Pungutan liar atau pungli adalah istilah yang tak asing bagi kebanyakan orang, apalagi bagi mereka yang pernah menjadi korbannya. Tak terkecuali kaum buruh/pekerja. Bagaimana buruh menjadi korban atas praktik pungli ini? Sejak lama, kaum buruh kerap dimintai pungutan liar atau pungli ketika berusaha melamar pekerjaan di perusahaan-perusahaan, terutama di sektor padat karya. Di tengah sulitnya mendapatkan kesempatan untuk bekerja, para buruh malah dimintai pungli oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Dalam Talkshow Union yang diselenggarakan oleh Marsinah FM padaJumat, 3 Februari 2023, Linda (Pengurus Basis FSBPI PT Amos) mengatakan bahwa pungli itu adalah “kejahatan yang sunyi.” Seperti tidak terlihat tapi nyata adanya. Linda juga mengatakan bahwa dalam melakukan praktik pungli, oknum-oknum ini menggunakan kata-kata kiasan dalam melancarkan aksinya. Sebagai contoh, sebelum masuk (diterima) kerja, buruh harus membayar ‘2000 atau 3000’, akan tetapi, yang dimaksud dengan ‘2000 atau 3000’ ini adalah 2 juta atau 3 juta. Selain itu, ada pula yang dimintai pungli agar kontrak kerja mereka dapat diperpanjang.
Apa yang dikatakan Linda (Pengurus Basis PT Amos) tersebut merupakan contoh dari beragam praktik pungli dan suap yang terjadi di dalam dunia kerja dan praktik pungli ini merupakan masalah besar yang belum terselesaikan.
Salah satu penyintas dari praktik pungli ini adalah Yuli (bukan nama sebenarnya). Ia mengalami pungli pada 2012 ketika melamar pekerjaan. Pada saat itu, Yuli dan teman-temannya dimintai sejumlah uang atau imbalan oleh sejumlah oknum agar diterima oleh perusahaan yang mereka lamar. Selain itu, mereka pun diancam. Jika tidak memberikan uang atau imbalan kepada oknum-oknum tersebut, maka mereka akan mengalami diskriminasi di tempat kerja.
Dengan banyaknya praktik pungli di dunia kerja, Linda (Pengurus Basis FSBPI PT Amos) memberikan peringatan kepada oknum-oknum yang melakukan praktik pungli. Pihak manajemen pun memberikan surat pernyataan tidak akan mengulangi praktik pungli tersebut sembari menyatakan bahwa praktik pungli tidak boleh terjadi lagi karena termasuk ke dalam tindak pidana.
Dari sisi buruh, untuk melawan atau menolak praktik pungli ini, menurut Yuli, dapat dilakukan dengan berpikir bahwa uang yang dihasilkan dari tetes keringat lebih baik diberikan untuk keluarga daripada untuk oknum-oknum yang memintai pungli tersebut. Walaupun berada dalam tekanan, namun para buruh harus berani melawan praktik pungli karena praktik ini menyengsarakan buruh-buruh yang sedang mencari pekerjaan.
Linda juga menyatakan bahwa “dengan sistem fleksibilitas tenaga kerja saja sangat sulit bagi buruh untuk memenuhi kehidupannya. Apalagi ditambah dengan adanya pungli di lingkungan tempat kerja. Selain itu, tidak adanya keseriusan pemerintah dalam mengatasi problematika kaum buruh apalagi buruh perempuan (juga semakin menyengsarakan kaum buruh)”.Maka dari itu, kaum buruh harus menjadi pemutus rantai pungli dan suap dengan menolak pungli di segala aspek kehidupan untuk mewujudkan kehidupan dunia baru tanpa penindasan.***