tidak dibaca sebagai jawaban akhir. Bacalah sebagai sebuah hipotesis, sebuah undangan bereksperimen bersama buruh, bukan untuk mereka. Ia harus terus-menerus diuji, dibongkar-pasang, dan bahkan dilanggar oleh kearifan dan pengalaman mereka di lapangan.

Langkah 1: Memeriksa Jaring, Menemukan Pemimpin Organik.Pekerjaan pertama bukan langsung menambal, tapi memeriksa kondisi jaring secara menyeluruh. Dalam pengorganisasian, ini berarti mendengarkan dan mengidentifikasi apa saja ‘sobekan’ utamanya—masalah-masalah yang paling dirasakan bersama. Tapi yang lebih penting, saat memeriksa jaring, kita harus menemukan mana ‘simpul-simpul utama’—para pemimpin organik. Mereka kerap bukanlah “aktivis” yang suaranya paling nyaring di rapat-rapat, tapi orang-orang biasa yang secara alami dihormati, dipercaya, dan didengar sesama buruh. Tanpa dukungan dari para pemimpin sejati ini, gerakan kita tidak akan pernah solid.

Langkah 2: Menambal dengan ‘Tes Struktur’, Bukan Sekadar Aksi Cerdik.Kita mulai dari tindakan kecil, yang tidak membakar diri sendiri. Tapi setiap aksi, sekecil apa pun, harus menjadi “tes struktur”—sebuah ujian untuk mengukur seberapa solid kita. Kita bisa mulai dengan tes yang hampir tanpa risiko: sebuah gerakan kolektif untuk mencatat jam kerja riil. Ini bukan protes. Ini adalah cara disiplin untuk mengumpulkan data versi kita. Keberhasilan membuat 80-90% pekerja di satu bagian mau melakukan ini adalah ‘kemenangan’ pertama yang membuktikan kesatuan kita. Dari situ, kita bisa eskalasi ke tuntutan sederhana seperti pengadaan dispenser air bersih di dapur kapal, dengan target partisipasi yang sama tingginya. Angka partisipasi itulah ukuran kekuatan kita sesungguhnya.

Langkah 3: Mengkonsolidasi Kekuatan di Bawah Radar.Seiring keberhasilan tes-tes kecil, kita perlu menaikkan level aksi kita. Tapi tujuannya bukan untuk ‘pamer kekuatan’ pada bos. Itu bunuh diri dalam konteks perburuhan di Indonesia yang kian mengalami represi. Tujuannya adalah menguji dan memperdalam soliditas internal kita, sambil tetap tidak terlihat. Aksi eskalasinya mungkin masih sunyi—misalnya, berhasil membuat semua pekerja di satu lini produksi serempak mengenakan pita hitam di lengan sebagai tanda duka atas kecelakaan kerja. Aksi ini tidak mengancam produksi, tapi ia mengirimkan pesan yang sangat kuat ke dalam dan di antara kita: “Kita kompak. Kita satu suara.” Kemenangan di tahap ini ditandai oleh keberhasilan kita membangun kekuatan mayoritas yang solid tanpa terdeteksi, hingga saat kita memutuskan untuk muncul ke permukaan, mereka sudah terlambat untuk menghancurkan kita.

Untuk Apa Jaring Ini Dibuat? Kemenangan Konkret, Bukan Fatamorgana

Banyak yang akan berkata: “Memenangkan Perjanjian Kerja Bersama (PKB)? Itu fatamorgana! Kondisi kita terlalu rentan, sementara pengusaha dilindungi negara.”

Perasaan itu nyata dan beralasan. Tapi justru di situlah kelirunya. Tujuan dari metodologi ini bukanlah untuk secara ajaib langsung memenangkan PKB besok pagi. Tujuan dari setiap ‘tes struktur’ dan kemenangan kecil adalah membangun kekuatan itu sendiri.

Kemenangan bukanlah tujuan akhir di ujung jalan yang jauh. Kemenangan adalah saat Asep dan rekan-rekannya di atas kapal berhasil mendapatkan dispenser air bersih. Kemenangan adalah saat Sri dan kawan-kawannya di pabrik berhasil membuat perusahaan membayar upah lembur yang selama ini dicuri, berdasarkan data jam kerja yang mereka kumpulkan. Setiap kemenangan kecil ini mengubah hubungan kekuasaan sedikit demi sedikit, membangun kepercayaan diri, dan membuktikan bahwa perubahan itu mungkin. PKB adalah horizon, tapi kemenangan-kemenangan kecil inilah anak tangganya.

Bagian akhir dari tulisan ini bicara soal kekuatan besar yang tertanam dalam keringat kita—bahwa rantai keuntungan miliaran dolar itu akan berhenti jika kita semua berhenti bekerja.Tapi tulisan ini bukan resep untuk aksi nekat. Sebaliknya, ini adalah panduan untuk disiplin. Disiplin untuk memetakan kekuatan, disiplin untuk menguji solidaritas dengan metrik yang jelas, dan disiplin untuk fokus pada kemenangan-kemenangan yang bisa diraih.Karena pada akhirnya, tugas kita sebagai ‘Tukang Jaring’ bukanlah sekadar menambal jaring agar tidak robek, tapi membangun jaring yang cukup kuat untuk menarik hasil tangkapan yang menjadi hak kita semua.

Langkah Selanjutnya: Menenun Jaring Kekuatan Kita Bersama

Tulisan ini terinspirasi dari metodologi Organizing for Power (O4P). Jika Anda ingin mendalami praktiknya dan mempertajam strategi, sila bergabung ke pelatihan lanjutan O4P Power-Up.

Tahun ini, kita tidak hanya akan belajar bersama, tetapi juga ikut mengadaptasi buku strategi No Shortcuts agar menjadi panduan taktis yang relevan untuk gerakan kita di Indonesia.

Mari kita sambung benang-benang perjuangan kita, dan kuatkan simpul-simpulnya bersama. Sebab tak ada jalan pintas menuju kemenangan kelas pekerja.

*Pengorganisir Rakyat

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

MAJU KENA, MUNDUR KENA YA MENDING MAJU!!

Catatan untuk Buruh KBN Cakung  Menghadapi Lebaran dan Pabrik Tutup    Pengantar Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung pada 28 Juni 2016 ini genap berumur 30

Sumarsih Menanti Keadilan

Sebelas tahun aku berdiri disebrang istana mu Sebelas tahun aku menanyakan tentang keadilan mu Sebelas tahun juga aku menanti jawaban mu Dan sampai detik ini

“ … [S]aya tetapkan tanggal 20 Februari sebagai Hari Pekerja Nasional.” (4)

oleh Syarif Arifin Baca juga http://dev.marsinah.id/saya-tetapkan-tanggal-20-februari-sebagai-hari-pekerja-nasional-1/ http://dev.marsinah.id/saya-tetapkan-tanggal-20-februari-sebagai-hari-pekerja-nasional-2/ http://dev.marsinah.id/saya-tetapkan-tanggal-20-februari-sebagai-hari-pekerja-nasional-3/ 1991: Demokrasi tapi mendukung pembangunan nasional Munas III SPSI Imam Sudarwo terpilih lagi sebagai ketua. Terjadi pula rekonsiliasi

Membela Senyap

Bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia, sekitar 457 titik dari Aceh hingga Papua, memutar film Senyap atau The Look of Silence karya Joshua Oppenheimer. Senyap