Di dalam sejarah dunia banyak perempuan yang tercatat ikut serta dalam terciptanya sejarah internasional maupupun nasional serta memiliki peran yang stategis. Dalam sejarah internasional sudah tak asing lagi dengan nama-nama tokoh perempuan seperti Rossa Luxemburg, Nawal El Saadawi, Clara Zetkin dan lain-lain, juga dalam sejarah nasional tak luput dari keikutsertaan perempuan dalam terciptanya sejarah seperti Menteri perburuhan (ketenagakerjaan) pertama indonesia, SK Trimurti, dewi sartika dan masih banyak tokoh perempuan lainnya.
Pada tanggal 8 Maret 1857 terjadi demonstrasi buruh perempuan pabrik tekstil di New York, Amerika Serikat guna memprotes kondisi kerja yang tidak layak dan menuntut penyetaraan upah antara buruh perempuan dengan laki-laki. Di tahun 1908 di tanggal yang sama 8 Maret, sekitar 15.000 buruh perempuan pabrik tekstil di New York tersebut kembali melakukan aksi demonstrasi guna menuntut pengurangan jam kerja, kenaikan upah untuk buruh dan hak untuk memilih didalam pemilu. Setelah beberapa aksi-aksi buruh perempuan pabrik tekstil di New York tersebut, muncul tokoh perempuan sekaligus aktivis perempuan Jerman, Clara Zetkin dan Luise Zeitz yang mengusulkan agar tanggal 8 Maret diperingati sebagai hari Perempuan Internasional dalam konferensi sosialis II di Kopenhagen, Denmark.
Setelah melihat sejarah singkat munculnya hari perempuan internasional yang diperingati setiap tanggal 8 Maret, Didalam Talkshow Union di Marsinah FM dengan tema “Sejarah Hari Perempuan Internasional dan Maknanya Bagi Kita” Mutiara Ika Pratiwi dari Perempuan Mahardika yang merupakan salah satu narasumber talkshow tersebut menyatakan bahwa Hari Perempuan Inernasional bukan hanya sebagai hari perayaan atau sebagai hari memperingati akan tetapi menjadi inspirasi karena situasi pengalaman perempuan yang sangat nyata ketika berinteraksi dengan dunia patriarkis dan kapitalis yang artinya eksploitasi dan penindasan terhadap perempuan berjalan secara mendalam dan bersamaan juga di hari perempuan internasional menjadi momentum perempuan untuk memiliki kesadaaran yang baru, kesadaran untuk melawan dan kesadaran untuk posisi yang menentukan serta hari perempuan adalah sejarah perlawanan perempuan pekerja itu sendiri serta masayarakat sedang berada didalam situasi krisis multidimensi sehingga permasalahan perempuan bukan hanya persoalan tentang kekerasan saja melainkan berkelit kelindan dengan masalah-masalah sosial yang ada didalam masyarakat.
Kalis Mardiasih, Author & Gender Specialist juga sekaligus penulis mengungkapkan “perempuan memiliki pengalaman personal serta pengalaman sosial yang berbeda-beda dan tidak semua perempuan mengerti pengalaman yang dialami setiap tubuh perempuan, terkadang sesama perempuan masih memarjinalkan pengalaman perempuan lain. Kondisi ekonomi juga mempengaruhi kondisi kesehatan reproduksi perempuan sebagai contoh tidak semua perempuan bisa membeli tampon, orang miskin beranggapan bahwasanya pembalut biasa sebagai barang mewah padahal ini adalah kebutuhan perempuan yang setiap bulan terjadi. Di negara-negara maju, kebutuhan reproduksi termasuk pembalut disubsidi oleh negara sedangkan di indonesia jangankan memikirkan menstruasi, memikirkan kebutuhan reproduksi yang pokok seperti kebutuhan ibu hamil saja belum ramah, akses fasilitas kesehatan reproduksi masih mahal dan masih menjadi previlege kelompok-kelompok tertentu serta juga masih banyak teman-teman didalam organisasi yang masih tidak memberikan ruang untuk perempuan, sekalinya memberikan ruang tetapi tidak ikhlas.”
Elza Yulianti, Embrance equality juga menyuarakan tentang kondisi perburuhan saat ini. Ia mengungkapkan bahwa menurut data yang ia himpun dari berbagai sumber dengan contoh kesenjangan upah berbasis gender ini masih terjadi serta pemenuhan hak-hak buruh perempuan seperti cuti haid dan cuti melahirkan masih belum terpenuhi dengan melihat realita kondisi perburuhan saat ini dan masih menjadi tantangan. menurut survey, pekerja di Indonesia rentan mengalami pelecehan dan kekerasan di dunia kerja serta juga perempuan pekerja muda harus berpolitik untuk terbentuknya kepemimpinan perempuan serta menyuarakan kepentingan perempuan, ujarnya.
Melihat pernyataan narasumber tersebut, kondisi perempuan diihat dari aksi pemogokan buruh perempuan era industrialisasi di amerika serikat kondisinya tidak jauh berbeda dengan saat ini. Aksi demonstrasi buruh perempuan pabrik tekstil di New York dengan tuntutan pengurangan jam kerja, kenaikan upah dan kondisi yang layak/manusiawi, kesenjangan upah berbasis gender yang dituntut oleh buruh perempuan pabrik tekstil pada 8 Maret 1857. Tuntutan-tuntutan itu hingga sekarang yang berusia hampir 2 abad itu dan seperti gerakan buruh di Semarang pada masa kolonialisme belanda pada tahun 1920-an dengan tuntutan-tuntutan yang masih sama juga mengenai pengurangan jam kerja dan politik upah murah kondisi kerja yang tidak manusiawi dan lain-lain masih disuarakan oleh gerakan buruh disetiap aksi-aksi hingga saat ini dan perempuan menjadi objek utama penindasan dan penghisapan oleh sistem produksi kapitalisme yang diperkuat oleh budaya seksisme, patriarkisme. Melihat realita dari kondisi buruh perempuan tersebut, hari perempuan internasional ini bukan hanya dijadikan ajang perayaan atau memperingati saja akan tetapi memunculkan ide-ide, cara-cara dan gagasan baru guna memperbaiki kondisi-kondisi perempuan yang sebenarnya, seperti yang diungkapkan oleh Mutiara Ika Pratiwi “permasalahan perempuan bukan hanya persoalan kekerasan saja akan tetapi masalah-masalah sosial yang ada di dalam masyarakat”.
Kalis Mardiasih juga berpesan “visi gerakan perempuan itu tulus dan bercita-citakan pembebasan kaum perempuan agar perempuan bebas dari kemiskinan, bebas bersuara dan perempuan bisa mendapatkan ruang-ruang politik”.