Seri Hari Ibu, Hari Gerakan Perempuan Indonesia
“Kalau bangsa Indonesia hendak menjadi bangsa yang mulia di dunia ini, patutlah kita membangun rumah tangga yang penuh dengan cahaya cinta, patutlah perkawinan diikat oleh cinta kedua belah pihak, jangan berlandaskan pada cemburu, kebodohan atau yang lain – lain. Poligami, perkawinan anak – anak, kawin – paksa, atau talak dan pisah yang tiada berajangka, sulit untuk dipertahankan pada zaman sekarang kalau kita mau menggambarkan perkawinan sebagai sesuatu yang berharga .”
Seru Siti Sundari di hadapan seribu peserta Kongres Perempuan I Indonesia, perempuan muda penuh gairah perubahan itu menolak lantang permaduan atau poligami. Bagi Siti Sundari lebih baik bercerai atau berpisah dari pada menderita karena permaduan. Poligami adalah praktek yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak adil. Perkawinan, apabila berharga hendaknya menjadi tempat dimana perempuan bisa merasakan kebebasan sama halnya dengan lelaki. Kehidupan Rumah Tangga tak boleh merampas kebebasan perempuan.
“Dalam perkawinanpun, kita jangan seperti manusia yang hilang kebebasan dan takut dicerai atau dipisah. Dalam perkawinan kami kaum perempuan meminta supaya kebebasan kami jangan direbut dan cinta kami jangan disia – siakan. Hilangnya kebebasan kaum perempuan dalam perkawinan dan lenyapnya dasar cinta membunuh rumah tangga dan memperlambat kemajuan tanah bangsa kita.
Sikap tegas Siti Sundari terhadap poligami tak hanya terucap di mulut, namun juga tercermin dalam kehidupan pribadinya. Suatu kali, ia memutuskan berpisah dengan sang suami yang ketahuan bermadu kasih dan hendak berpoligami.
Itu 93 tahun silam, ketika gelombang perlawanan pada kolonial memuncak. Dua tahun setelah pemberontakan 1926, kaum perempuan berkumpul membicarakan hal penting tentang kemerdekaan perempuan dalam sebuah pembentukan sejarah bangsa.
Berisik merisak nyinyir pada mereka yang dianggap menyalahi kodrat perempuan “Orang perempuan saja kok mengadakan kongres, yang hendak dirembug itu apa”
Sujatin, salah satu perempuan muda panitia Kongres Perempuan Indonesia, acuh mendengar nada nyinyir macam begitu. Sama acuhnya ketika sang kekasih meminta Sujatin membatalkan penyelenggaraan kongres. Rupanya, sang kekasih kesal, Sujatin bersibuk dengan persiapan Kongres , sementara ia diabaikan. Sujatin kemudian memutus tali pertunangan karena memilih teguh pada persiapan kongres perempuan yang lama ia impikan.
Seperti Siti Sundari, Sujatin getol menolak Poligami, bersama organisasi yang ia dirikan, PERWARI (Persatuan Wanita Republik Indonesia). Gagasan membangun organisasi sebagai alat pembebasan perempuan bertumbuh subur sejak ia membaca buku yang memuat tulisan – tulisan Kartini. Buku itu berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang. Untaian tulisan gadis belia di jamannya, yang meriak memberontak dari tembok pingitan rumah bangsawan, 6 dekade sebelum Kongres Perempuan berlangsung. Siapa sangka, tulisan gadis belia itu memunculkan gelombang perlawanan gadis – gadis belia generasi sesudahnya.
Dalam surat tanggal 23 Agustus 1900 untuk sahabatnya, Stella Zeehandelaar, Kartini pernah menulis: “Tidak wajarkah jika aku sendiri membenci, memandang rendah perkawinan, jika hasilnya merendahkan martabat perempuan dan menganiaya perempuan sedemikian rupa?”
Begitulah, tulisan membuatnya abadi, tak lekang oleh waktu, menyulut seorang muda, Sujatin, konsisten menolak poligami. Dalam kongres perempuan I, 22 Desember 1928, di Kota Yogyakarta, Sujatin dan rekan – rekannya lantang menolak poligami. Poligami pun menjadi tuntutan yang kerap diusung di setiap Kongres Perempuan berikutnya dan di setiap medan juang pembebasan perempuan
Perjuangan melawan poligami terus berlanjut meski sempat menurun pada tahun 1930, karena gerakan perempuan lebih fokus pada perjuangan kemerdekaan dan revolusi nasional. Baru pada tahun 1950an, penolakan poligami kembali menjadi tuntutan utama gerakan perempuan. Tuntutan itu pun bersambut, pemerintah membentuk Komisi Perkawinan melalui Kementerian Agama pada tahun 1950 yang bertugas menyusun RUU Perkawinan. Dalam RUU itu, dinyatakan bahwa perkawinan harus didasarkan suka sama suka atau tidak ada paksaan dan poligami diizinkan dengan syarat ketat. Tak mudah, perdebatan mengiringi proses RUU Perkawinan di parlemen.
Di tengah perdebatan itulah, pemerintah tetiba mengeluarkan Kepres No. 19 tahun 1952, yang salah satu isinya memberi tunjangan dua kal lipat bagi para pensiunan beristri dua. Hal itu membuat gerakan perempuan, salah satunya Perwari, geram. Pada 17 Desember 1953, bertepatan dengan HUT Perwari, sejumlah organisasi melakukan demonstrasi besar-besaran menuntut pencabutan Keppres dan pengesahan UU Perkawinan secepatnya. Di saat bersamaan, pernikahan Sukarno dan Hartini menjadi pukulan tak terperi bagi organisasi perempuan yang berujung melambatnya pembuatan UU Pekawinan.
Perempuan Indonesia harus menunggu sampai tahun 1973 untuk mendapatkan UU Perkawinan baru yang melarang poligami. Sayang, UU ini masih memuat klausul yang memungkinkan terjadinya poligami. Pada masa Orde Baru pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengatur ketentuan asas monogami melalui UU Perkawinan No. 1 tahun 1974. Tapi, sekali lagi, UU ini memberi celah bagi seorang suami beristri lebih dari seorang “apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. UU juga mendefinisikan suami sebagai kepala rumah tangga, sementara istri sebagai ibu dan pengatur rumah tangga.
Adalah Dharma Wanita, satu-satunya organisasi resmi bentukan pemerintah, mendesak adanya peraturan untuk melindungi mereka, istri-istri pegawai negeri, terutama dalam kasus poligami dan perceraian. Hingga, terbitlah Peraturan Pemerintah (PP) No 10 tahun 1983, yang isinya mewajibkan pegawai negeri pria meminta izin atasan sebelum bercerai atau mengambil istri kedua. Anggota Dharma Wanita, yang merasa haknya dilanggar, dapat melapor kepada kepala Dharma Wanita di kantor suaminya agar hak-haknya dapat dibela. Pegawai negeri juga dilarang hidup bersama di luar perkawinan, dengan sanksi terberat: dipecat dengan tidak hormat.
PP 10 kemudian mengalami perubahan menjadi PP No 45 tahun 1990. Keberadaannya menjadi perdebatan publik ketika pemerintahan SBY berharap PP 45 diperluas tak hanya berlaku bagi pegawai negeri tapi juga pejabat negara dan pemerintahan, bahkan seluruh masyarakat.
Hingga kini, perjuangan menolak poligami masih berlangsung.