Oleh : Khamid Istakhori
Tulisan ini, saya buat berdasarkan status facebook dari Hasan, mengenai pengalamannya bekerja selama 9 tahun di pabrik asbes di Karawang. Tiba-tiba, saya merasa penting menuliskan kembali kisah ini, sebab inilah kisah yang inspiratif. Sederhana tetapi sangat inspiratif. Sungguh.
Dalam status facebooknya hari ini, Hasan bercerita begini :
9 tahun yg lalu, tepatnya hari Senin 03 Oktober 2005 aku mulai mengenal dan belajar kerja disebuah pabrik dikota kelahiranku sendiri : Karawang. Disini aku mengenal banyak hal dan beragam karakter dari begitu banyak insan yang masing-masing memiliki keunikan. Itulah kehidupan khas pabrik.
Satu hal yang akudapatkan ketika itu adalah 5 kalimat, yang entah ditulis oleh siapa. Kira-kira begini bunyi tulisan itu :
5 HAL DALAM BEKERJA
- Informasikan hal hal yg perlu diinformasikan
- Laksanakan tugas sesuai tugasnya masing masing agar semua berjalan lancar
- Bekerjalah dengan baik dan konsisten. Hilangkan rasa iri / dengki sesama pekerja.
- Berdo’alah sebelum bekerja dan ingat bahwa kita MANUSIA bukan dewa. Jadi harus hati hati.
- …………….. (point ke 5 tidak dia tuliskan)
(*Belajar menjadi manusia seutuhnya. Dan sampai sekarang pun aku masih disini. Banyak cerita yg kadang sulit untuk diungkapkan.Bagaimana ceritamu?!…)
Dari berbagai komentar di facebooknya aku tahu, betapa buruk kondisi kerja di pabrik asbes itu. Statusnya Daily Worker, lebih gampang disebut buruh borongan harian tanpa jaminan apapun. Upahnya Rp 26.000,00 perhari. Kalau sakit dan tidak bekerja dipotong upahnya. Kalau kecelakaan kerja ya harus mengobati dirinya sendiri. Harus cepat sembuh, sebab kalau tidak, alamat susah hidupnya : dipecat!
Hasan, oleh kawan-kawannya biasa dipanggil Thole. Dalam terminologi bahasa Jawa, Thole artinya anak lelaki. Demikianlah Hasan, merasa penting menunjukkan bahwa dia, adalah buruh. Harus kuat dan tidak melupakan sejarah. Maka, dia tuliskan sejarah hidupnya di pabrik dengan bangga. Meski, dia berujar, banyak kawannya sudah mulai melupakan sejarah itu. Tapi tidak bagi saya! Demikian kata Hasan.
Buruh di pabrik asbes itu, terbagi dalam dua kasta. Kasta pertama, adalah para bos. Mereka yang bergelimangan kemewahan. Mulai gaji yang gede, fasilitas mobil, kantor ber- AC dan apa saja yang mereka suka. Kasta kedua adalah kasta para kuli. Kuli ini, sebenarnya masih ada dalam satu golongan, tapi mereka kemudian memisahkan dirinya dalam kelompok yang berbeda. Sebagian merasa ikut bos, meskipun gak punya harga di hadapan pemodalnya. Itulah yang disebut karyawan tetap. Upahnya UMK. Dapat THR, punya seragam, sepatu safety dan bonus akhir tahun sebesar 1x upah bulanan. Kalau sakit dijamin masuk rumah sakit yang dipilih perusahaan. Mereka punya serikat. Khusus menampung keanggotaan dari karyawan tetap saja. Itulah rupanya yang membuat mereka merasa berbeda dengan kuli harian borongan tanpa masa depan itu.
Nasib para kuli harian itu berbeda 180 derajat. Upah 26.000/hari, gak pakai seragam, gak punya THR dan juga kondisi yang susah lainnya. Mereka tidak punya serikat! Rupanya inilah yang membuat mereka terhinakan selama ini. Karena tidak punya serikat! Maka mereka tak punya harga.
Suatu hari, 9 Desember 2012 sekitar 20 kuli harian ini berkumpul. Di sebuah rumah sederhana milik Mang Aca. Saya datang atas undangan dari mereka. Dalam diskusi itu, saya meminta setiap orang menuliskan 5 masalah yang mereka hadapi. Lalu terkumpullah 100 masalah di pabrik. Lalu saya bertanya, “ Apakah kawan-kawan berkeinginan masalah ini selesai dalam waktu cepat?”. Mereka menjawab : IYA! Saya katakan bahwa masalah itu tidak akan selesai selama mereka tidak punya alat untuk mengubahnya. Untuk memberikan gambaran tentang alat itu, saya mengilustrasikan dalam sebuah perumpamaan :
Misalnya saja, kalian terjebak dalam reruntuhan gua, apa yang kalian rasakan?
Mereka menjawab : gelap, pengap, tidak ada udara dan kami akan mati.
Saya bertanya lagi : apa yang harus dilakukan?
Mereka menjawab : kami harus bersatu, tidak boleh bertengkar.
Ya, bagus kata saya. Lalu?
Kami harus menemukan alat untuk membongkar reruntuhan itu.
Betul. Bagaimana alat itu digunakan ?
Mereka menjawab: alat itu harus kuat, tidak mudah rusak dan dapat kami gunakan dengan mudah.
Saya bertanya : Kenapa tidak memilih memakai dinamit?
Tidak, sebab alat itu akan membunuh kami semua.
Sesudah dialog itu saya bercerita bahwa alat untuk membongkar kegelapan di pabrik, dengan kesatuan gerak, bisa diikuti oleh siapapun dan menempatkan semua dalam posisi yang sama itu namanya Serikat Buruh. Dia harus dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah tapi tidak boleh membunuh semua anggota.
***
Akhirnya, mereka bersepakat membentuk serikat. Kumpulan buruh borongan kuli harian itu membentuk serikat dan mengabaikan opsi lain semisal bergabung dengan serikat yang sudah ada di pabrik. Saeful, buruh borongan itu berkata : ibarat alat, serikat yang sudah ada di dalam itu adalah rongsokan! Proses berikutnya selesai dan pencatatan serikat dilakukan melalui Disnakertrans Kabupaten Karawang.
3 hari kemudian, 12 Desember 2012, sesudah serikat itu dibentuk dan proses legalitas sedang berjalan, tiba-tiba sekitar jam 15.00 WIB, ada sms yang menyatakan bahwa Hadar, salah satu pendiri serikat buruh di pabrik itu dipecat dengan alasan : forklift yang dia kendarai menabrak dan muatan yang berisi asbes rusak. Maka, dipecatlah dia.
Saeful, ketua serikat buruh kuli borongan itu berkata : Kami harus MOGOK! Saya tidak mengiyakan atau menolak.
Tapi saya bertanya : Kamu masih ingat perumpamaan dinamit yang akan dipakai untuk membongkar reruntuhan di gua? Tanpa menjawab, dia sudah paham apa maksudnya.
Melalui berbagai upaya, kami menemui satpam meminta waktu untuk bertemu dengan manajer HRD, tapi duduk sejam di pos satpam, kami diabaikan tanpa pelayanan yang baik. Lalu, pada komandan satpam kami bilang : KAMI AKAN GUNAKAN CARA LAIN. MENUTUP PABRIK! Sesudah itu, saya menelpon beberapa ketua serikat pabrik lain untuk mempersiapkan anggota. Saya meminta, sepulang kerja agar anggota diarahkan berkunjung ke pabrik Asbes itu. Tepat jam 17.00 WIB, datang sekitar 500 orang dan menutup akses masuk pabrik, memarkirkan motor di depan pabrik. Otomatis pabrik berhenti beroperasi. Inilah yang disebut serangan mendadak itu!
Jam 17.45 WIB, komandan sekuriti yang sore tadi menolak permintaan bertemu itu berputar-putar mencari kami karena mendapatkan pesan dari Manajer HRD untuk berunding. Kami bilang tunggu, sesudah sholat maghrib. Akhirnya, perjuangan itu berbuah manis. Hadar tidak jadi dipecat. Dan dapat ditebak, sekitar 150 orang berbondong meminta formulir serikat. Hari berikutnya, karyawan tetap yang bergabung dengan serikat tua berbondong mengundurkan diri dan bergabung dengan serikat yang dipimpin Saeful. Mereka kemudian belajar berdemokrasi, membuat aturan main dan berbagi “kepengurusan” serikat. Serikat menjadi semakin kuat, karena diisi orang-orang yang tangguh dan orang berpengalaman dalam satu tim. Kemudian, kita tahu. Serikat buruh ini berhasil memogokkan pabrik untuk memenangkan tuntutan.
Pada 18 Februari 2013, sebanyak 206 kuli harian itu diangkat menjadi karyawan tetap. Otomatis, pada hari yang sama, mereka mendapatkan hak lainnya berupa seragam kerja, sepatu safety, bonus tahunan, THR, fasilitas kesehatan, menjadi peserta Jamsostek, upah = UMK. Sungguh akhir yang manis.
***
Lalu apa hubungan tulisan ini dengan status facebook Hasan? Saya tahu, dia sedang mengajak teman-temannya di pabrik untuk kembali kepada semangat awal ketika serikat dibangun. Sekarang, kondisinya menurun karena rapat anggota sedang susah, konsolidasi tersendat, masalah di pabrik bertambah banyak dan kesadaran anggota menurun drastis. Hasan, sedang mengajak kawan-kawannya untuk tidak melupakan sejarah.
Tulisan ini, saya persembahkan kepada kawan-kawan yang hebat di sana : Saeful, Subono, Hasan, Aca, Ade Fortune, Ujang Sapan, Yadi Careuh dan semua yang berjuang. Juga Dimu yang bersetia menemani mereka dalam diskusi panjang meski terbebani balutan debu asbes. Juga Darisman yang ikut hadir dalam diskusi tanggal 9 Desember 2014 (Lihatlah boy, kawan-kawan ini sangat cepat bertumbuh). Juga Iip, yang sudah merekam beberapa proses diskusi di rumah Mang Aca kala itu.
Kepada Buruh pabrik Asbes itu, AKU BELAJAR!