Buruh Perempuan Nike di Asia Masih Berjuang Mendapatkan Kembali Upah yang Dicuri
Jakarta, 23 Maret 2025 – Siti Nursyafitri, seorang buruh perempuan dari Serikat Pekerja Nasional yang bekerja menjahit pakaian untuk merek raksasa Nike di Indonesia, tak bisa melupakan masa pandemi. Saat itu, ia baru saja menjalani operasi caesar, namun tetap harus mencari cara untuk memberi makan bayinya yang baru lahir. Karena tak lagi menerima gaji, ia hanya bisa memberinya air putih alih-alih susu formula.
“Aku lihat iklan Nike di TV, isinya perempuan-perempuan atlet yang kuat. Tapi kami para pekerja yang menjahit baju mereka? Tak pernah ditampilkan. Padahal kualitas Nike datang dari tangan kami juga,” ujar Nursya dengan nada getir.
Cerita Nursya adalah satu dari ribuan kisah buruh perempuan di Asia yang menjadi korban “pencurian upah” oleh rantai pasok Nike. Hingga kini, lebih dari 4.500 pekerja di Kamboja dan Thailand masih menunggu pembayaran upah mereka sebesar $2,2 juta sejak tahun 2020.
Banyak dari mereka adalah perempuan, ibu rumah tangga, dan kepala keluarga.Dalam kampanye internasional bertajuk “Fight the Heist” (Lawan Pencurian Upah), Asia Floor Wage Alliance (AFWA) dan Global Labor Justice (GLJ) menyerukan kepada Nike agar membayar upah yang tertunda, memperbaiki kondisi kerja, dan menghormati hak-hak buruh di seluruh rantai pasoknya. Bahkan lebih dari 1.000 buruh tampil menunjukkan wajah mereka dalam petisi foto yang menyentuh, membawa pesan: “Do you see us now, Nike?”Ratna Tigga, aktivis buruh dari Bangladesh, mengatakan:
“Saya punya anak perempuan berusia enam tahun. Saya ingin saat dia dewasa dan bekerja nanti, perusahaan seperti Nike sudah berubah jadi tempat yang adil bagi perempuan.”
Kampanye ini tidak hanya dilakukan di Asia. Di Oregon, Amerika Serikat—markas besar Nike—para mahasiswa dan serikat pekerja juga menyoroti bagaimana kekayaan dari pajak yang dihindari dan upah buruh yang tidak dibayar justru digunakan untuk membangun stadion mewah dan paten-paten ilmiah demi keuntungan Nike.
Swasthika Arulingam dari Sri Lanka, Presiden Serikat Pekerja Komersial dan Industri, menegaskan: “Kita tidak bisa melawan perusahaan sebesar Nike sendirian, maka kita bersatu lintas negara dan wilayah. Kita lawan bersama-sama.”
Perlawanan ini bukan hanya tentang uang. Ini tentang harga diri. Tentang bagaimana wajah dan suara buruh perempuan—yang selama ini tersembunyi di balik label merek besar—akhirnya muncul ke permukaan. Tentang bagaimana kita semua, terutama perempuan muda, punya hak untuk diakui, dihargai, dan dibayar layak atas kerja kita.
—Marsinah.ID mendukung perjuangan buruh perempuan di seluruh Asia untuk melawan ketidakadilan dan pencurian upah. Karena yang menjahit merek dunia itu bukan mesin, tapi tangan-tangan perempuan tangguh seperti kamuJika kamu bekerja di sektor garmen dan mengalami hal serupa, suarakan ceritamu ke redaksi kami karena suaramu penting.