foto diambil dari http://media.nationalgeographic.co.id/daily/640/0/201505210903343/b/foto-pisowanan-agung-rakyat-yogyakarta-20-mei-1998.jpg
Oleh Ambar
Catatan buruh 18 tahun reformasi
Seingat kita, dulu gerakan 1998 meledak perlawanan untuk menolak korupsi, kemiskinan, dan lainnya, termasuk politik pemerintahan yang tidak demokratis dan campur tangan militer dalam politik. Sehingga, setelah reformasi, yang dimunculkan adalah kabar tentang kebebasan politik (pemilu demokratis, parpol tidak terbatas, bebas berorganisasi,dll) dan pembatasan militer dalam urusan sipil (termasuk pemisahan polisi dan tentara). Semua bentuk politik Orde Baru digugat, bahkan pemutaran wajib film 30 September pun dicabut.
Gerakan buruh adalah termasuk bagian yang memanfaatkan politik setelah reformasi. Banyak serikat muncul, berani berorganisasi dan menuntut dengan demonstrasi, bahkan mogok naisonal. Pun, juga mengusung isu demokrasi, HAM dll. Termasuk memperjuangkan 1 Mei sebagai hari perjuangan buruh, yang di masa Orba diharamkan. Setelah belasan tahun, akhirnya 1 Mei dijadikan hari libur.Sebuah hari libur di luar hari keagamaan, selain 17 agustus.
Dulu, di masa Orde Baru, kabarnya susah sekali bagi buruh dan rakyat bisa berpendapat beda dengan pemerintah. Marsinah dan teman-temannya, misalnya, menuntut upah saja dianggap komunis, dikriminalisasi, bahkan dibunuh tanpa disebut siapa yang membunuh.
Sekarang, 18 tahun setelah reformasi, ketika buruh dan rakyat sudah memiliki banyak organisasi dan punya banyak keberanian bicara, situasi berubah, tapi belum banyak beda dengan Orde baru.
Semisal, buruh menolak PP 78 dianggap kriminal, sehingga harus ditangkap dan diadlili. Penguasa yakin bahwa buruh menolak PP 78 harus diadili karena akan buat kerusuhan. Hanya sekedar “berbau” kerusuhan (belum rusuh), penguasa sudah yakin bakal rusuh, lalu bikin rusuh duluan dengan main pukul.
Adalah hal umum sekarang di gerakan buruh, khususnya di kawasan industri dan pabrik besar, buruh dicurigai (‘berbau’) sebagai penghambat investasi. Hanya karena buruh berani protes terhadap pelanggaran pengusaha. Kriminalisasi bukan hanya kepada aktivis buruh yang sekarang diadili, tapi juga kepada semua buruh yang protes. Makanya, di kawasan industri tertentu, vulgar dinyatakan buruh dilarang demonstrasi, tanpa peduli bagaimana nasib buruh dalam cengkraman pengusaha di kawasan tersebut.
Bagi buruh dan serikat buruh yang ‘tercium’ (berbau) berani, menjadi sasaran pengawasan, intimidasi, dan terus diupayakan diberangus.
Tidak beda dengan rakyat lainnya, buruh yang dianggap memiliki ‘bau’ perlawanan, kembali mendapat pengawasan dan pengamanan. Bahkan sekarang, beberapa anak muda yang tidak boleh tahu sejarah, ditangkap gara-gara dianggap memiliki ‘bau’ partai komunis masa lalu. Buku yang dianggap ‘berbau’ komunis pun dibredel dan dibakar (entah yang seperti apa namanya ‘berbau’ komunis itu, ansih terserah mau penguasa). Rejim reformasi kok anti dan takut dengan pengetahuan. Itu sih sudah menyalahi takdir dan bukan reformasi namanya.
Cek saja bagaimana Jokowi keliling dunia memanggil investasi. Apakah menegaskan agar semua investor yang masuk menghargai pekerja dan rakyat Indonesia ? Atau sebaliknya malah kampanye murahnya tenaga kerja dan perlindungan mutlak bagi pengusaha.
18 tahun lalu Soeharto mundur karena rakyat menolak Orde baru. Tak disangka, sekarang muncul Orde Bau. Iya sih, jelas karena gerakan buruh dan gerakan rakyat yang masih kurang kuat, sehingga sejarah perjuangan mahasiswa dan rakyat di 1998 dilupakan. Bila dulu, Soeharto dianggap biang kerok lalu digulingkan, kini malah Soeharto banyak dimunculkan terus supaya jadi pahlawan. Di saat bersamaan, besar pula kehendak penguasa menyempitkan ruang politik rakyat. Orde baru dan Orde bau toh sama-sama mencurigai rakyat, sama-sama membuat rakyat saling curiga, dan sama-sama memberikan Indonesia hanya kepada para pengusaha.
Bila demokrasi diberangus, pertemuan tak boleh, diskusi tak boleh, menonton film tidak boleh. Sedikit berlawan dilabeli komunis, baca buku dilabeli komunis. Apa iya kita sebagai buruh dan rakyat masih bebas mengeluarkan pendapat, menuntut hak, apalagi mogok nasional menuntut kesejahteraan.
Makin jelas, tanpa demokrasi kita susah berjuang hak. Tanpa demokrasi, tidak ada kesejahteraan dan kesetaraan.
Tabik