Oleh: Dian Septi Trisnanti
Weekend di akhir Juni kali ini, berbeda dengan weekend pada biasanya. Bila biasanya teman – teman buruh anggota Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) Jakarta, menghabiskan waktu bersama keluarga di rumah setelah bekerja selama lima hari penuh, hari itu mereka meluangkan waktu berakhir pekan dengan belajar bersama. Untuk apa buruh belajar? bukankah sudah berusia dewasa dan melewati usia sekolah? Mungkin demikian anggapan banyak orang, karena belajar erat kaitannya dengan anak sekolahan seperti yang diwajibkan pemerintah 9 tahun belajar dan bila beruntung bisa melanjutkan ke jenjang sekolah lebih tinggi, yakni di bangku kuliah. Memang apa faedahnya buruh bersekolah? Memangnya bisa membantu memenuhi target produksi di tempat kerja?
Sebagian masyarakat yang awam dengan Serikat Pekerja mungkin belum memahami, bahwa Serikat Pekerja tak ubahnya lembaga pendidikan tempat buruh belajar tentang apa saja. Terutama, tentu saja tentang hak – hak sebagai pekerja, bahkan bisa saja belajar tentang ilmu kehidupan dari sosologi, sejarah sampai ekonomi politik. Setidaknya, perangkat ilmu pengetahuan itu bermanfaat bagi kehidupan buruh saat bekerja, di keluarga, dimanapun dan kapanpun. Memberi pisau analisa supaya sanggup berpikir kritis, membebaskan dari belenggu pembodohan yang kerap memenjarakan manusia dalam lingkar penindasan.
Demikianlah, dengan berserikat, buruh juga bersekolah meski bukan di lembaga resmi sekolah. Hari itu, tepatnya Sabtu, 25 Juni 2022, di hotel D’arcici, 29 buruh baik perempuan maupun lelaki belajar tentang Konvensi ILO 190. Sejak pukul 09.00 WIB, 29 peserta telah berpartisipasi dan mengikuti dua mata pelajaran yang disiapkan panitia. Mata pelajaran pertama adalah tentang Seks dan Gender yang difasilitasi oleh Ari Widiastari, seorang alumnis buruh tusuk gigi yang berlokasi di KBN Cakung, Jakarta Utara. Berbekal pengalaman belasan tahun bekerja sebagai buruh pabrik, Ari aktif menjadi penggiat serikat dan kerap memfasilitasi pendidikan anggota. Berbagi pengetahuan, menyerap pengalaman harian buruh menjadi keseharian Ari.
Belajar tentang seks dan gender, peserta diajak memahami tentang makna seks dan gender serta belajar berlaku adil sejak dalam pikiran, melepaskan diri dari konstruksi sosial masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai mahkluk nomor dua. Pun, diajak menghargai keberagaman seks dan gender yang lahir di masyarakat. Menghapuskan diskriminasi berbasis gender dan belajar berlaku adil.
Bicara tentang diskriminasi, kekerasan bukan barang baru bagi buruh yang menjalani kerja sehari – hari berpeluh keringat dan terpapar makian dari atasan. Semua peserta akrab dengan hal itu, namun belum tentu akrab dengan perangkat kebijakan yang meminggirkannya ataupun yang melindunginya. Undang – Undang Cipta Kerja misalnya yang meminggirkan buruh, atau pasal kontrak dan outsourcing yang menghancurkan masa depan buruh, tak semua buruh memahaminya. Demikian halnya dengan perangkat hukum yang melindungi mereka, seperti Konvensi ILO 190.
Pasca belajar tentang seks dan gender, peserta diajak mengenal tentang Konvensi ILO 190, tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja yang disahkan melalui sidang Konvensi ILO di Genewa, 21 Juni 2019 silam. Konvensi ini sudah diratifikasi 18 negara namun pemerintah Indonesia tidak kunjung mengikuti jejak 18 negara tersebut. Menurut Ema Mukkaramah, Konvensi ILO 190 merupakan konvensi yang mengatur perlindungan bagi semua pekerja baik lelaki, perempuan atau gender lainnya, apapun status pekerjaannya, mulai dari pencari kerja, pekerja magang, kontrak/ outsourcing, harian lepas, kemitraan palsu hingga pekerja rumah tangga dan disabilitas.
Tentu tidak mudah mendorong pemerintah meratifikasi Konvensi ILO 190, dan membutuhkan proses panjang, namun Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama/ Perjanjian Bersama bisa merujuk Konvensi ILO 190. Sehingga, penting Serikat Pekerja memperjuangkan isian Konvensi ILO 190 termaktub dalam PB/ PKB. Sembari memperjuangkan advokasi kebijakan ratifikasi Konveni ILO 190 di tingkat nasional.
Seperti yang diketahui, pada 21 Juni 2022 lalu, Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja menggelar aksi demonstrasi di depan Kementerian Ketenagakerjaan RI, namun pihak Kemnaker memberi jawaban cukup mengecewakan. Dengan dalih sudah disahkannya UU TPKS, keberadaan Konvensi ILO 190, dirasa belum diperlukan untuk saat ini. Padahal, keberadaan Konvensi ILO 190 sangat dibutuhkan mengingat rantai kekerasan di dunia kerja sedemikian kompleks, tidak hanya mencakup kekerasan seksual namun melingkupi kekerasan ekonomi, psikis, fisik hingga verbal dan non verbal. Setidaknya, demi mendesak pemerintah supaya serius meratifikasi Konvensi ILO 190, akar rumput patut memperkuat barisan dalam pendidikan – pendidikan penyadaran hingga tingkat terkecil. Itulah mengapa dalam sesi akhir pendidikan Konvensi ILO 190, peserta didik berkomitmen membangun Lingkar Belajar Buruh dengan menyasar minimal 50% anggota hingga di tingkat terkecil di tempat kerja (bagian atau line). Buruh yang cerdas adalah senjata ampuh memerdekakan diri dari belenggu penindasan.