peluncuran AJS/mul/suara kpbi
Hari itu, Senin, 15 Mei 2017, “Angka Jadi Suara”, sebuah film dokumenter karya buruh perempuan diluncurkan di Erasmus Huis, Pusat Kebudayaan Belanda. Kurang lebih 100 orang dari berbagai kelompok perempuan dan buruh berdatangan dan bercengkrama sambil menanti film karya buruh perempuan itu diputar.
15 menit menuju jam 3 sore, gong tanda film akan dimulai dibunyikan. Perlahan para peserta naik ke lantai dua dan memasuki ruang auditorium. Film bertema pelecehan seksual di tempat kerja ini mengambil latar di KBN (Kawasan Berikat Nusantara) Cakung, menceritakan kelompok buruh perempuan bernama Komite Buruh Perempuan yang memperjuangkan pemasangan plang di kawasan industri. Pemutaran film ini diikuti dengan dialog (buruh) perempuan yang menghadirkan beberapa pembicara, yaitu, Dian Septi Trisnanti (Sutradara), Ima Puspita Sari (Pembuat Film Perempuan), Ilhamsyah (Ketua Umum KPBI/Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia) dan Yuni Chuzaifah (Komnas Perempuan).
Dian Septi Trisnanti, sutradara “Angka Jadi Suara”menyampaikan plang tersebut adalah bentuk pengakuan bahwa pelecehan seksual adalah masalah. Sehingga korban tidak akan merasa sendiri. Sementara, terkait apakah dengan pemasangan plang, jumlah korban pelecehan seksual sudah berkurang, belum diketahui dengan pasti karena belum ada riset lanjutan. Apalagi mengadukan kasusnya, adalah tantangan tersendiri bagi korban.
Sementara itu Ima Puspita Sari, seorang pembuat film perempuan, selaku mentor atau pendamping kru film AJS menyatakan rasa salutnya kepada kru film AJS yang sebagai buruh mau meluangkan waktu dan berkomitmen untuk belajar. Bagi Ima sendiri, ia belum tentu sanggup memfilmkannya “Dalam film ini, aku mendampingi teman teman buruh untuk riset, dan di dalam proses itu ada yang berkesan, keluar masuk hunian buruh, itu sangat menekan emosional. Kalau aku bertugas mengambil gambar atau video, aku nggak akan sanggup”
Posisi serikat buruh dan gerakan buruh terkait problem kekerasan seksual adalah penting, oleh karena itu, penting gerakan buruh turut ambil bagian dalam isu ini.
Ilhamsyah, ketua umum KPBI, yang akrab dipanggil Boing, menyampaikan, pelecehan seksual tidak hanya terjadi di tempat kerja tapi juga di kereta api, di jalan, di rumah dan banyak tidak disadari orang sehingga dianggap biasa. Itulah kenapa betul ketika FBLP mengangkat tema ini ke permukaan.
“Dan bagaimana serikat buruh harus bicara secara keberlanjutan tentang problem ini, bicara tentang gender, laki-laki juga harus diajak belajar, karena kesadaran masih sedikit yang merasa itu pelecehan, laki-laki merasa tidak tahu.”
Yuni Chuzaifah, Komnas Perempuan, menambahkan pada tahun 1990 an gerakan awal Perempuan progresif, dipantik dengan kasus Sulastri, seorang buruh perempuan rumah tangga yang dianiaya majikan. Begitu juga dengan kasus Marsinah, seorang buruh perempuan Sidoarjo yang mengalami kekerasan seksual ketika dibunuh karena menuntut kenaikan upah. Keduanya, sama sama buruh perempuan, yang memantik gerakan perempuan progresif.
Isu kekerasan pada perempuan, ungkap Yuni, bukan hanya isu perempuan, tapi juga isu kemanusiaan, sehingga merupakan isu bersama, isu gerakan rakyat.
Setelah para pembicara menyampaikan pendapat, beberapa peserta dari ragam kelompok memberi tanggapan.
Patiah dari Perhimpunan Jiwa Sehat menyampaikan untuk kelompok disabilitas kondisinya lebih parah, karena untuk menyampaiakan apa yang dirasakannya mengalami kesulitan, tuna rungu misalnya. Sehingga butuh pendampingan dan perhatian khusus bagi kaum difabel.
Sementara itu, Budhis – kapal Perempuan, mengataka“Kami menekankan pada isu kepemimpinan perempuan, karena 60 persen buruh adalah perempuan, sehingga persoalan buruh perempuan harus diangkat. Selain upah layak kerja layak juga harus diangkat isu Perempuan. Ini adalah kekerasan seksual, melihat dari testimoni. Kalau serikat tidak dipimpin Perempuan mustahil bisa angkat isu ini. Perempuan jangan ditempatkan dalam hal-hal domestik, makanya penting melihat serikat kita masing-masing mereformasi agar peduli terhadap isu Perempuan.”
Tak kalah seru, lelaki turut memberikan apresiasi dan dukungan terhadap film dokumenter AJS. Salah satunya adalah Bayu, dari SIMPONI. “Kita harus bangga karena, ini inisiatif banget. Ini mengungkap diri kami sebagai laki-laki, ya seperti ini laki-laki, dalam beberapa hal kami ga sadar, kami upload di Media sosial dan minta untuk diputar di SIMPONI. Soal pelibatan laki-laki memang penting untuk terlibat dalam isu-isu Perempuan.”
Bono, SERBUK (Serikat Buruh Kerakyatan) menceritakan betapa sulitnya ia mengungkap kasus pelecehan seksual “Kami sangat kesulitan untuk mengungkap, karena di Serbuk di divisi Perempuan masih baru jadi ini adalah wawasan baru untuk semua.”
Kekerasan seksual lebih parah lagi terjadi di buruh perkebunan. Sandi dari Serbundo (Serikat Buruh Perkebunan Indonesia) mengisahkan kasus perkosaan yang dilakukan oleh manajer di ruang publik tapi belum cukup kekuatan untuk mengungkap kasus itu. “Sampai sekarang manager masih bekerja dan korban di PHK dengan sejumlah uang.”
Ketakutan buruh perkebunan mengungkap kasus perkosaan seiring sejalan dengan takutnya buruh perempuan yang juga istri dari buruh perekebunan, untuk berserikat.
Di penghujung dialog, para peserta dari berbagai kelompok buruh dan perempuan tersebut bersepakat untuk memutar AJS di kelompoknya datau di daerahnya masing – masing dan mendialogkan “Kekerasan Seksual”. Pun juga untuk memenangkan Rancangan Undang – Undang Penghapusan Kekerasan Seksual agar segera disahkan sebagai pelindung bagi perempuan Indonesia.
Film AJS sendiri selain di Jakarta, sudah diputar di Bandung, Bali, dan dalam waktu dekat akan diputar di Bekasi, Karawang, Semarang, Purwokerto. Sementara itu, buat Sahabat Marsinah yang belum menonton silahkan hadir di Open Screening Angka Jadi Suara, di YLBHI, Lantai I, Jalan Pangeran Diponegoro No.74, Jakarta Pusat, Jam 13.00 – 15.00 WIB, sambil berakhir pekan, Sabtu, 20 Mei 2017