Jakarta, 18 Maret 2025 – Aliansi Perempuan Indonesia menyatakan sikap keras menolak revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang tengah dibahas secara kilat oleh DPR RI dan Pemerintah. Mereka memperingatkan bahwa revisi ini berpotensi menghidupkan kembali Dwifungsi ABRI, memicu pelanggaran HAM, dan mengulang tragedi femisida seperti yang pernah dialami Marsinah tiga dekade silam.
Dian Septi Trisnanti, aktivis Marsinah.ID dengan tegas menyatakan, “Revisi UU TNI ini adalah ancaman nyata terhadap demokrasi dan hak perempuan. Jika dibiarkan, negara sama saja membunuh Marsinah untuk kedua kalinya.”
Menurut Dian, pasal-pasal kontroversial dalam RUU TNI tersebut seperti pelemahan kontrol sipil atas militer (Pasal 47 ayat 2), keterlibatan militer dalam urusan keamanan domestik tanpa persetujuan parlemen (Pasal 7 ayat 2), serta pemberian izin militer memperoleh dana di luar APBN (Pasal 66 ayat 1), merupakan sinyal kuat kembalinya era militerisme Orde Baru yang penuh represi.
Aliansi mengingatkan bahwa revisi ini dilakukan dengan cara tertutup, terburu-buru, dan tanpa partisipasi masyarakat sipil. Mutiara Ika Pratiwi dari Perempuan Mahardhika mengingatkan bahwa situasi ini bukanlah persoalan sepele. “Kita bicara tentang sejarah berdarah bangsa ini. Pengalaman selama era Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, Papua, dan daerah lainnya, perempuan selalu menjadi korban kekerasan seksual sistematis sebagai alat kekuasaan militer,” jelasnya.
Hal senada diutarakan oleh Jumisih dari JALA PRT yang dengan lantang mengatakan, “Kami menolak keras revisi ini. Negara harus melindungi rakyatnya, bukan memberi ruang kepada kekuatan militer untuk kembali melakukan kekerasan terhadap perempuan. Jangan main-main dengan nyawa kami!”
Dhede dari Perhimpunan Jiwa Sehat pun turut menyampaikan, “Kita tidak boleh melupakan trauma kolektif akibat represi militer yang masih membekas hingga sekarang. Jangan biarkan generasi berikutnya mengalami hal yang sama hanya karena negara abai pada sejarah.”
Dalam sejarah Indonesia, femisida terhadap Marsinah menjadi simbol paling tragis dari kekerasan militer di bawah Dwifungsi ABRI. Aktivis perempuan ini dibunuh dan diperkosa akibat keberanian memperjuangkan hak buruh pada tahun 1993. Hingga kini, keadilan bagi Marsinah belum terpenuhi.
Aliansi Perempuan Indonesia menegaskan akan terus melakukan advokasi dan mengajak seluruh elemen masyarakat sipil untuk bersatu menolak revisi ini demi memastikan bahwa tragedi masa lalu tidak pernah terulang lagi.
“Mengembalikan Dwifungsi ABRI sama saja menggali kuburan bagi demokrasi dan hak asasi perempuan. Kita harus cegah sebelum terlambat,” pungkas Dian Septi.
