Search
Close this search box.

Kriminalisasi Kasus Haris dan Fatia: Dengungkan Suara Kritis, Pejabat Meringis

Bivtri, salah satu pengajar/dosen di STHI Jentera juga menambahkan perihal Judicial Harrasment atau Malicious prosecution atau Kriminalisasi ini, ia menyatakan akar masalah dari Judicial Harrasment berada di dalam pemerintah yang anti terhadap kritik dan kecenderungannya ialah ketika pemerintah menyembunyikan/menyimpan masalah-masalah yang harus disembunyikan, disimpan seperti benturan kepentingan terkait bisnis-bisnis yang dilakukan oleh jajaran pemerintahan.

https://pin.it/4x4HtM8

Kasus kriminalisasi Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti terkait obrolan di dalam kanal youtubenya yang membahas hasil kajian, riset dari beberapa organisasi masyarakat sipil terkait ekonomi politik penempatan militer dan kerusakan lingkungan, tindak pidana korupsi serta pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua, serta kuat dugaan bisnis tambang di Papua tersebut erat kaitannya dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia, Luhut Binsar Pandjaitan.

Luhut Binsar membalas kajian/riset Haris dan Fatia yang dibentuk bersama 9 organisasi masyarakat sipil tersebut dengan pelaporan ke kepolisian dengan dugaan pencemaran nama baik karena menyebut nama Luhut Binsar dengan penyebutan “Lord” serta obrolan Fatia dan Haris di kanal youtubenya dianggap membuat keonaran di ruang publik.

Di dalam Talkshow Union Marsinah FM, Hans dari Kontras menyatakan bahwasanya Buntut dari riset yang dibahas Haris dan Fatia adalah dilaporkanya Haris dan Fatia dengan menggunakan Pasal 27 ayat 3 juncto Pasal 45 tentang undang ITE serta didakwa dengan Pasal 14 dan Pasal 15 UU No.01 Tahun 1964 yang mengaturtenang tindak pidana menyebabkan keonaran di muka publik dan di sepanjang tahun 2022, Kontras menemukan kurang lebih 150 kasus pelanggaran hak sipil yang terjadi di Indonesia dengan menggunakan 3 pola utama yaitu adanya represi terhadap kebebasan berekspresi, adanya serangan melalui media digital atau sering disebut buzzer dan peretasan atas medsos serta Judicial Harrasment atau Malicious prosecution atau Kriminalisasi.

Judicial Harrasment atau Malicious prosecution atau Kriminalisasi, seringkali digunakan untuk membungkam kritik, menghalang-halangi dan memberikan intimidasi melalui hukum positif yang berlaku sehingga seolah-olah pembungkaman dan intimidasi tersebut dilakukan secara legal sesuai dengan hukum yang berlaku dan Undang-undang ITE adalah salah satu produk undang-undang yang dihasilkan oleh negara yang seringkali digunakan untuk melakukan tindakan Judicial Harrasment atau Malicious prosecution atau Kriminalisasi tersebut.

Bivtri, salah satu pengajar/dosen di STHI Jentera juga menambahkan perihal Judicial Harrasment atau Malicious prosecution atau Kriminalisasi ini, ia menyatakan akar masalah dari Judicial Harrasment berada di dalam pemerintah yang anti terhadap kritik dan kecenderungannya ialah ketika pemerintah menyembunyikan/menyimpan masalah-masalah yang harus disembunyikan, disimpan seperti benturan kepentingan terkait bisnis-bisnis yang dilakukan oleh jajaran pemerintahan. Maka dari itu, masalah-masalah tesebut harus ditutup dengan rapat. Ibarat, menyembunyikan kotoran. Kotoran tersebut harus disembunyikan dan orang yang berusaha membongkar kotoran tersebut segera dibungkam agar kotoran tersebut tetap tidak diketahui oleh siapapun.

Pernyataan diatas mencerminkan bahwasanya pelaporan Haris dan Fatia tersebut membuktikan masih lemahnya dan kurangya perlindungan/payung hukum untuk melindungi para pembela hak asasi manusia yang mengakibatkan terjadinya tindakan Judicial Harrasment atau Malicious prosecution atau Kriminalisasi tersebut dan undang-undang ITE ini acap kali digunakan para pemilik kekuasaan untuk membungkam siapapun yang dianggap menganggu kepentingan para pemilik kekuasaan tersebut. Dalam konteks ini, Luhut menggunakan undang-undang ITE ini untuk membungkam kritik Haris dan Fatia atas dugaan Luhut Binsar Pandjaitan berada dalam pusaran industri tambang yang ada di Papua tersebut.

Padahal, menurut Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (UU PPLH), setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut/digugat secara pidana maupun digugat secara perdata. Maka dari itu seharusnya Fatia dan Haris yang menyuarakan serta memperjuangkan pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan yang ada di Papua tersebut tidak bisa digugat secara pidana maupun perdata mengacu pada undang-undang diatas. Tutur Hans.

Bivitri, salah satu pengajar/dosen di STHI Jentera menambahkan, seharusnya tidak perlu ada penuntutan/proses pengadilan atas kritik yang diberikan oleh Haris dan Fatia ini. Di dalam kasus ini semakin membuktikan bahwa hukum digunakan oleh penguasa semata-mata digunakan dalam kacamata hukum saja, tanpa melihat dimana hukum itu bekerja. Pandangan hukum seperti ini berbahaya karena seharusnya yang memiliki adalah semua orang dan kenyataannya yang disebut mempunyai hukum ialah para pemilik kekuasaan/otoritas pembentuk serta penegak hukum dan apabila kritik berdasarkan data studi, pengkajian yang diutarakan Haris dan Fatia tidak benar, seharusnya Luhut Binsar Pandjaitan memaparkan data sebaliknya saja.

Bisa dilihat dengan jelas dari kedua pernyataan diatas, segala hal yang dianggap menyebalkan, menganggu kepentingan kekuasaan/otoritas aparatur negara akan mudah dibawa ke ranah hukum dan hal tersebut akan mengancam kehidupan demokrasi yang sudah berjalan selama ini di dalam masyarakat terutama mengancam pembela Hak Asasi Manusia, aktivis serta gerakan-gerakan sosial lainnya serta berbagai pembungkaman aktvis-aktivis tersebut membuktikan bahwasanya negara gagal dalam menjamin hak kebebasan berpendapat dan perlindungan kepada para pembela Hak Asasi Manusia.

Bivtri berpesan bahwasanya kasus Haris dan Fatia tidak perlu diproses dikarenakan sudah ada surat keputusan bersama yang seharusnya tidak lagi menerapkan udang-undang ITE, serta pelaporan sebaliknya yang ditujukan kepada Luhut Binsar Pandjaitan tidak ditindak lanjuti oleh aparat kepolisian. Pernyataan diatas sudah membuktikan secara kasat mata bahwa ketidakadilan yang dialami oleh Pembela Hak Asasi Manusia dan apabila kasus ini tidak diramaikan maka para pemilik kekuasaan anti kritik ini akan menemukan metde bagaimana cara membungkam para kritikus. Maka akan mengalami keruntuhan demokrasi karena pembungkaman-pembungkaman terhadap aktivis serta pembela Hak Asasi Manusia akan sering terjadi. Maka dari itu, kita perlu perhatikan betul karena ini adalah masa depan negara hukum kita.

Hans juga berpesan, menuju 25 tahun reformasi ini masih banyak berbagai permasalahan. Salah satunya adalah kawan-kawan buruh yang dihantam omnibuslaw, disahkannya Perppu Ciptakerja menjadi Undang-undang serta para pembela Hak Asasi mausia yang direpresi dalam berbagai bentuk yang salah satunya adalah Judicial Harrasment serta Hans juga Mengutip kata-kata Martin Luther King “Injustice anywhere is a threat to justice everywhere” yang berarti “ketidakadilan yang terjadi disuatu tempat itu adalah ancaman bagi keadilan dimana saja”. Oleh karena itu, kita harus membangun kesadaran bersama untuk melawan pembungkaman seperti kasus Haris dan Fatia.

oleh Gama 

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Bermula Dari Serpihan Semangat Juang

Rapat Akbar FBLP  pada tahun 2011 Oleh Dian Septi Trisnanti  untuk semua kawan yang mendukung dan terlibat dalam perjuangan FBLP (Federasi Buruh Lintas Pabrik) Ini

12 Smart ideas for breakfast on the go

At vero eos et accusamus et iusto odio dignissimos ducimus qui blanditiis praesentium voluptatum deleniti atque corrupti quos dolores et quas molestias excepturi sint occaecati

Anak Pertama Lelaki Ku

sumber gambar: http://studentblog.law.wvu.edu/blog/2014/9/11/west-virginia-legislation-pregnant-workers Oleh Lami  Menikah = Jalan Keluar ?   Sebelum aku menikah dan menjadi ibu, aku adalah  buruh muda yang  bekerja di pabrik dengan sejuta

Membela Senyap

Bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia, sekitar 457 titik dari Aceh hingga Papua, memutar film Senyap atau The Look of Silence karya Joshua Oppenheimer. Senyap