Mengupas Citra TNI di Mata Masyarakat

Ruang digital yang seharusnya menjadi ruang demokratis, justru dikendalikan oleh kekuatan modal dan militer. Internet bukan ruang yang netral: “dari awal, internet itu proyek militer,” ujar Evy.

Citra TNI: Penuh Glorifikasi dan Delusi

Di suatu Jumat malam, tepatnya pukul 19:30 WIB, Marsinah.ID berkesempatan menghelat talkshow di platform IG @marsinahid berjudul “Mengupas Citra TNI di Mata Masyarakat dan Bagaimana Menyikapinya”, yang menghadirkan dua narasumber antara lain Evy Z (Sindikasi) – Pengamat media dan budaya digital dan Arif Maulana (YLBHI) – Direktur Advokasi YLBHI

Talkshow tersebut dibuka dengan paparan data Litbang Kompas (2023) yang mencatat bahwa 90,7% masyarakat Indonesia menyatakan percaya pada TNI. Citra ini terbentuk bukan tanpa sebab—media, sinetron, kampanye digital, bahkan algoritma media sosial memainkan peran besar dalam membentuk persepsi publik terhadap militer.

Evy Z menyoroti bagaimana figur militeristik seperti Prabowo bisa menang Pilpres dengan membangun citra “pahlawan kuat penyelamat bangsa”, meski masa lalu Prabowo jauh dari kata bersih dan penuh darah. Dengan belanja media sosial terbesar (Rp8,67 miliar), narasi heroik militer menjadi jualan utama. Sayangnya, narasi ini berlangsung dalam “bubble” algoritma yang memperkuat ruang gema (echo chamber) masing-masing orang—menyebabkan publik hanya terpapar pada informasi yang meneguhkan keyakinan mereka. “Kadang pencitraannya itu menggelikan,” kata Evy, “tapi kapitalisme membuat kebohongan bisa dibentuk asal ada modal.”

Ruang digital yang seharusnya menjadi ruang demokratis, justru dikendalikan oleh kekuatan modal dan militer. Internet bukan ruang yang netral: “dari awal, internet itu proyek militer,” ujar Evy. Bahkan hari ini, anonimitas akun organisasi bisa dibongkar dengan mudah, dan UU TNI (Pasal 7 ayat 2b) berpotensi menjadi alat justifikasi bagi Negara untuk mengambil kebijakan-kebijakan koersif-militeristik yang membatasi ruang sipil di dunia maya, selain potensi tumpang tindih wewenang dengan UU ITE dan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber. Dengan berkembangnya AI dan pelacakan data, pengawasan terhadap warganet juga menjadi semakin intensif.

Namun, Evy menekankan pentingnya perlawanan warganet. Dari aksi kolektif “Indonesia Darurat”, “Indonesia Gelap”, aksi solidaritas Myanmar, hingga konten viral membedah gorengan bakwan yang ternyata bermuatan politis, semua menunjukkan bahwa warga bisa mengubah narasi. “Jangan bicara hanya di lingkaran sendiri. Politik juga bisa hadir di arisan, warung, atau ruang-ruang informal,” tambahnya.

Militerisme Pasca Reformasi: Lupa atau Sengaja?

Arif Maulana dari YLBHI memaparkan bagaimana reformasi 1998 sebenarnya telah menegaskan satu hal: militer tidak boleh berpolitik, tidak boleh berbisnis, dan harus menjadi alat pertahanan negara yang profesional. Namun realitas hari ini menunjukkan kebalikannya.

Berdasarkan catatan Imparsial, melalui berbagai MoU ilegal, TNI kini aktif terlibat dalam lebih dari 41 kerjasama dengan kementerian dan lembaga, tanpa persetujuan DPR atau MPR. Sebanyak 1.367 personel aktif TNI kini tersebar di 18 kementerian dan lembaga non-kementerian, dari jumlah tersebut 111 personel TNI aktif menjabat di 9 instansi yang tidak termasuk dalam 10 instansi yang diizinkan oleh UU TNI pasal 47 ayat (2). Bahkan, TNI kini terlibat dalam urusan food estate, pengadaan pangan bergizi, hingga menangani vaksinasi saat pandemi—fungsi-fungsi sipil yang seharusnya ditangani oleh masyarakat sipil.

Problem yang paling serius adalah penempatan TNI di proyek-proyek strategis nasional (PSN), termasuk di lahan sawit Kalimantan hingga pengamanan di Papua. YLBHI mencatat bahwa hingga Juli 2024, 2.887 prajurit dikerahkan ke Papua tanpa dasar hukum yang sah. Ini menghidupkan kembali model Darurat Militer, hanya saja dibungkus dengan istilah baru seperti “KKB” atau “Kelompok Kriminal Bersenjata”. Tindakan ini tidak hanya ilegal, tapi membahayakan keselamatan sipil karena dilakukan di area pemukiman warga, bukan medan perang.

Arif juga menyinggung bahaya model kerja militer masuk ke birokrasi sipil. Sistem militer yang berbasis komando tidak kompatibel dengan sistem demokrasi yang mengedepankan musyawarah dan dialog. Penempatan TNI di jabatan sipil merusak jenjang karir ASN dan menciptakan ketidakadilan struktural. Bahkan ketika prajurit aktif melakukan pelanggaran hukum, mereka tetap diadili oleh peradilan militer—bukan pengadilan umum—yang membuat mereka kebal terhadap hukum yang berlaku untuk warga sipil.

Menjawab Narasi Ilutif Militerisme dengan Imajinasi Kolektif

Di akhir diskusi, kedua narasumber sepakat bahwa akar persoalan militerisme tidak hanya ada di kekuasaan, tapi juga dalam imajinasi publik. Kita terlalu lama dibiasakan percaya bahwa hanya tentara yang bisa menyelamatkan bangsa. Padahal, sejarah mencatat bahwa perjuangan rakyat sipil—buruh, perempuan, guru, jurnalis, diplomat, bahkan fotografer—adalah bagian penting dari kemerdekaan Indonesia.

Untuk itu, kita perlu memproduksi kembali narasi alternatif. Tidak harus berupa tulisan akademik. Bisa lewat puisi, film, sinetron tandingan, media komunitas, atau percakapan sehari-hari. Demokrasi harus ditanam ulang di ruang-ruang kecil: di warung, arisan, obrolan antar generasi.

“Yang paling penting adalah memperkuat solidaritas warga dan terus merawat ruang sipil,” tegas Evy. “Internet memang bukan ruang demokratis, tapi kita tetap bisa menjadikannya alat perjuangan jika digunakan secara kolektif, kritis, dan imajinatif.”


Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

(15) HARI

Peserta Pondok Mahasiswa Gelombang 3  Oleh Lanang Jagad   Lima belas hari sudah kita di pondok Tanpa cape, lelah mengikuti kegiatan Ada siang ada malam

Koalisi Masyarakat Sipil: Pernyataan Menteri Pertahanan tentang DPN Langgar Prinsip Reformasi Sektor Keamanan  

“Kita sudah melihat bagaimana keterlibatan militer dalam proyek Rempang Eco-City berakhir dengan represif terhadap warga. Begitu juga di Merauke, kehadiran aparat dalam proyek food estate malah memicu konflik dengan masyarakat adat. Jika DPN kini diberikan wewenang untuk menangani urusan sipil lainnya, kita khawatir kasus serupa akan terus terulang,” tegas Usman.  

PROGRAM SIARAN

  ‘Cermin’, berupa dua kali talkshow interaktif dan sekali diskusi publik, tentang diri dan persoalan perempuan. Dipandu oleh buruh perempuan yang aktif bertanya sebagaimana pertanyaan

Buruh Perempuan Melawan Pingitan Kerja

Pingit, budaya yang melarang perempuan aktif di sektor publik, ternyata masih ada hingga zaman modern. Budaya ini kembali muncul di zaman modern dalam bentuk belenggu

Mewarisi Pemikiran Kartini, Berani Mengembangkan Gagasan Progresif 

Di balik dinding pingitan, Kartini mengembangkan gagasan yang berani dan progresif melampaui jamannya. Di tengah kultur sosial masyarakatnya yang kolot, mengecilkan makna gagasan dan pemikiran apalagi dari seorang perempuan, Kartini punya keberanian menggoreskan pena. Lalu apakah menggoreskan pena, jauh lebih tidak berani dari pertarungan gagah berani di medan perang? Medan perang pun butuh siasat dan strategi, sebuah pemikiran yang jitu untuk memenangkan pertarungan. Demikianlah, perjuangan dengan pena adalah sama tajam dan beraninya dengan aksi di medan perang.

Bumi Manusia Episode 2

Pembacaan Bumi Manusia Episode 2 bisa didengarkan di bawah ini. Facebook Comments Box