Search
Close this search box.

Tanah MoyangKu: Menghidupi Ruang Hidup Warisan Nenek Moyang

Menurut JJ Rizal dalam film dokumenter "Tanah Moyangku", konflik agraria yang kini berlangsung berakar dari masa kolonial Belanda. Berlanjut pada masa Suharto dan kini dilanjutkan oleh penguasa di masa reformasi.

Apa yang teman – teman bayangkan dalam imaji tentang sebuah ‘Ruang Hidup’? Sebuah rumah dengan pekarangan? Dengan lahan di sekitarnya untuk bercocok tanam? Atau sebuah hamparan hutan dengan ragam pepohonan hijau membayangi hari – hari kita dengan keteduhan. Memenuhi paru – paru dengan oksigen yang melancarkan peredaran darah nadi dan tubuh kita?

Ruang Hidup = Tanah MoyangKu
Bagi sebagian yang punya kampung halaman di kepulauan, tentu merasai bagaimana lahan menghidupi kita sejak jaman nenek moyang. Warisan nenek moyang itu tidak dibuktikan melalui selembar kertas bernama sertifikat. Ia lebih sering ditandai dengan makam leluhur sebagai pembatas wilayah. Lahan yang disebut tanah adat itu dihormati sebagai warisan leluhur, menjadi pengikat masyarakat yang menempatinya, hidup darinya, dari generasi ke generasi. Ia lah, ruang hidup, menghidupi dan dihidupi, bernafas darinya, memenuhi rongga paru dengan oksigen, memenuhi rongga perut dengan makanan melimpah, secukupnya.

Tanah Moyangku Watchdoc,

Suatu hari, orang asing dari negeri asing yang rakus akan tanah datang, mengambil paksa tanpa peduli tanah air siapa. Suatu zaman yang disebut kolonialisme, mereka membawa adab baru yang disebut Agrarische Wett atau Undang – Undang Pertanahan yang salah satunya mengatur tentang deklarasi domein atau wilayah. Tatanan legal formal bikinan penjajah atas nama negaranya yang merasa berhak mengatur negeri jajahan sebab dianggap hak milik. Pertempuran mempertahankan ruang hidup itu terus berlanjut hingga masa modern saat ini. Bedanya, bila dulu berlawan menghadapi penjajah kolonial, kini masyarakat adat dari sabang sampai merauke harus berkorban darah dan air mata, berhadapan dengan korporasi dan negara sendiri. Tanpa kenal jeda.

Perjalanan panjang mempertahankan ruang hidup itu, terekam dalam sebuah film dokumenter berdurasi 84 menit berjudul “Tanah MoyangKu”. Film dokumenter yang disutradarai oleh Edy Purwanto ini diadaptasi dari buku penelitian yang berjudul “Kehampaan Hak”, hasil kolaborasi peneliti KITLV (lembaga penelitian Belanda), Prof. Ward Berenschot dan Dr. Ahmad Dhiaulhaq.

Kedua peneliti tersebut juga hadir dalam “Tanah MoyangKu”, memberikan ulasan tentang konflik agraria yang mereka teliti. Tak hanya itu, film produksi Watchdoc dan KITLV, turut menangkap kegelisahan Ward Berenschot yang lahir dari keluarga Belanda dengan almarhum kakek turut berperan sebagai penjajah semasa hidup menjadi bagian tentara KNIL. Kegelisahan itu tertangkap lewat kamera saat ia mengunjungi makam kakeknya di Indonesia. Obrolan sejarah yang ringan namun penuh makna sambil sesekali bercanda juga mewarnai alur cerita film antara Ward Berenschot dan sejarawan Indonesia, JJ Rizal. Menertawakan nenek moyang Ward sebagai penjajah sambil menghisap rokok linting tembakau.

Obrolan ringan dua sejarawan beda negara itu, antara negeri penjajah dan yang terjajah, sedikit memberi aroma segar dalam serangkaian cerita pilu warga lokal, masyarakat adat yang dirampas haknya. Tentang sosok perempuan yang berteriak histeris menyayat hati akibat terenggut tanah airnya, tentang istri yang ditinggalkan suami akibat jerat kriminalisasi negara dan korporat, juga tentang anak – anak kecil yang terancam kehilangan masa depan. Konflik agraria di Indonesia tercatat sebanyak 2701 kasus di berbagai daerah Indonesia, dalam kurun 2015 – 2022. Sekitar 1934 orang dikriminalisasi, 814 dianiaya, 78 orang tertembak, dan 69 orang diantaranya tewas. Nyawa seolah tidak cukup berharga di hadapan negara yang rakus tanah. Negara secara semena – mena membuat aturan bukti pemilikan tanah melalui selembar kertas bernama sertifikat, memberikannya kepada swasta hingga mencapai 95,7% lahan, sementara warga hanya memperoleh sekitar 1,07% saja. Warga tak bersenjata, ditembaki dengan beringas oleh aparat penegak hukum baik kepolisian mau tentara dengan senjata.

Menurut JJ Rizal dalam film dokumenter “Tanah Moyangku”, konflik agraria yang kini berlangsung berakar dari masa kolonial Belanda. Berlanjut pada masa Suharto dan kini dilanjutkan oleh penguasa di masa reformasi. Sebenarnya, di masa Presiden pertama Indonesia, Sukarno, telah disahkan Undang – Undang Pokok Agraria No.5 tahun 1960 yang menghormati tanah adat dimana negara tak bisa serta merta mengklaim tanah tersebut sebagai tanah negara. Sayang, Suharto tidak menjadikan UU Pokok Agraria No.5/1960 sebagai acuan. Pasca pembantaian 1965, alih – alih menerapkan UU Pokok Agraria, Suharto memberi karpet merah pada investor melalui UU Penanaman Modal Asing dan serangkaian undang – undang lainnya yang pro investor dan merenggut tanah rakyat.

Putarlah filmnya di komunitasmu
Watchdoc sebagai produser film “Tanah MoyangKu”, dikenal sebagai organisasi yang fokus memproduksi film dokumenter dengan muatan cerita kental kritik sosial. Tercatat, Watchdoc telah memproduksi lebih dari 400 film dokumenter, lebih dari 1000 feature televisi dan setidaknya 100 video komersial. Bahkan, baru – baru ini mereka menerima penghargaan Ramon Magsaysay. Watchdoc dinilai mampu mendemokratiskan pengetahuan melalui film dokumenter dan metode diseminasi dengan melibatkan banyak komunitas melakukan pemutaran film bersama.

Singkat kata, Watchdoc selama ini dikenal meluaskan karya dokumenternya melalui nobar di berbagai komunitas di hampir seluruh wilayah Indonesia. So, buat teman – teman yang ingin menonton film ini, bisa banget mengadakan nobar di komunitas masing – masing dengan menghubungi Watchdoc di akun IG mereka @watchdoc_insta

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

‌Buruh Hansae : Kami Masih Berjuang

Setelah pabrik Hansae 3 dan 6 di KBN Cakung, Jakarta Utara, tutup, masih tersisa 21 kawan yang memperjuangkan hak pesangon sebagai buruh tetap meski pihak

Puluhan Buruh PT Graha Fortuna Purnama Gelar Aksi di Jakarta, Tuntut Keadilan atas PHK Sepihak

Ketua SBB-FSBKU-KSN, Endang Muhidin, yang telah bekerja selama 40 tahun di PT GFP, menyatakan kekecewaannya terhadap perusahaan. Meskipun telah bekerja selama puluhan tahun, para buruh hanya diberikan pesangon sebesar Rp25 juta, jauh di bawah ketentuan Undang-undang. “Lebih dari separuh usia kami dihabiskan untuk membesarkan perusahaan ini, tetapi kami dibuang begitu saja dengan alasan rugi,” ujar Endang dengan nada kecewa.

Kesehatan Reproduksi Buruh Perempuan

Siang itu, sebut saja Ina, seperti biasa bekerja di sebuah pabrik garmen di KBN Cakung. Sebuah kawasan industri milik Pemrov DKI. Hari itu, Ina sedang

Grebek Pabrik! Saatnya Menghadapi Serangan Balik

Rapat Akbar KBN Cakung/ dok dev.marsinah.id  Oleh Abu Mufakhir* Menurut saya, cara terbaik menghadapi serangan balik paska-mogok serentak adalah melakukan grebek pabrik, atau aksi solidaritas lintas

Mengenal Lebih, Haid atau Menstruasi

KESEHATAN REPRODUKSI BURUH PEREMPUAN Mencari nafkah demi keluarga itulah alasan mengapa buruh perempuan bekerja keras dan rendahnya akses pengetahuan buruh perempuan membuat mereka sedikit sekali