Oleh Dian Septi Trisnanti
Sri adalah salah satu buruh pabrik sekaligus ibu rumah tangga dengan tiga anak. Bekerja di pabrik sudah menjadi pilihannya semenjak remaja mana kala tanah tak lagi menjadi sumber penghasilan memadai untuk ia dan keluarga. Alhasil, seiring dengan cerita indah dari handai taulan yang merantau ke kota besar, Sri yang saat itu baru berusia 16 tahun, memutuskan merantau ke Jakarta dengan cita – cita jadi buruh pabrik. Kursus jahit ia jalani, hingga akhirnya memperoleh pekerjaan di sebuah pabrik garmen di sebuah kawasan industri bernama KBN Cakung.
Tiga buah hatinya adalah salah satu sumber kebahagiaan. Itulah mengapa ia semakin getol menambah penghasilan melalui lembur-lembur. Meski hitungan lembur tak sesuai, Sri menjalaninya. Pikirnya bisa menambah penghasilan keluarga. Untuk biaya sekolah, makan, transportasi dan sebagainya. Termasuk mengirim uang bulanan kepada orang tua di kampung halaman. Dengan bekerja, maka penghasilan satu keluarga besumber pada dua orang, yaitu Sri dan suaminya yang juga adalah buruh pabrik di kawasan industri lain.
Berikut rutinitas Sri. Bangun sekitar jam 3 dini hari, mengepel, sambil memasak, menyetrika baju, menyiapkan baju sekolah ketiga anaknya dan seragam kerja suami, segelas kopi buat suami dan bergegas mandi. Semua itu butuh waktu 3 jam. Tepat jam 6 pagi, Sri sudah berangkat bekerja. Sri merasa beruntung, kosnya berjarak dekat dengan kawasan industri sehingga ia cukup berjalan kaki. Jam 06.30 pagi, ia sudah berada di pabrik karena meski di Peraturan Perusahaan tercantum jam kerja dimulai jam 7 pagi, tapi kenyataannya buruh mulai bekerja jam 06.45. Saat jarum jam sudah menunjuk pukul 6 malam, itulah saat Sri dan buruh-buruh lain pulang. Biasanya, Sri dan buruh lainnya pulang jam 4 sore namun karena lembur, ia dan teman-temannya pulang jam 6 malam. Artinya Sri dan buruh lainnya lembur 2 jam, namun biasanya lembur dihitung satu jam saja. Sri bertanya-tanya tapi kepenatan dan keletihan membuatnya malas mempertanyakan hal semacam itu. Sesampai di rumah, Sri segera menyapu, mengepel, memasak untuk buah hati dan suami, dll. Biasanya, setiap hari Sabtu atau Minggu, ia luangkan untuk mencuci dan menyetrika. Bila tidak, cucian akan menumpuk. Tak lupa, ia menemani buah hati mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah) di setiap malam. Setelah semua pekerjaan itu kelar, Sri baru bisa rebah istirahat ketika jarum jam menunjuk angka 11 malam. Di tengah malam yang penat dan letih, Sri masih harus melayani suami di tempat tidur. Hingga mentari dan kokok ayam kembali hadir, di saat yang sama Sri kembali menjalani rutinitasnya.
Beban Ganda = Kerja Pabrik (produksi)* + Kerja Rumah (reproduksi)
Ada dua area tempat Sri dan buruh perempuan lainnya bekerja, di pabrik dan di rumah. Di pabrik, Sri dan buruh perempuan lainnya bekerja menghasilkan baju. Sri dan sebagian buruh peempuan bekerja di bagian jahit atau sewing, sementara sebagian buruh perempuan lainnya ada yang bekerja membuat pola jahitan, memotong kain, mengecek jahitan baju, menyetrika baju, memasukkannya ke dalam kardus, hingga memasukkan kardus – kardus berisi baju ke dalam kontainer untuk dibawa ke pelabuhan Priuk guna diekspor. Dengan rangkaian kerja pabrik tersebut, maka dibutuhkan sekitar 1500 buruh untuk mengerjakannya. Sri hanyalah salah satu dalam rangkaian kerja tersebut. Sri dan buruh lainnya tak punya hak terlibat dalam keputusan berapa baju yang akan diproduksi, diekspor kemana, siapa buyernya (pihak yang memesan baju), dan lain sebagainya. Sebagai buruh, Sri dan teman-temannya tak punya kuasa sedikitpun, tugasnya adalah “mengerjakan perintah atasan” dan “diam”.
Area kerja berikutnya adalah di rumah. Setelah penat bekerja, rumah adalah tempat beristirahat agar esok ketika bekerja lagi, kondisi tubuh sudah fit atau bugar. Namun, ini tak berlaku bagi buruh perempuan. Di rumah, pekerjaan sudah menanti. Agar suami nyaman dan kembali bugar keesokan harinya sebagai tenaga kerja, Sri melayani segala kebutuhannya seperti lingkungan rumah yang bersih dan sehat, makanan bergizi dan hiburan memadai. Dengan demikian, sang suami bisa bekerja di pabrik dalam kondisi tubuh yang bugar. Demikian halnya, dengan tiga buah hatinya. Sepulang sekolah, ketiga anaknya dipenuhi gizinya dengan makanan dan lingkungan yang sehat. Itulah mengapa, buruh perempuan sebagai perempuan sangat peka terhadap kebersihan makanan dan lingkungan. Karena setiap hari ia berpikir dan bekerja agar keluarga bisa nyaman serta terjamin kesehatannya di rumah. Bila itu terpenuhi, anak pun akan menjadi manusia yang sehat, bisa menjadi tulang punggung keluarga, kelak bila dewasa. Namun, upah yang murah semakin tak mampu memenuhi kualitas hidup keluarga. Sehingga semampunya, Sri dan buruh perempuan lain berupaya semaksimal mungkin agar keluarganya sehat dan nyaman. Tak jarang, Sri dan buruh perempuan lain mengurangi kualitas makanannya agar suami dan anak-anaknya tetap mendapat asupan makanan dengan gizi yang pas. Pada akhirnya, tetap saja gizi kurang, tapi itu dengan mati-matian buruh perempuan mengelola keuangan rumah tangga.
Setelah salah satu anaknya menginjak remaja, lulus Sekolah Menengah Umum (SMU), Sri berharap anaknya bekerja. Bersaing dengan anak muda lainnya, anak Sri pun berjuang mendapatkan pekerjaan menjadi buruh pabrik. Semakin cepat sang anak terjun ke pasar tenaga kerja, semakin ringan beban keluarga karena bertambah satu lagi sumber penghasilan dan berkurang jumlah manusia yang dinafkahi hidupnya. Bila sang anak adalah lelaki, maka ia akan terhindar dari pekerjaan rumah yang menjamin tenaga kerja pulih energinya, mencetak, mempersiapkan tenaga kerja baru (dari bayi hingga menginjak usia kerja). Bila sang anak adalah perempuan, maka saat kekinian, tugasnya membantu kerja sang ibu di rumah. Dan ke depan, adalah tugasnya, memulihkan tenaga kerja selepas kerja di area produksi dan mempersiapkan tenaga kerja baru, di keluarga baru yang akan dibentuknya kelak.
Beban Ganda = Sumber Keuntungan Ganda Pemilik Modal
Kerja pabrik dan kerja rumah, keduanya menguntungkan pemilik modal. Dari kerja pabrik, sudah barang tentu pemilik modal diutungkan karena ada sekian ribu buruh menjual tenaga kerjanya (sebisa mungkin murah) untuk menghasilkan jutaan produk (bahkan lebih) untuk dipasarkan. Bila perlu, hingga bisa meluas pabrik dan pasarnya ke beberapa wilayah dan negara. Keuntungan bisa berlipat.
Kerja rumah, pun menghasilkan keuntungan bagi pemilik modal. Tanpa kerja rumah yang menjamin kondisi fisik dan psikis buruh, mustahil buruh bisa bekerja dengan bugar. Pun, mustahil pemilik modal bisa memperoleh tenaga kerja baru atau tenaga kerja muda yang sehat. Pemilik modal memperoleh tenaga kerja baru tersebut, tanpa ia turut berpartisipasi, menjamin proses hidup tenaga kerja baru dari orok sampai memasuki usia kerja. Ada yang disebut tunjangan anak, namun tak semua pemilik modal memberikannya. Bila pun ada, itu karena perjuangan buruh di masa – masa sebelumnya. Ada pula yang disebut dengan cuti hamil yang memberi kesempatan bagi buruh perempuan untuk istirahat sebelum dan sesudah melahirkan, agar persalinan berjalan lancar baik bagi perempuan maupun janin. Tapi, nyatanya, cuti hamil banyak tidak diberikan. Bukannya diberi cuti hamil, malah di PHK atau putus hubungan kerja. Artinya, sebisa mungkin pemilik modal menghindari turut andil dalam proses hidup tenaga kerja baru. Hal baik seperti di Venezuela, yaitu cuti hamil dalam waktu yang panjang dan cuti hamil bagi suami atau pasangan, tak terjadi di negeri kita.
Mengurai Beban Ganda
Dari beban ganda tersebut, pemilik modal mendapatkan keuntungan ganda. Semakin berlipat keuntungan pemodal, semakin berlipat beban buruh perempuan. Ada peran negara yang mestinya penting di sini, baik dengan tekhnologi massal dan murah, subsidi sosial untuk kerja rumah tangga, Tempat penitipan anak murah berkualitas, hingga berbagi kerja rumah tangga.
Dengan berbagi kerja rumah tangga misalnya, akan membuat akses buruh perempuan lebih leluasa untuk beraktivitas di luar rumah. Aktivitas di luar rumah, bukan hanya bekerja di area produksi, namun juga mendapat akses pendidikan dan informasi, refreshing atau jalan-jalan, berorganisasi atau kerja sosial untuk dan bersama masyarakat. Dengan demikian, kualitas hidup buruh perempuan semakin meningkat dan semakin produktif untuk berkarya.
Pada akhirnya, perjuangan merebut hak di level pabrik atau tempat kerja, tak bisa lepas dari perjuangan menghilangkan beban ganda buruh perempuan. Dimulai dengan menjadikan kerja rumah tangga sebagai kerja bersama di dalam keluarga, hingga di level negara mendorong pemerintah memassalkan tekhnologi rumah tangga atau lebih tinggi lagi adalah subsidi sosial untuk kerja rumah tangga. Rasanya, di sinilah letak bagaimana negara dan kita sendiri mulai menghargai pekerjaan rumah tangga sebagai kerja. Mulia tentu saja, hingga saking mulianya, ia tak bisa dianggap sebagai pekerjaan perempuan, tapi pekerjaan manusia tanpa memandang jenis kelamin. Mulia tentu saja, sehingga pekerjaan rumah tangga harus dilihat bukan sebagai pekerjaan remeh. Mulia tentu saja, sehingga pemerintah dan kita bisa menghargai Pekerja Rumah Tangga.
NB (keterangan) *kerja produksi bukan hanya kerja di pabrik
Berikut adalah film singkat berjudul “Impossible Dream” yang berkisah tentang beban ganda buruh perempuan