9 Mei 1993, Jenasah Marsinah Ditemukan
Hari itu tepatnya pada 9 Mei 1993, jasad Marsinah ditemukan tergeletak di sebuah gubuk di pinggir sawah dekat hujan jati, di dusun Jegong, desa Wilangan, Kabupaten Nganjuk, sekitar seratus kilometer dari pondokan Marsinah di pemukiman buruh, disa Siring, Porong. Jasad Marsinah menyisakan luka di sekujur tubuhnya, panggul vaginanya hancur dan isi perutnya penuh dengan darah. Jasad Marsinah menjadi saksi bisu atas segala siksaan yang dihujamkan ke Marsinah hingga ia meregang nyawa.
Pencarian data, penyelidikan dari pihak kepolisian, tim investigasi yang dibentuk para aktivis dan praktisi hukum tidak sanggup menemukan pelaku pembunuhan yang sebenarnya. Sekarang, 25 tahun sudah berlalu, kematiannya tetap menjadi misteri. Penguasa militer pusat bahkan sempat menyusun skenario peradilan untuk menyelubungi kasus Marsinah. Kepolisian setempat pun juga menyidik para tersangka palsu sebagai bagian dari drama peradilan para penguasa. Skenario peradilan palsu ini berhasil digagalkan ketika Mahkamah Agung menyatakan para tersangka bebas karena tidak terbukti melakukan pembunuhan terhadap Marsinah. Setelah itu, kasusnya tidak jua diusut oleh aparat hukum di negeri ini. Kuburan Marsinah yang sempat dibongkar beberapa kali untuk penyelidikan tidak membuahkan hasil. Membongkar kasus Marsinah sama halnya dengan memblejeti para penguasa, elit politik, aparat hukum, dan pemodal, sehingga tak heran bila sulit dilakukan. Sama halnya dengan nasib berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia lainnya di negeri ini.
Dan, Marsinah tidak pernah habis sebagai sebuah inspirasi. Aktifis feminis memperjuangkannya sebagai korban kekerasan perempuan, para seniman mengabadikannya dalam sebuah lagu dan puisi, panggung teater, hingga seni rupa. Sementara para aktivis Hak Asasi Manusia menganugerahkan kepadanya penghargaan Yap Thiam Hien atas keberanian dan kegigihannya memperjuangkan hak buruh. Keluarga Marsinah sendiri dengan tabah menjalani cobaan ini dengan tabah.
Siapa Marsinah?
Marsinah adalah gadis biasa dari kampung yang mau mengadu nasib di kota untuk memperbaiki hidup keluarga sebagai baktinya kepada orang tua. Marsinah lahir dari keluarga yang bersahaja di desa Nglundo, kecamatan Sukomoro, kabupaten Nganjuk. Marsinah terlahir sebagai anak ke dua dari tiga bersaudara yang semuanya adalah perempuan. Kakaknya bernama Marsini sementara adiknya diberi nama Wijati dan kedua orang tuanya bernama Astin dan Sumini. Kala Marsinah berusia tiga tahun (ia lahir pada tahun 1968) dan adiknya masih berusia 40 hari. Ayahnya, Astin lalu menikah lagi dengan Sarini, yang berasal dari desa lain. Sejak ayahnya menikah lagi itulah, Marsinah diasuh oleh sang nenek, Paerah, yang tinggal bersama paman dan bibinya.
Marsinah adalah gadis biasa dengan masa kecil yang biasa pula. Sebagai anak perempuan dari kalangan menengah pedesaan, Marsinah tidak terlalu miskin juga tidak kaya. Namun, Marsinah, seperti anak pada umumnya di negeri dunia ke tiga, bekerja di usia dini yang membuatnya tampak lebih dewasa dari pada usia yang sebenarnya. Menjadi pekerja anak, adalah lazim di Indonesia baik bekerja di rumah maupun di pabrik sepulang dari sekolah. Membantu sang nenek menjual gabah dan jagung adalah rutinitas bagi Marsinah, dengan upah ala kadarnya. Tiap hari Marsinah mengangkut gabah dengan sepedanya dari sawah ke rumah pembeli gabah.
Di hadapan teman- teman sekolah dan guurnya, di SD Negeri Nglundo, Marsinah adalah murid biasa dengan nilai yang biasa- biasa saja. Hanya, Marsinah memliki minat baca tinggi, dan rajin belajar. Selain itu, ia memiliki sikap kritis dan bertanggung jawab. Hampir semua tugas sekolah selalu ia selesaikan dengan kerja keras di tengah pekerjaannya. Apabila ia tidak paham atas penjelasan gurunya, Marsinah tidak segan bertanya. Setelah naik kelas enam, Marsinah pindah sekolah ke SD Negeri Karangsemi dan melanjutkan ke SMP Negeri lima Nganjuk pada tahun ajaran 1981/1982. Seperti murid lainnya, Marsinah juga berusaha untuk masuk ke SMA Negeri. Namun, upaya Marsinah ini ternyata gagal, yang kemudian akhirnya ia memilih masuk ke SMA Muhamadiyah dengan bantuan biaya dari pamannya yang lain. Di sekolah menengah pertama inilah, minat baca Marsinah meningkat. Di waktu senggang, Marsinah lebih memilih ke perpustakaan dari pada bermain bersama teman sebayanya. Di sinilah, Marsinah menemukan mimpinya yakni belajar di Fakultas Hukum. Namun apa dinyana, mimpi itu dipaksa kandas oleh situasi ekonomi yang tidak memungkinkan.
Akhirnya, Marsinah tidak memiliki pilihan lain selain bekerja di kota besar, seperti teman-temannya yang lain. Pada tahun 1989, Marsinah berangkat ke Surabaya dan menumpang tinggal di rumah kakaknya, Marsini yang sudah berkeluarga. Setelah berulang kali melamar kerja di berbagai perusahaan, akhirnya Marsinah diterima bekerja di sebuah pabrik plastik bernama SKW, di kawasan industri Rungkut. Namun, upah yang diterima Marsinah jauh dari cukup. Guna menambah penghasilan, Marsinah lalu berdagang nasi bungkus di sekitar perusahaan dengan harga Rp 150 per bungkus. Baru pada tahun 1990, Marsinah bekerja di PT. Catur Putra Surya , Rungkut. Di kawasan industri ini pula ia sempat bekerja di sebuah perusahaan pengemasan barang. Kehidupan Marsinah, adalah cerminan kehidupan buruh pada umumnya di era 1980an.
Marsinah Dibunuh Karena Berani
Bekerja di pabrik pembuatan arloji Rungkut, Surabaya, Marsinah sempat bersama kawan-kawannya menuntut berdirinya unit serikat pekerja formal (SPSI). Namun, tentu saja langkah ini tidak disukai pihak perusahaan, hingga akhirnya Marsinah dimutasi oleh pihak manajemen ke cabang pabrik PT.CPS di Porong, Sidoarjo di awal tahun 1992. Di sana, ia tinggal di kosan buruh, desa Siring, dan bekerja sebagai operator mesin bagian injeksi. Ia diupah sebesar Rp 1.700 dan uang hadir sebesar Rp 550 per hari. Di pabrik ini, Marsinah tidak terlibat dalam kepengurusan SPSI naun secara informal ia sering terlibat dalam diskusi-diskusi perburuhan. Marsinah pun memanfaatkan waktu luangnya untuk mengikuti kursus komputer dan bahasa Inggris. Dengan kurus komputer, Marsinah belajar menambah pengetahuannya.
Suatu hari, pada pertengahan April 1993, buruh PT. CPS, Porong, Sidoarjo mengetahui informasi bahwa pemerintah dalam hal ini Gubernur Jawa Timur telah menetapkan kenaikan upah buruh sebesar 20% dari upah pokok. Tentu saja buruh senang mendengarnya. Sayang, pihak perusahaan tidak bersedia melaksanakan keputusan pemerintah tersebut. Hal ini, pada akhirnya memicu keresahan buruh PT. CPS yang kemudian bersepakat melakukan pemogokan.
Keberanian buruh PT. CPS melakukan pemogokan tentu tidak datang dari langit. Kala itu, di era 1980an, pemogokan sudah menjadi metode untuk menguatkan posisi perundingan. Akibat kebijakan upah murah pemerintah dan industrialisasi berorientasi ekspor, perselisihan industri meluas. Jumlah pemogokan meningkat luar biasa di awal tahun 90an meski masih bersifat spontan dan tidak terorganisir.
Pada 3 – 4 Mei 1993 inilah, buruh PT. CPS melakukan aksi mogok dan berujung pada pembunuhan Marsinah. Dalam pemogokan itu, aktivitas perundingan juga berlangsung. Perwakilan buruh berjumlah 15 orang berhasil melakukan perundingan dengan pihak manajemen. Marsinah dalam hal ini bukan pula salah satu wakil buruh, ia hanyalah peserta aksi biasa yang peduli atas hak buruh. Pada pemogokan hari ke dua, yaitu 4 Mei 1993, perundingan berlangsung tanpa melibatkan pihak perusahaan dan justru melibatkan Kanwil Sospol Sidoarjo dan jajaran Muspika setempat termasuk wakapolsek dan Danramil Sidoarjo. Di hari kedua pemogokan ini, Marsinah justru masuk kerja seperti biasa dan tidak ikut mogok. Sementara itu, dari pagi para buruh yang dituding sebagai biang kerok pemogokan dipanggil oleh Kodim dan diinterogasi di Makodim Sidoarjo.
Di sisi lain, perundingan yang tidak melibatkan perusahaan tersebut berjalan lancar, meski hasilnya tidak terlalu memuaskan karena ada yang dikompromikan. Salah satu hasil yang dikompromikan adalah dibubarkannya SPSI PT. CPS. Hasil ini tentu saja merugikan buruh karena merupakan salah satu bentuk pembrangusan serikat. Tuntutan lainnya seperti upah sesuai Upah Minimum Regional, perhitungan upah lembur, cuti haid dan cuti hamil dipenuhi oleh pihak perusahaan.
Marsinah, Korban Politik Orde Baru
Di era orde baru, adalah hal lazim bila militer ikut campur dalam perselisihan industri. Mereka bukanlah aparat yang disewa perusahaan untuk menghadapi buruh, namun memang memiliki keleluasaan untuk ikut campur. Maklum di era orde baru, militer memegang kekuasaan. Tak heran bila kemudian militer pun merasa berhak memanggil beberapa pengurus SPSI PT. CPS untuk melakukan interogasi.
Pada 4 Mei 1993, 13 buruh PT. CPS yang dituding sebagai aktor utama pemogokan dipanggil penguasa militer setempat agar menghadap Pasi Intel Kodim 0816, Sidoarjo pada esok hari. Pada malam harinya, ketika mengetahui bahwa teman-temannya esok hari akan menghadap ke pihak Kodim Sidoarjo, Marsinah membuat beberapa catatan tertulis untuk teman- temannya sebagai petunjuk jawaban ketika ditanyai Kodim. Kepada teman-temannya, Marsinah menyampaikan akan membawa persoalan ini ke pamannya di kejaksaan surabaya bila mendapat ancaman dari kodim.
Rabu 5 Mei 1993, 13 buruh PT. CPS akhirnya memenuhi panggilan Kodim di markas Kodim Sidoarjo. Dalam panggilan ini, mereka dipaksa menandatangani surat pengunduran diri di atas kertas bermeterai. Karena tak sanggup menghadapi intimidasi, akhirnya 13 buruh tersebut menandatangani surat pengunduran diri tersebut dan menerima uang pesangon serta uang kebijaksanaan. Namun baru setelah Maghrib, mereka menerima pembagian uang pesangon dan uang jasa tersebut. Dalam pertemuan itu, terlontar juga pernyataan bahwa bukan pihak pengusaha yang memiliki kemauan memecat, tapi kemauan Kodim.
Baru keesokan paginya, yaitu Kamis, 6 Mei 1993, Marsinah bersua dengan salah satu temannya dan meminta informasi perkembangan pertemuan dengan Kodim. Di kosnya, Marsinah mendapat kabar bahwa 13 temannya telah menerima pesangon dan menandatangani surat pengunduran diri. Sorenya, Marsinah mengcopy surat pengunduran diri tersebut dan berencana membagikannya ke buruh PT. CPS. Awalnya surat itu hendak disampaikan ke Ketua SPSI PT. CPS namun tidak jadi karena gagal menemukan rumah Ketua SPSI PT. CPS. Akhirnya, surat itu disampaikannya lewat satpam perusahaan.
Karena didesak oleh rasa ingin tahu yang tinggi akan nasib 13 temannya itu, sepulang mengantarkan surat, Marsinah justru kembali ke kos temannya. Menjelang Maghrib, bersama 4 temannya, ia menyusul ke Kodim untuk menanyakan kabar 13 temannya itu. Saat itu, 3 temannya memakai kendaraan umum, sementara Marsinah naik sepeda motor bersama satu temannya. Marsinah dan temannya sendiri bahkan sempat tersesat sebelum akhirnya menemukan kantor Kodim Sidoarjo. Dalam perjalanan pulang naik sepeda motor itulah, Marsinah sempat mendatangi beberapa temannya dan membagi kopi surat pengunduran diri 13 temannya itu.
Di perempatan desa Siring, Marsinah bertemu 4 dari 13 temannya tersebut. Karena ingin mengetahui lebih jelas apa yang telah telah terjadi, Marsinah mengajak dua diantaranya untuk berdiskusi di teras kosnya. Di sinilah, Marsinah menjadi terkejut mengetahui 13 temannya dipaksa menandatangani surat pengunduran diri itu dan telah diPHK bukan oleh perusahaan tapi Makodim. Marsinah marah dan menyatakan menolak pemecatan tersebut dan menegaskan rencananya untuk mengadukan kejadian itu ke Pamannya yang bekerja di Kejaksaan Surabaya.
Setelah teman-temannya pulang dari kosnya, Marsinah kemudian bergegas pergi. Kepada ibu kosnya, ia bilang hendak ke rumah temannya. Terakhir ia pergi, Marsinah mengenakan kaos putih, rok coklat dan bersandal jepit. Kemudian baru diketahui bahwa Marsinah sama sekali tidak bertemu temannya itu karena mendapat giliran kerja shift malam.
Dalam perjalanan pulang ke kosnya Marsinah sempat bertemu dengan dua temannya yang lain dan mengajak mereka ke kosnya untuk meminta Surat Perjanjian Bersama hasil perundingan bipartit pada 4 Mei lalu. Dalam surat tersebut, perusahaan berjanji tidak akan mencari kesalahan buruh dengan bunyi “Sehubungan dengan unjuk rasa ini (pemogokan kerja), pengusaha dimohon untuk tidak mencari-cari kesalahan karyawan”. Malam itu, Rabu 5 Mei 1993 adalah malam terakhir Marsinah terlihat oleh teman-temannya. Sepengetahuan teman- temannya, ia sempat mengajak temannya untuk membeli makanan namun karena sudah larut malam, yakni sekitar jam sepuluh malam, kedua temannya itu menolak. Mereka berpisah di bawah pohon Mangga, dekat Tugu Kuning, Desa Siring.
Sejak saat itulah ia ‘hilang’. Tak ada yang mengetahui kemana Marsinah pergi. Mungkin ia pergi makan, atau bertemu seseorang, yang mungkin ‘menculiknya’. Atau mungkin ia kembali ke Makodim Sidoarjo? Yang bisa dipastikan, ia tidak kembali ke pondokannya malam itu. Ia tidak pergi ke pabrik. Ia juga tidak berkunjung ke rumah pamannya di Surabaya.
Tidak ada yang tahu jawabnya. Tak satupun pertanyaan di atas terjawab di pengadilan sesat yang direkayasa. Majikannya, pemilik PT CPS, para menejer perusahaan, bagian personalia, kepala bagian mesin, dan seorang satpam dan seorang supir perusahaan disekap dan disiksa Bakorstranasda selama 19 hari, di bulan Oktober 1993. Mereka dituduh bersekongkol memperkosa, menganiaya dan kemudian membunuh Marsinah. Bersama Danramil Porong, mereka diadili dan diputus bersalah oleh Pengadilan Militer dan Pengadilan Negeri Sidoarjo, dan diperkuat Pengadilan Tinggir Surabaya setahun kemudian. Meskipun dua tahun kemudian, 3 Mei 1995, mereka divonis bebas Mahkamah Agung, tapi ini hanya menunjukkan betapa sistem peradilan dan hukum kita bukan tempat untuk menegakkan keadilan.
Diambil dari berbagai sumber