Bertahun-tahun silam, pertama kalinya saya mengenal Mirabal Bersaudara melalui sebuah film yang dibintangi Salma Hayek dengan judul yang serupa dengan novelnya “In the Time of The Butterflies”, karya Julia Alvarez. Kebetulan saya belum berkesempatan membaca novelnya dan di masa mendatang semoga saya bisa jadi penikmat novel ini.
Sosok Mirabal bersaudara, terutama Minerva cukup membuat saya tersentuh, bila tidak dikatakan kagum. Seorang gadis muda di usia 20 tahun yang matanya penuh binar semangat tentang perubahan, demokrasi, kesetaraan. Ia melahap banyak buku literatur kiri dan hidup membawanya mendekat pada arus perubahan itu sendiri. Cinta pertama yang memperkenalkannya pada gairah merobohkan kediktatoran Trujillio turut mendorong semangat pemberontakan di relung jiwanya.
Dengan kecerdasan yang dipunya, Minerva menjadi mahasiswa fakultas hukum perempuan pertama di Universitas Santo Domingo yang ternama. Di kampus, ia terlibat dalam gerakan bawah tanah menggulingkan Trujillo, penguasa diktator Republik Dominika.
Momen paling menarik dan inspiratif bagi saya adalah tentang keberanian Minerva Mirabal melawan pelecehan seksual yang dilakukan Trujilo, sang presiden diktator. Keberanian yang belum tentu saya miliki. Menentang seorang presiden sebagai pelaku pelecehan seksual adalah keberanian berlipat mengingat relasi kuasa yang dimiliki sang diktator. Konsekuensi yang dihadapi tidak kecil, berbagai ancaman dan intimidasi dari harga diri seorang presiden yang terluka terus berdatangan ke keluarga Mirabal. Bagaimana sosok perempuan muda yang cerdas dan berani telah mengkhianati kultur kekuasaan yang dibangun tentang imaji seorang perempuan yaitu menurut, lemah, menunduk dan patuh. Minerva Mirabal telah merusak kultur yang dibangun Trujillo, menyinggung harga dirinya sebagai penguasa yang tidak boleh diganggu gugat. Minerva berbeda, ia tidak tunduk.
Gadis yang berapi -api itu berhasil melawan rasa takut dan menularkan keberanian pada saudari-saudarinya. Di bawah ancaman dan intimidasi, Minerva bahkan berhasil melanjutkan studi sesuai apa yang ia impikan. Trujillo tidak diam, selepas lulus kuliah dengan nilai terbaik, penguasa tunggal itu tidak membolehkan Minerva berpraktek sebagai pengacara. Hukuman yang teramat pedih bagi seorang Minerva yang punya kemauan kuat membela yang lemah dengan menjadi pengacara.
Minerva layaknya kupu-kupu yang memberontak meski sayapnya telah patah. Ia dan saudari beserta suami dan ipar -iparnya keluar masuk penjara di bawah kekuasaan Trujillo, karena tidak berhenti dari aktivitas mengorganisir perlawanan di kampus-kampus hingga perkebunan. Mirabal bersaudara (Minerva, Maria dan Patria) membuat Trujillo berang dan memenjarakan mereka. Suatu hari berkat desakan dari internasional mereka dibebaskan dari penjara, dalam perjalanan dari penjara, ketiganya dibinasakan dengan cara keji. Ketiganya tewas dan direkayasa menjadi sebuah kecelakaan mobil.
Binasanya kupu – kupu pemberontak tidak memadamkan api perlawanan. Sebaliknya, ia mengobarkan api perlawanan yang sekian lama tertekan dalam sekam. Jutaan rakyat turun ke jalan dan mengumandangkan Viva Las Mariposas! Viva Las Mariposas!
Di bulan ke enam paska tewasnya tiga bersaudara Mirabal, kediktatoran Trujillo tumbang. Kekuasaan yang selama 30 tahun menculik dan mengeksekusi lebih dari 30 ribu aktivis itu akhirnya jatuh oleh gelombang kemarahan rakyat yang sekian lama ditindas.
Sejak itu, hari kematian Mirabal bersaudara pada 25 November 1960 ditetapkan PBB sebagai Hari Anti Kekerasan Pada Perempuan. Ia menjadi pengingat bagi setiap manusia di berbagai bangsa bahwa kekerasan kerap kali digunakan sebagai formula ampuh untuk menundukkan perempuan. Perempuan, menjadi sasaran kekerasan setiap penaklukan dibutuhkan demi menegakkan kekuasaan. Di setiap konflik politik, penundukan perempuan selalu menjadi strategi menebar teror dan ketakutan.
Hingga kini, setiap Hari Anti Kekerasan Pada Perempuan datang, memori juang tentang Minerva dan saudarinya yang pemberani kembali diingat, agar inspirasinya selalu hadir bagi setiap generasi. Agar dunia tidak berhenti menyuarakan perlawanan pada kekerasan sistematis yang mengungkung perempuan, mulai dari bilik rumah, dinding pabrik, hiruk pikuknya jalanan kota, hijaunya pedesaan, hingga megahnya istana kepresidenan dan senayan. Kekerasan itu hadir di setiap ruang dengan ragam bentuk mulai dari perkosaan, pemiskinan, pun dalam bentuk peminggiran kaum perempuan dalam ruang – ruang keputusan.
Bagi saya pribadi, Mirabal bersaudara menempati posisi yang istimewa. Ia indah, penuh keberanian dan gairah mengepakkan sayap. Meski, rasa takut terus mengintip di setiap sudut.