Di balik jor-joran ekspor hasil laut Indonesia terdapat banyak keringat buruh yang bekerja tanpa mengenal lelah, baik yang bekerja di laut maupun di darat. Mereka terpaksa menghadapi realita pahit di tempat kerjanya demi bisa bertahan hidup untuk satu keluarga.
Nyatanya, perusahaan perikanan menikmati berlipat dari hasil laut dan budaya. Menurut Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang, Indonesia termasuk 10 negara terbesar eksportir produk perikanan dalam kaleng di dunia. Tercatat, setidaknya terdapat 70 industri pengalengan ikan skala besar dengan total produksi sebesar 308.000 ton pada tahun 2022.
Sayang, kemajuan perusahaan perikanan di Indonesia tidak diiringi dengan kesejahteraan buruh pengalengan ikan seperti yang dituturkan oleh Nisa, selah seorang buruh perempuan di perusahaan pengalengan ikan di Makasar. Kepada Marsinah.id, Nisa menceritakan duka selama bekerja di industri pengalengan ikan yang kata Bapak Menteri Perindustrian adalah pahlawan devisa negara
Sistem Target = Perbudakan
Sistem target yang diterapkan perusahaan pengalengan ikan memberi dampak buruk bagi buruh perempuan. Akibat sistem target, jam kerja buruh semakin panjang melebihi delapan jam kerja namun tidak dihitung lembur dan nyaris tanpa istirahat. Nisa, salah satu buruh pengalengan ikan di Makasar menuturkan, jam istirahatnya cuma 15 menit saja sehingga mereka harus saling berlarian ke ruang produksi sampai terjatuh.
Bukan hanya itu saja, saat bekerja, buruh tidak diperkenankan keluar ruangan, padahal suhu udara di dalam pabrik sangat dingin (minus), sehingga membutuhkan paparan udara segar di luar pabrik. Namun, karena kedinginan, buruh tetap meninggalkan ruang produksi barang sebentar, setidaknya 10 menit. Apalah daya, belum ada 10 menit sudah diteriaki pengawas dan diminta kembali bekerja. Dinginnya suhu udara di dalam pabrik tak terhindarkan dengan baju kerja yang sangat tipis, tak jarang suhu yang sangat dingin tersebut membuat kulit buruh menjadi pucat dan keriput. Jangankan baju kerja yang agak tebal, perlengkapan K3 (Kesehatan dan Keamanan Kerja) sama sekali tidak diberikan.
Kondisi tersebut semakin diperburuk dengan status kerja yang tidak jelas karena menerapkan status kemitraan. Padahal, Nisa dan teman – temannya bekerja sebagai buruh karena bekerja sesuai perintah kerja. Status kemitraan berakibat pada hilangnya hak dasar buruh seperti upah sesuai UMP, upah lembur, cutie haid, cuti hamil dan melahirkan hingga akses terhadap K3.
Sistem Target = Upah Rendah dan Terjerat Utang
Akibat hilangnya hak normatif, banyak buruh perusahaan pengalengan ikan hidup di bawah garis kemiskinan dan terpaksa berutang untuk sekedar memenuhi kebutuhan dasar. Maka, terjadilah aksi gali lubang tutup lubang yang membuat buruh lepas dari jerat utang.
Upah sesuai UMP adalah salah satu hak normatif buruh pengalengan ikan yang hilang. Di perusahaan pengalengan ikan tempat Nisa bekerja di Makasar, menerapkan sistem pengupahan per satuan waktu, per satuan hasil. Mereka dibayar per volume kerja, bukan sistem bulanan. Akibatnya upah yang diterima jauh dari UMP Makasar (Rp 3,64 juta).
Nisa menuturkan, ia dan teman – temannya hanya menerima upah per hari sekitar Rp 100,000, dengan jam kerja 10 sampai 13 jam sehari. Dengan demikian, dalam seminggu, ia dan teman – temannya hanya menerima Rp 700,000,-. Jika hasil tangkapan ikan tidak cukup banyak, upah yang diterima buruh per minggu, hanya berkisar Rp 200,000 – Rp 500,000.
Lain halnya dengan para atasan yang menerima ragam tunjangan, para buruh sama sekali tidak memperoleh tunjangan. Para atasan itu mayoritas adalah lelaki, sementara buruh di bagian produksi didominasi perempuan. Dengan demikian, terjadi pembagian kerja berbasiskan gender yang berujung pada diskriminasi pengupahan.