Search
Close this search box.

Ketika Perlawanan Bukan Sekedar Untuk Menang (3)

Oleh Yohana Sudarsono 

Baca juga http://dev.marsinah.id/ketika-perlawanan-bukan-sekedar-untuk-menang/

dan http://dev.marsinah.id/ketika-perlawanan-bukan-sekedar-untuk-menang-2/

Melawan Sekolah Internasional Lokal  

Sesudah dua tahun belajar tentang hukum ketenagakerjaan, menjadi relawan membantu kampanye kawan-kawan serikat buruh, pada tahun 2012 saya memutuskan bekerja di sebuah sekolah internasional lokal sebagai tenaga pendidik. Dengan berbekal pengetahuan tentang UU Ketenagakerjaan dan Pengalaman berorganisasi, baru saja saya masuk, saya telah menemui sebuah pelanggaran aturan oleh lembaga pendidikan ini.  Pada saat saya akan menandatangani kontrak kerja, dalam klausul kontrak terdapat pasal bahwa pekerja harus menyerahkan ijzah asli yang akan disimpan oleh perusahaan atau pekerja harus membayarkan deposit 10% gaji setiap bulan selama 10bulan yang (berdasar janji verbalnya) yang akan dikembalikan jika pekerja keluar atau menjadi pegawai tetap. Sesudah menanyakan apakah klausul tersebut bisa dipilih, yang kemudian dijawab boleh, saya menandatangani kontrak tersebut. Tetapi ternyata itu hanyalah sebuah jebakan, karena sesudah saya tandatangani, pihak HRD menyatakan saya harus menyerahkan ijazah asli saya, dan jika saya menolak, saya harus membayar pinalti.

Singkatnya, akhirnya saya menyerahkan ijazah asli saya. Kemudian saya memulai pekerjaan di sekolah itu sebagai Guru. Belum lama saya bekerja, saya banyak mendengar cerita-cerita seram tentang managemen sekolah tersebut yang memperlakukan pekerjanya dengan sewenang-wenang. Sering terjadi intimidasi terhadap pekerja yang kritis,  pemaksaan dengan intimidasi terhadap pekerja lama untuk mengundurkan diri sehingga perusahaan bisa menghindar dari kewajiban membayar pesangon, guru-guru perempuan yang cuti melahirkan upahnya tidak dibayarkan penuh, bahkan tidak dibayar sama sekali, tunjangan tetap yang dipotong setiap tahun untuk menaikkan upah pokok, para pekerja di unit lain tidak menerima upah lembur meskipun mereka harus bekerja pada saat libur atau di luar jam kantor, dan yang paling kentara adalah tidak didaftarkannya pekerja baru sebagai peserta jamsostek (ada saat itu). Sementara, mereka yang terdaftarpun upahnya tidak dilaporkan sesuai upah sesungguhnya sehingga kewajiban perusahaan menjadi sangat kecil. Misalnya, pekerja dengan upah 3-5jt  hanya dilaporkan ke jamsostek 1.5jt, sehingga hitungan dana pensiun menjadi sangat kecil. Praktek-praktek pelanggaran ini dilanggengkan dengan fakta bahwa sekolah ini di bawah pengelolaan perusahaan berbentuk PT, bukan yayasan.

Mengetahui kondisi tersebut, saya mulai sering melakukan diskusi dengan beberapa teman yang merasa tidak  nyaman dengan kondisi tersebut. Saya mulai memperkenalkan serikat, dan langkah-langkah apa yang bisa kita lakukan, dan dasar hukum dari langkah-langkah tersebut, dan aturan hukum yang sudah dilanggar oleh perusahaan. Di tengah proses tersebut, saya sempat mengajukan permintaan meminjam ijazah saya untuk mengajukan beasiswa S2. Tetapi pihak HRD meminta saya membayar 2.5jt untuk jaminan. Tetapi ketika saya sepakati uang tersebut akan dipotong dari upah saya, mereka menolak memberikan ijazah tersebut. Sementara itu teman-teman masih ragu-ragu untuk membentuk serikat. Singkatnya, pada akhirnya saya melaporkan pelanggaran tersebut ke Dinas Ketenagakerjaan Tangerang dan kasuspun menjadi besar. Di tengah proses itu, dibantu kawan saya, Khamid Istakhori, teman-teman akhirnya membentuk Serikat Pekerja. Ketika kasus menjadi besar, pihak perusahaan memanggil saya, menanyakan motivasi saya melaporkan kasus tersebut ke Disnaker, lalu meminta saya untuk mengundurkan diri dengan kompensasi. Pada pertemuan itu saya sampaikan bahwa niat saya hanya meluruskan yang bengkok. Saya juga sampaikan bahwa sebagai sebuah lembaga pendidikan Katholik, betapa memalukannya melakukan pelanggaran hukum, maling hak pekerjanya, dan sebagai orang Katolik saya punya kewajiban untuk tidak diam melihat ini di depan mata. Mendengar itu, mereka tertawa. Lalu mereka menyodorkan surat PHK untuk saya tandatangani. Saya menolak menandatangani surat PHK tersebut, saya katakan, PHK itu hak perusahaan, tetapi ada mekanismenya. Kita bisa ke pengadilan nanti. Lalu mereka mengusir saya tanpa surat PHK, menahan ijazah asli dan upah saya dan melarang saya memasuki kompleks sekolah tersebut, ketika keesokan harinya saya masuk seperti biasa, saya ditahan oleh satpam untuk tidak masuk, kemudian guru-guru lain diminta mencegah anak-anak mendatangi saya yang saat itu duduk di luar sekolah. Kemudian mereka mengancam akan mengerahkan jawara banten untuk mengusir saya kalau saya masih datang ke sekolah.

***

Maka kasus ini pun bergulir sampai ke Disnaker, Kemenaker, sampai ke Majelis Pendidikan Katolik Keuskupan Agung Jakarta. Meskipun hasilnya bisa ditebak, saya tidak berencana untuk berhenti. Selagi saya di luar, saya mendesak Pejabat Disnaker untuk memeriksa pelanggaran-pelanggaran sesuai laporan saya, dan hasilnya, mereka menyatakan telah terjadi pelanggaran jamsostek dan mendesak perusahaan membayarkan jamsostek sesuai Peraturan yang ada, mereka juga menyatakan bahwa sistem kontrak di perusahaan itu salah, sehingga Guru-guru dan pekerja inti lain secara otomatis demi hukum menjadi pekerja tetap.

Sementara itu, intimidasi terhadap teman-teman di dalam juga semakin keras. Perusahaan mencari orang-orang yang menjadi anggota serikat, sehingga teman-teman yang baru membentuk serikat ketakutan dan tiarap. Di luar, saya terus mendesak pihak-pihak otoritas untuk menindak managemen sekolah ini.  Pada tahun 2013, saya melaporkan managemen sekolah ini ke Polisi dengan dugaan penggelapan atas penahanan ijazah asli saya. Laporan itu bergulir sampai kemudian pihak perusahaan menyerah dan mengembalikan ijazah saya sesudah 2 tahun mereka tahan. Sementara masalah ketenagakerjaan, masih menunggu proses selanjutnya.

Begitulah perlawanan itu terjadi…. Apa yang saya dapatkan dari perjalanan perlawanan ini? Materi? Sama sekali tidak. Tetapi bagi saya, perlawanan ini hanyalah upaya selemah-lemahnya iman untuk menunjukkan kepada penindas bahwa mereka tidak bisa menindas semua orang dan lepas dari tanggungjawab. Akan selalu ada masa dimana mereka bertemu dengan orang yang tidak ingin di tindas yang mau melawan. Maka melawan itu penting dan harus. Untuk harga diri dan harga mati.

 

*Perlawanan itu hanyalah Upaya Selemah-lemahnya iman. Karena DIAM bukan pilihan. *

SELESAI

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Menilik arti kemerdekaan dari ilusi Kekerasan Simbolik

Saya memaknai langsung, bahwasannya narsisme pejabat di jalan dalam bentuk sampah visual, hingga lenggak-lenggok mereka dalam balutan baju adat berharga selangit tak lebih dari kekerasan simbolik negara yang terus-menerus mengiritasi. Kekerasan yang  tidak hanya merusak pandangan kita namun juga nurani kita. Bagaimana tidak, setiap perayaan demokrasi, direduksi menjadi ‘coblosan’. Rasanya kita dibuat mati rasa, dan mati nurani karena terus-menerus dibombardir dengan banyaknya laku narsis para calon yang mengaku akan mewakili suara kita di arena pemilihan umum.

Being Marsinah

Judul tulisan ini terinspirasi film “Being John Malkovitch.” Kayaknya dia aktor papan atas negeri manca ya? Kenapa juga saya tidak menuliskan tentang being Marsinah? Wanita

Berserikat adalah Kunci !!!

Oleh: Jumisih Langit biru, Adalah harapan, Akan terus ada, Seperti keyakinan, Seperti nyali, Seperti konsistensi, Ini, Adalah langit sore, Di atas kawasan industri. Di kawasan

Dangdut Asiik

Dangdut Asiik berupa program siaran entertainment yang memutarkan lagu dangdut request pendengar.Tiap Kamis jam  8 sampai 10 malam dan Minggu tiap jam 7 sampai 9