Search
Close this search box.

Pembebasan Queer adalah Perjuangan Kelas

Dunia modern kerap dianggap sebagai titik cerah bagi kehidupan queer karena queer dapat merayakan pengakuan hak, pencabutan kriminalisasi, hingga pengakuan pernikahan. Namun sejatinya, kita semua masih belum bebas.

Iman Amirullah*

Sepanjang ribuan tahun sejarah peradaban umat manusia, kelompok minoritas gender dan seksual kerap dianggap berada dalam posisi yang membingungkan dalam struktur sosial masyarakat di banyak belahan dunia. Individu non-biner kerap sebagai sosok dengan dimensi “ilahiah” juga yang tercela pada saat bersamaan. Di peradaban Mesir kuno, sosok Hapi, Dewa penguasa Sungai Nil digambarkan sebagai sosok pria dengan perut buncit, berpayudara besar, dan menggunakan janggut palsu untuk menutupi aspek ketidakmaskulinannya. Masyarakat adat di Amerika Serikat juga mengenal konsep Two Spirit, untuk menyebut orang-orang yang dianggap memiliki dua sifat gender, maskulin dan feminin secara bersamaan. Namun, tak perlu berjauh-jauh, masyarakat Indonesia juga sejatinya tak asing dengan keragaman gender dan seksualitas. Sebut saja masyarakat Bugis yang mengenali 5 gender dan bahkan menempatkan orang-orang dengan keragaman gender ini dalam posisi terhormat baik secara spiritual maupun sosial. 

Meski begitu, kelompok queer juga terus menjadi kelompok dengan strata paling rendah dalam struktur masyarakat dunia. Di masa kegelapan Eropa, gereja membantai dan menghabisi individu queer karena dianggap berdosa. Kelompok queer juga menjadi sasaran tembak rezim fasis Hitler bersamaan dengan orang-orang Yahudi dan Gipsi. Rezim komunis Soviet maupun “demokratis” ala barat tidak luput pula membantai dan memenjarakan queer dengan dalih kontra-revolusioner ataupun degenerasi. 

Dunia modern kerap dianggap sebagai titik cerah bagi kehidupan queer karena queer dapat merayakan pengakuan hak, pencabutan kriminalisasi, hingga pengakuan pernikahan. Namun sejatinya, kita semua masih belum bebas. Masih banyak queer yang menjadi sasaran persekusi kelompok-kelompok fundamentalis di Timur Tengah.  Rezim teokrasi Islam secara umum masih menganggap homoseksual sebagai dosa yang harus dihabisi secara kejam (Walsh, 2019). Para transgender pun masih terus menjadi sasaran pelecehan dan kekerasan di peradaban barat yang kerap dianggap sebagai dunia modern itu sendiri (Crick, 2024).

Hari ini, kita sebagai queer mungkin telah memiliki kehidupan yang lebih baik dibandingkan dengan masa lalu. Namun kita masih belum bebas. Pengakuan pernikahan hingga representasi queer di sinema-sinema yang dibuat oleh buruh-buruh kurang tidur dan berupah rendah  seringkali menyilaukan kita: mereduksi pembebasan queer sebagai perjuangan individual semata. 

Pada Bulan Kebanggaan tahun ini, saya ingin mengajak kita semua untuk mengingat kembali esensi dari Bulan Kebanggaan yang yang dimulai dari peristiwa Kerusuhan Stonewall.  Pada peristiwa yang sangat bersejarah itu, seorang transgender kulit hitam melemparkan sebuah batu sebagai respon kemarahannya atas penganiayaan polisi dan menjadi simbol puncak kemarahan komunitas queer atas penindasan polisi dan negara. Kerusuhan Stonewall sendiri merupakan sebuah kerusuhan selama 6 hari di sebuah distrik yang dipenuhi bar homoseksual yang diakibatkan oleh serbuan polisi di distrik tersebut. Setelahnya, kerusuhan ini diperingati setiap tahunnya sebagai peringatan Bulan Kebanggaan, simbol keberanian dan kemarahan atas penindasan yang dirasakan individu queer.

Perjuangan pembebasan queer bukanlah persoalan/isu individual, melainkan isu kolektif dan bersifat interseksional. Dimana setiap area perjuangan kita sejatinya saling terhubung satu sama lain dan tidak berdiri sendiri. Ketika kita membicarakan hak hidup layak, bagaimana kita bisa membayangkan kehidupan yang layak bagi individu queer jika seseorang bisa dipecat dari tempat kerjanya hanya karena ia mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan norma gender di masyarakat? Bagaimana kita bisa berbicara kita telah setara ketika lebih dari 70% individu queer masih mengalami kekerasan di tempat kerjanya?

Kesetaraan bukan hanya menyoal representasi di sinema atau korporasi-korporasi yang mengupah rendah para buruhnya lalu mengganti logo perusahaan mereka menjadi pelangi di bulan Juni. Kesetaraan bukan hanya soal ada presiden, menteri, atau tentara yang homoseksual. Bukan pula sekadar representasi, karena kita tidak ingin mengganti satu pembantai cis-male dengan pembantai transgender.  Kita tidak butuh bos gay untuk menggantikan bos heteroseksual. Ketika kita berbicara pembebasan queer, kita berbicara tentang hasrat kita semua tentang dunia yang bebas, dunia dimana tidak ada pembantaian, dunia tanpa eksploitasi, dunia tanpa bos, dan dunia dimana kita bisa mencintai siapapun yang kita cintai.

Maka, pembebasan queer bukan pembebasan individual. Ini adalah pembebasan yang interseksional. Kebanyakan queer adalah kelas pekerja, yang bukan hanya menghadapi homofobia, transfobia, dan heteronormativitas, tapi juga kemiskinan, eksploitasi, dan penindasan akibat kapitalisme. Queer tidak hanya terdiri dari orang-orang kelas menengah perkotaan yang berkuliah di kampus-kampus mahal, tapi juga orang-orang pinggiran, miskin, masyarakat adat, difabel, minoritas agama dan suku, dan berbagai lapisan kerentanan lainnya yang mengalami berbagai penindasan secara berlapis-lapis. 

Jadi, ketika kita berbicara mengenai pembebasan queer, kita perlu melihat siapakah queer yang kita maksud? Pembebasan berarti bebas untuk semua atau tidak sama sekali. Tidak ada pembebasan queer ketika masih banyak pekerja queer diupah rendah meski pernikahan sejenis telah diakui. Tidak ada pembebasan queer ketika seorang presiden homoseksual memerintahkan membantai perempuan dan anak-anak di Timur tengah. 

Perjuangan kita berakar pada solidaritas antar kelas-kelas tertindas. Kita harus jeli melihat garis pembeda, ada saatnya queer kelas pekerja harus berhadap-hadapan dengan queer dari kelas penindas, dimanakah kalian akan berpihak?

“Kita adalah aneh yang dibakar di sepanjang zaman karenanya. Queer kelas pekerja, pelajar, pengangguran, pekerja seks, pengamen.

Kalau hidup, dengan berani

Kalau mati, dengan Berani!”

  • Manifesto Aliansi Bangga Nyawiji 2024

Referensi:

  1. Crick, Paul. (2024). “Fears of LGBTQI+ rights erosion in multiple Western countries.” Diakses dari https://ibanet.org/fears-of-erosion-of-lgbtqi-rights-in-multiple-western-countries
  2. Walsh, Alistair. (2019). “Iran defends execution of gay people.” Diakses dari https://dw.com/en/iran-defends-execution-of-gay-people/a-49144899

Tentang Penulis:

Iman Amirullah

Iman atau biasa dipanggil Kim merupakan seorang queer pecinta kopi dan kucing, terutama kucing hitam.

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Disanjung Tidak Terbang, Dicaci Tidak Jatuh

Marsinahfm, Jakarta – Selain lincah dalam meramu perlawanan dijalanan, pegiat serikat buruh dituntut untuk mampu berunding dengan elegan di hadapan pengusaha, birokrasi, atau bahkan preman.

Jalan Terjal Mencari Keadilan

Sore yang cerah, angin yang semilir, gemerisik suara dedaunan menemani setiap langkah kakiku Di setiap putaran, beberapa ekor kucing gembul tampak rebah bersantai di bawah

PROGRAM SIARAN

  ‘Cermin’, berupa dua kali talkshow interaktif dan sekali diskusi publik, tentang diri dan persoalan perempuan. Dipandu oleh buruh perempuan yang aktif bertanya sebagaimana pertanyaan