Coretan perempuan penjual kopi keliling
Di tengah pandemi covid 19, aku terus berupaya untuk supaya bertahan hidup, meski kopi juangku omsetnya terjun bebas. Awalnya sebelum covid 19 melanda negri ini, penghasilanku jualan kopi lumayan bisa memenuhi kebutuhanku sehari hari, namun adanya pemberlakuan aturan/ anjuran pemerintah untuk kerja di rumah dan PSBB membuat penghasilanku terjun bebas. Sementara kebutuhan yang sangat mendesak seperti token listrik, kuota internet melonjak karena aktivitas belajar anak saya dilakukan secara online.
Situasi PSBB yang pemerintah berlakukan itu otomatis sangat berdampak ke semua orang termasuk aku. Pendapatanku yang tadinya berkisar Rp 150.000,- sampai Rp 200.000,- per hari, kini hanya berkisar Rp 40.000,-, karena situasi banyak orang jarang keluar rumah. Belum lagi Satpol PP yang membuat situasi makin rumit. Namun, aku tetap berjualan, berharap ada yang masih mau beli kopi daganganku. Meskipun, jauh dari lubuk hati terdalam, ada yang lebih menakutkan, yaitu covid 19 itu sendiri.
Sebenarnya, aku takut dengan virus corona, tapi bagaimana dengan anakku bisa makan kalau aku tidak bekerja? Akhirnya, aku tetap nekat berjualan meski bahaya mengancam di mana – mana. Karena untuk berdagang kopi tidak mencukupi, aku putar otak biar tetap bisa bertahan, jadi aku menggunakan ketrampilan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari yaitu menjahit masker. Dari hasil aku menjahit masker yang aku hargai Rp 5.000,- per piece, masih belum bisa mencukupi.
Aku pun berharap memperoleh bansos dari pemerintah, namun aku dan sebagian warga lain tidak tersentuh. Berawal dari kenyataan pahit itu, aku berinisiatif dengan warga sekitar untuk menanyakan hak kami terkait bansos ke RT setempat. Kami mengumpulkan KK, KTP meski tidak disuruh mengumpulkan oleh RT setempat. Jawab pak RT saat itu data kami akan disetorkan ke Kelurahan. Saat waktunya bantuan datang, yaitu bansos gelombang kedua, kami kembali terlewatkan. Dengan rasa gelisah, kami menanyakan data kami ke Ketua RW sampai ke Kelurahan ternyata kami tidak terdata, tapi aku dan warga setempat terus berupaya. Akhirnya data kami diinput. Ada sedikit upaya kami membuahkan hasil meski tidak sesuai harapan.
Suatu hari, ada bantuan dari ormas turun ke RT berupa beras, esoknya kami memperoleh beras 2 kg, sarden 2 kaleng, sabun mandi 1 batang dan mie 4 bungkus. Namun, bansos dari pemerintah, yang setahu kami adalah hak justru belum diperoleh. Seharusnya bansos dari pemerintah berwujud sekantong tas berwarna merah putih, warna bendera negara kita.
Apa daya, harapan tinggal harapan. Terbersit pertanyaan dalam hati, mengapa distribusi bansos tidak tepat sasaran, padahal aku ber KTP DKI. Lalu, bagaimana dengan mereka yang tidak ber KTP? Atau ber KTP non DKI? Apakah mereka tidak berhak? Lalu siapa dan bagaimana negara memberi perlindungan pada mereka? Beragam tanya yang tak kunjung ada jawab.
Oleh Darsi