Search
Close this search box.

Hapuskan Upah Padat Karya: Stop Upah Murah!

Mari Begerak Hapus Upah Padat Karya

Janji Upah Layak, Kerja Layak, dan Hidup Layak dari Presiden Joko Widodo adalah ilusi. Upah buruh ditekan ke bawah dengan PP Pengupahan, dan terus ditekan dengan alasan Upah Padat Karya.

Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Juli membenarkan tindakan kriminal pengusaha untuk membayar upah di bawah UMP. Pemerintah mendorong keluarnya peraturan Upah Padat Karya yang lebih rendah dari UMP.

Di Jawa Barat, selisihnya berkisar Rp 367 hingga Rp 623 ribu lebih rendah ketimbang upah minimum. Di Purwakarta contohnya, jika buruh umumnya menerima UMP 3,1 juta, buruh garmen hanya menerima Rp 2,5 juta.

Bukan tidak mungkin, kebijakan upah padat karya melebar ke provinsi-provinsi lain, termasuk DKI Jakarta. Selain menggunakan alasan sektor, upah di bawah UMP juga bisa berdalihkan lokasi. Seperti Upah Umum Pedesaan di Bojonegoro, yang 500 ribu lebih rendah ketimbang UMK.

Jika upah padat karya dibiarkan, alasan-alasan mengada-ada lain sangat mungkin muncul untuk terus menekan upah buruh. Alasan ini bisa mengambil bentuk alibi berupa lokasi, sektor, kondisi ekonomi atau apapun. Buruh dipaksa terus berkorban untuk kemakmuran dan laba pengusaha. Padahal, buruh juga merupakan rakyat Indonesia yang berhak mendapatkan hidup layak dan kesejahteraan.

Kami menegaskan bahwa tindakan pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk membenarkan pembayaran upah di bawah minimum adalah tindak pemiskinan secara sistematis. Upah minimum sendiri adalah upah yang hanya mencukupi untuk kebutuhan minimum bagi lajang. Sementara, seringkali buruh berkeluargapun mendapatkan upah dengan standar minimum ini.

Mengizinkan upah di bawah UMP berarti membiarkan rakyat miskin semakin tidak mampu memenuhi kebutuhannya. Buruh dan keluarganya semakin jauh dari akses untuk memperbaiki kesejahteraan. Akses seperti pendidikan dan kesehatan semakin tidak tegapai.

Upah rendah juga mematikan ekonomi rakyat. Buruh tidak lagi punya uang untuk membeli produk-produk UKM. Membatasi belanja di toko-toko tetangga. Ini berimbas pada rakyat secara umum.

Pemerintah memberi payung untuk perbuatan kriminal dengan menerbitkan kebijakan tentang Upah Padat Karya. Pasal 90 Undang-undang 13/2003 tentang Ketenagakerjaan mengganjar pidana 1-4 tahun dan/atau denda hingga 400 juta bagi pengusaha yang membayar di bawah upah minimum.

Untuk itu, kami mengajak masayrakat untuk terus menyerukan penolakan terhadap upah padat karya dan segala bentuk pembenaran pada pembayaran upah di bawah upah minimum.

Anda bisa terlibat mendukung buruh menolak kebijakan upah padat karya dengan membagikan menyebarkannya melalui media sosial, whatsapp group, dsb.

Tidak hanya itu, Anda dapat menandatangani petisi online di change.org melalui “Hapuskan Upah Padat Karya. Upah Minimum Tak Bisa Kurang.” https://www.change.org/p/joko-widodo-hapuskan-upah-padat-karya-upah-minimum-tak-bisa-kurang Melalui media sosial, kami juga berharap Anda menyampaikan suara-suara rakyat ini ke Presiden Joko Widodo.

Salam pembebasan!

Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia, Pokja Buruh Perempuan, Federasi Serikat Umum Indonesia, SBSI92, GSBM

tulisan ini diambil dari buruh.co

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Berbagi Kebaikan di Tanah Papua (1)

Bersama anak – anak Papua Cerita ini ditulis oleh Suster Maria Pietronella, FCh yang kini sedang mendampingi buruh perempuan di Palembang. Sebelum ke Palembang ia sempat

Menilik arti kemerdekaan dari ilusi Kekerasan Simbolik

Saya memaknai langsung, bahwasannya narsisme pejabat di jalan dalam bentuk sampah visual, hingga lenggak-lenggok mereka dalam balutan baju adat berharga selangit tak lebih dari kekerasan simbolik negara yang terus-menerus mengiritasi. Kekerasan yang  tidak hanya merusak pandangan kita namun juga nurani kita. Bagaimana tidak, setiap perayaan demokrasi, direduksi menjadi ‘coblosan’. Rasanya kita dibuat mati rasa, dan mati nurani karena terus-menerus dibombardir dengan banyaknya laku narsis para calon yang mengaku akan mewakili suara kita di arena pemilihan umum.

Kesehatan Reproduksi Buruh Perempuan

Siang itu, sebut saja Ina, seperti biasa bekerja di sebuah pabrik garmen di KBN Cakung. Sebuah kawasan industri milik Pemrov DKI. Hari itu, Ina sedang