Perempuan desa, usia belia, mengadu nasib ke kota, ke Rungkut, lalu ke Porong Sidoarjo. Perempuan muda yang penuh semangat untuk memperbaiki kondisi ekonomi, karena desa belumlah menjanjikan untuk kemajuan diri. Perempuan pemberani, berjiwa solidaritas tinggi terhadap teman-temannya, hingga ajal merenggutnya. Perempuan itu adalah “Marsinah”.
Marsinah, seorang buruh pabrik arloji bersama teman-temannya yang tulus dan berani, menyatakan berontak atas upah murah dan sistem kerja yang tidak adil. Cuti haid dilanggar, cuti melahirkan tak diberi. Mereka yakin bahwa kekuatan buruh adalah persatuan, dan keserakahan harus dihentikan. Maka “Mogok” menjadi pilihan untuk adu kekuatan dengan pengusaha.
Kemarahan Marsinah memuncak, ketika ketiga belas temannya dipaksa mengundurkan diri pasca berunding di Kodim. Ia menyatakan protes dan minta pertanggungjawaban Kodim untuk mengembalikan teman-temannya. Namun, hari itu adalah hari terakhir Marsinah terlihat, 5 Mei 1993.
Marsinah dihilangkan paksa, mayatnya ditemukan 3 hari kemudian, di dusun Jegong – Wilangan Nganjuk. Tubuh Marsinah terkoyak, tubuhnya penuh luka, tulang panggul hancur berlumuran darah. Ya darah Perempuan pejuang telah ditumpahkan paksa, di bumi Pertiwi.
Saya marah, kami marah. Orde baru telah meluluhlantakkan tubuh Marsinah, untuk menjadi peringatan bahwa perempuan tidak boleh melakukan perlawanan.
Oohhh tidak !! Jasad Marsinah boleh saja hancur, tapi jiwa juang Marsinah terpatri pada Marsinah-Marsinah baru. Marsinah ada di pabrik-pabrik, di lorong-lorong Juang di tempat kerja.
Marsinah mewujud pada jiwa-jiwa yang memberontak atas ketidakadilan, jiwa-jiwa yang bertindak demi tegaknya demokrasi dan Hak Asasi Manusia.
Marsinah adalah api, yang tetap menjadi penerang bagi jiwa-jiwa hakiki.
Jakarta, 5 Mei 2018
Jumisih