Pernikahan zaman sekarang itu nggak ada manfaatnya, baik buat pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Cuma menambah stres dan tanggung jawab saja. Ratusan ‘masalah’ yang tadinya nggak ada, jadi ada. ‘Masalah’ di sini seringkali timbul karena kedua belah pihak tidak menyadari dan belum bersepakat atas manfaat dan tujuan pernikahan.
Kita ambil dari sisi perempuan dulu. Pada masa sekarang, banyak perempuan berkarir dan bisa mandiri secara finansial. Sebaiknya, perempuan, jika merasa sudah berdaya secara finansial, bahkan sosial lewat pekerjaan dan kiprah di masyarakat, dia perlu dengan lebih tegas mendefinisikan motivasi dan tujuan dia menikah. Sebab, manfaat dan tujuan pernikahan bisa jadi sangat spesifik di tiap individu, tapi jika ditarik umum maka tujuan utama adalah untuk menambah nilai diri dan makan hidup. “Why would a woman marry someone who does not add value in her life?”
Sampai sini, jangan bilang soal pahala dulu ya. Coba lepasin dulu semua argumen relijius itu (kalau nanti balik ke pahala ya nggak apa-apa, tapi kita mencoba realistis dulu).
Jangan pula sebut soal eksklusivitas dan legalitas dalam hubungan seks, maupun prokreasi atau reproduksi. Sebab pada dasarnya, ngeseks maupun beranak itu toh tetap bisa dilakukan di luar hubungan pernikahan. Bahkan soal ngeseks, banyak yang masih bisa ngeseks dengan orang selain dengan istri atau suaminya sendiri. Jadi, pernikahan tak selalu menjamin eksklusivitas hubungan dan kemampuan orang punya anak.
Kita bernalar dulu..
Manfaat riil dari ‘pernikahan’ pada masa lalu adalah proteksi. Aku pakai tanda kutip di ‘pernikahan’ karena pernikahan itu pada dasarnya diawali dengan perjanjian di antara kedua belah pihak, di hadapan komunitasnya, masyarakat luas. Jadi janji itu tak hanya ke satu sama lain, tapi ke komunitasnya. Begitu, ya. Sepakat, ya.
Nah, pada masa lampau, ‘pernikahan’ (yang mungkin monogami atau poligami itu) ngasih manfaat ke semua pihak. Si perempuan ada yang melindungi dari terkaman harimau atau beruang. Si laki-laki dapat melanjutkan keturunan. Anak-anak diasuh oleh komunitas. Semua pihak saling melindungi agar kelanjutan komunitas itu terjamin.
Pada zaman sekarang, perempuan bisa memproteksi dirinya sendiri. Ancaman zaman sekarang memang tidak dalam bentuk hewan buas atau bencana alam, tapi diskriminasi, ketidakadilan, penindasan, penjajahan dan teman-temannya. Negara yang memiliki regulasi yang cukup adil dan stabilitas politik seharusnya bisa menjamin keselamatan semua orang, termasuk perempuan. Perempuan juga bisa pakai hak-haksosial, politik dan ekonominya sebagai proteksi itu. Misalnya, dengan berkarir, atau menjadi bagian dari sebuah gerakan, atau meminta tolong lembaga bantuan hukum untuk mendapatkan proteksi menghadapi terkaman ancaman dalam bentuk lain, misalnya kesetaraan gaji dan perundungan di tempat kerja, dan pelecehan seksual. Untuk menghadapi itu, perempuan nggak butuh suami..
Terlebih lagi, perempuan juga bisa memenuhi kebutuhan materialnya dengan dia bekerja dan menafkahi dirinya sendiri. Jika perempuan mendapatkan pendidikan yang bagus, dan membangun jejaring sosial, perempuan akan lebih berdaya menentukan masa depannya. Kebutuhan emosional seperti afeksi pun bisa didapat dari anggota keluarga terdekat, atau persahabatan. Bahkan buat perempuan yang sering berkiprah di masyarakat, dengan melihat orang lain bahagia dan terbantu, dia turut bahagia lo.
Bagaimana dengan kebutuhan biologis, apakah perempuan harus beranak? Tidak! Perempuan bisa merencanakan nasib tubuhnya sendiri. Kita manusia tidak harus beranak kok, nyatanya, juga banyak pasangan yang tidak dikaruniai anak meski mereka sudah mencoba dengan berbagai upaya. Maksudku, jalan hidup manusia yaitu menikah dan punya anak janganlah dijadikan norma sosial. Ada banyak cara untuk menjalani hidup. Atau, uhuk, kebanyakan laki-laki-kah yang harus beranak tapi dia pakai tubuh perempuan? (Apalagi saat ini, global boiling berlangsung. Buat apa nambah-nambah jumlah manusia ke dunia saat jelas-jelas bumi akan kiamat dalam waktu dekat.)
Bayangkan aja, perempuan yang sudah bisa memproteksi dirinya sendiri, dan sangat berdaya, diiming-imingi pernikahan yang pada akhirnya hanya: menyuruh dia untuk beranak pinak, masak dan nyuci ngepel, atau minimal ngawasin para pembantu rumah tangga (yang perempuan juga), melepaskan karir atau mengurangi pendapatannya, hanya untuk kemudian mendapatkan …. apa ya?… Orgasme yang cuma beberapa detik itu aja? Ah, itu pun bisa digantikan dengan cara lain. Kasih sayang suami yang bahkan nggak pernah melakukan kewajiban domestiknya? Banyak cerita para istri kehilangan ketertarikan seksual pada para suami karena mereka kelelahan mengurus rumah dan suami tidak melakukan apa-apa!
So, apa sih benefitnya? Kalau menikah cuma buat nambah beban hidup?
Itu yang aku rasakan sekarang karena aku punya privilege untuk bisa memproteksi diriku sendiri. Bagaimana dengan banyak perempuan di Indonesia lain yang nggak punya privilege itu?
Privilege di sini adalah akses terhadap pendidikan, fasilitas belajar, dan sebagainya yang pada akhirnya membuat orang bisa berpikir kritis. Banyak perempuan itu yang sebenarnya ingin berdaya, mandiri. Tapi celakanya, budaya Indonesia itu mensyaratkan perempuan hanya bisa ‘keluar’ dari rumah jika dia menikah. Bahkan untuk anak perempuan itu bisa berangkat kuliah, upaya yang dia lakukan itu dua kali lebih besar dari anak laki-laki di keluarganya!
Tentu banyak dari mereka yang berharap ‘lari/kabur’ dari rumah orang tuanya dengan cara pernikahan. Yang sayangnya, tidak selalu berakhir dengan baik. Keluar dari mulut harimau, masuk ke lubang buaya. Menyelesaikan masalah dengan masalah.
Buat para perempuan pintar dari kawasan-kawasan patriarkis yang somehow bisa lulus masuk universitas negeri dengan beasiswa, bisa keluar rumah itu sebuah loncatan yang sangat besar! Itu aja, sehabis lulus kuliah, mereka masih akan ditanya, “Kapan nikah?”
Astaga!!! Padahal laki-laki setelah lulus kuliah juga nggak ditanya kapan nikah. Secara kultural, perempuan ditempatkan dalam posisi yang tidak setara dengan laki-laki! Kenapa kami harus segera menikah setelah lulus kuliah? Takut tubuh kami kadaluarsa nggak bisa beranak lagi?
Sayangnya, situasi sekarang itu masih belum memungkinkan potensi para perempuan itu tergali maksimal di banyak sektor.. Akibatnya apa? Banyak perempuan tak bisa memproteksi dan membela hak-haknya karena pelbagai sebab hambatan itu. Pernikahan masih dianggap menarik buat sebagian besar perempuan.
Padahal di situasi ekonomi politik yang sangat neoliberal ini, apabila beban finansial cuma diletakkan di laki-laki juga membuat laki-laki tertekan. Meski begitu, keuntungan laki-laki lebih banyak daripada perempuan dalam pernikahan.
Satu, ada istri yang selalu melayani dan mengabdi kayak budak, gratis-tis-tis! Nggak digaji. Dua, dapat anak keturunan garis laki-laki. Tiga, dapat status sosial karena laki-laki yang menikah dianggap ‘jagoan’, ‘maskulin’. Apalagi jika makin banyak jumlah istrinya. Empat, umurnya makin panjang, karena ada yang merawatnya. Lima, jika si suami menerima warisan, ada istri yang ngurusin warisan laiknya rumahnya sendiri. Si istri yang bersih-bersih, meski jika nanti si suami selingkuh, dia didepak dari rumah itu,
Sedangkan, buat istri apa? Awas, jangan bilang pahala lo.
Sang istri yang mengasuh anak di rumah, dan tidak menghasilkan uang secara mandiri, malah tertekan dan rugi empat kali. Satu, secara finansial dia bergantung pada suami. Dua, dia dieksploitasi oleh kapitalis (karena memberikan jasa membesarkan dan mengurus anak (calon buruh dan konsumen) secara gratis). Tiga, dia juga nggak bisa mengaktualisasi diri. Dan empat, dia rawan mengalami kekerasan sebab suami menjadikan si istri tempat pelampiasan, “Eh, kan elu kukasih duit, ya elu nurut dong!”
Perempuan berdaya secara ekonomi sebelum dia menikah, merupakan kunci. Sekecil apapun penghasilannya. Dan setelah menikah, sebaiknya sumber penghasilan jangan dilepaskan. Sebab pada dasarnya, si perempuan (dan laki-laki) juga akan berpikir, jika si perempuan tanpa laki-laki bisa mandiri, laki-laki bisa menawarkan apa?
Masih ada sih sebenarnya yang bisa dia tawarkan: konsistensi, dan loyalitas. Nah, dua hal itu, di masyarakat berburu dan meramu, pun mahal harganya. Apalagi di era medsos seperti sekarang yang mana orang bisa ‘selingkuh’ atau memberi atensi ke orang lain selain pasangannya.
Tapi jalan ke kesetaraan akan hak dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan itu sepertinya masih panjang dan berliku. Terkadang persoalannya lebih ke mindset kita bersama. Kalau kita menganggap perempuan sebagai makhluk yang tidak berhak berdaya selain lewat ketiak laki-laki, pernikahan tak lagi menjadi institusi yang menarik bagi perempuan mandiri.
Dengan banyaknya ‘manfaat’ yang disadap kapitalis melalui ketidakadilan gender itu, termasuk lewat pernikahan-pernikahan yang lebih banyak merugikan perempuan, nggak heran, Indonesia akan terus terbelakang. Terusin aja deh kebiasan kita nyebut “perempuan harus nikah biar jadi perempuan sempurna.” Liat aja bangsa kita nanti hasil akhirnya kayak apa. Jadi, sebelum terlambat, mari kita pikir lagi sebenarnya apa manfaat dan tujuan pernikahan di diri masing-masing dengan melihat kondisi sosial, ekonomi dan politik di negara ini. Sebab, pernikahan itu bukan urusan dua pihak, tapi urusan kapitalis juga!
Penulis
Gilang Parahita
Janda Satu Anak