Dari Angka Menjadi Suara
Berangkat dari Konferensi Perempuan Jakarta bertajuk “Melawan dan Bebas Kekerasan Seksual” yang digagas oleh Perempuan Mahardhika pada 19 Oktober 2013, semangat baru memerangi kekerasan seksual terhadap perempuan dimunculkan, terutama di Ibu Kota Jakarta. Semangat tersebut lahir dari komitmen 150 peserta konferensi dari berbagai daerah di Jakarta, bahkan di luar Jakarta. Sebagian dari peserta adalah perwakilan dari berbagai komunitas warga Jakarta dengan latar belakang yang berbeda-beda, baik kaum miskin kota, pelajar, mahasiswa hingga buruh. Mereka disatukan dalam satu semangat melawan kekerasan seksual yang sudah darurat. Semangat tersebut mencerminkan kehendak untuk terlibat dalam membangun Jakarta yang bebas kekerasan seksual, dengan kemauan bekerja bersama untuk mengatasi masalah kekerasan seksual.
Hampir di seluruh Indonesia, kekerasan seksual terus meningkat tajam. Sebelumnya, Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menetapkan Indonesia darurat nasional kejahatan seksual terhadap anak (republika.co.id, 18 Juli 2013). Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) beberapa waktu lalu bahkan sudah meminta agar pelapor khusus PBB bidang Kekerasan terhadap Perempuan didatangkan ke Indonesia untuk membantu mengatasi tingginya angka kekerasan seksual (Komnas Perempuan, 14 Oktober 2013). Tanpa adanya penanganan yang cepat, setiap warga negara, terutama perempuan, akan terus diteror oleh rasa takut. Rasa takut jika diri sendiri, orang terdekat, keluarga menjadi korban, sekaligus waswas menjadi pelaku kekerasan seksual.
Relawan Perempuan Jakarta
Masyarakat memiliki kemampuan untuk memberdayakan diri sendiri menjadi lebih baik, dengan mengembangkan solidaritas antar warga, dan bergerak bukan karena uang. Kala kekerasan seksual menjadi kegelisahan bersama seperti sekarang ini, maka semua warga terdorong untuk memberi kontribusi dalam menangani kekerasan seksual. Kontribusi sebagai bentuk partisipasi warga inilah yang mengemuka dalam pendiskusian Konferensi Perempuan Jakarta yang terselenggara di Wisma PKBI tersebut.
Di tengah angka kekerasan seksual yang kian tinggi, pemerintah, partai-partai politik dan institusi demokrasi lainnya, dinilai tidak bisa bergerak cepat dalam menangani kekerasan seksual. Dalam banyak kasus, bahkan aparatur negara, termasuk di dalamnya kepolisian dinilai tidak punya perspektif korban dalam menangani kasus kekerasan seksual dan cenderung menyalahkan korban. Padahal, kejahatan seksual ini telah menembus ruang-ruang terdekat warga, dimana korban dan pelaku adalah orang-orang terdekat. Artinya bahaya kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja, kapan saja, oleh siapa saja. Karenanya, peran aktif warga menjadi penting dalam mewujudkan Jakarta bebas kekerasan seksual.
Langkah paling penting dalam menyelesaikan kekerasan seksual adalah pencegahan. Dalam hal ini, warga sendirilah yang punya kemampuan besar melakukan pencegahan. Pencegahan tersebut bisa dengan mengajak orang terdekat untuk mengenali apa itu kekerasan seksual. Orang terdekat itu bisa suami, kekasih, adik, kakak, orang tua dan sahabat, bahkan bisa meluas ke tetangga sesama warga Jakarta. Bila ajakan tersebut meluas dan setiap warga mengajak orang-orang terdekatnya, maka semakin banyak orang yang mengenal dan sanggup mencegah kekerasan seksual. Ajakan tersebut bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja, seperti di sekolah, kampung sendiri, tempat kerja dan lain lain. Ajakan ini adalah wujud sederhana dari solidaritas yang bisa menjadi kekuatan bagi sesama perempuan dan warga untuk menciptakan rasa aman.
Solidaritas seperti di atas bisa dilakukan berbasis relawan. Selama ini, berbagai kegiatan berbasis relawan terbukti bisa berjalan di Jakarta, yang mana, di dalamnya banyak perempuan terlibat serta menjadi bagian penting. Berhasilnya Jokowi dan Ahok jadi Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta sekarang, adalah salah satu contoh nyata dari kekuatan para relawan. Kekuatan para relawan ini juga tampak dari setiap peristiwa bencana alam, dimana para relawan bergerak membantu para korban bencana. Para relawan ini, di dalamnya terdapat banyak perempuan yang memiliki peran cukup besar. Pengalaman menjadi relawan, bukan hal yang asing bagi perempuan. Maka, kaum perempuan pun pasti bisa mengembangkan kekuatan solidaritas, sebagai jaringan relawan melawan kekerasan seksual. Hanya butuh dukungan dan kepercayaan kepada kaum perempuan untuk membangun semua itu.
Dengan menjadi bagian dalam langkah nyata melawan kekerasan seksual pada perempuan, maka warga tidak hanya terpaku pada angka dan data tingkat kekerasan seksual, namun juga memiliki data keterlibatannya sendiri. Kaum perempuan pun demikian, tidak hanya menjadi angka dan data sebagai korban namun menjadi bagian yang sanggup aktif melawan kekerasan seksual. Kepercayaan diri, keberanian, hingga rasa bangga sebagai bagian masyarakat akan kembali menjadi milik perempuan, ketika pada akhirnya angka kekerasan seksual terhadap perempuan bisa ditekan rendah berkat peran serta perempuan bersama warga.
Menjadi Aksi Afirmatif untuk Kesetaraan
Akar persoalan kekerasan seksual saling berkaitan. Salah satu yang utama adalah kesadaran atau budaya penomorduaan dan pengobjekan perempuan secara seksual. Hingga kini, diseluruh dunia perempuan dihimpit oleh budaya patriarkis semacam itu. Namun, karena keseluruhan sistem ekonomi dan politik kapitalisme tidak berpihak pada perempuan, maka budaya ini pun tidak bisa dengan sistematis kita berantas. Kerja bersama Jaringan Relawan Perempuan dan Warga Jakarta Melawan Kekerasan Seksual, layak dihargai sebagai bagian dari langkah nyata untuk mendorong maju kaum perempuan mendobrak dari bawah budaya kekerasan itu.
Dalam persoalan kekerasan seksual, perempuan tak hanya menjadi korban, namun juga menjadi korban ketidakadilan dan diskriminasi pasca kejadian. Di dalam penanganan hukum seringkali dikaitkan dengan pakaian/penampilan, perilaku dan lain-lain. Pandangan merendahkan perempuan, menjadikan perempuan sebagai obyek seksual, membuat perempuan korban kekerasan seksual mengalami penindasan berlipat ganda. Tak jarang, rasa bersalah, malu justru lebih sering dialami perempuan korban dari pada pelaku.
Menjadi bagian relawan melawan kekerasan seksual, bagi perempuan juga bermakna partisipasi, sekaligus mempertahankan hak di ruang-ruang publik yang biasa diakses oleh warga lainnya. Di sisi lain, keterlibatan perempuan termasuk perempuan korban, memberi celah besar bagi terwujudnya penerimaan kesetaraan. Dalam hal ini, Jaringan Relawan Perempuan dan Warga Jakarta Melawan Kekerasan Seksual merupakan aksi afirmatif bagi kesetaraan perempuan, yang dijalankan secara massal oleh kaum perempuan dan warga Jakarta.
Ibu rumah tangga, remaja sekolah, mahasiswa, buruh perempuan, aktivis perempuan, serta laki-laki pendukung hak perempuan, yang datang di Konferensi Perempuan Jakarta, secara umum menyatakan perlunya gerakan bersama perempuan dan warga Jakarta melawan kekerasan seksual, serta menyiapkan diri sebagai relawan-relawan. Semoga dukungan cepat mengalir, termasuk dari Jokowi-Ahok yang pada setahun pemerintahannya juga mengajak warga dan komunitas menyampaikan aspirasi bagi kemajuan Jakarta.
DST