Search
Close this search box.

TARGET

Oleh : Thin Koesna

“Kalau belum dapat target belum boleh pulang ayoo buruan kerjanya!”, teriak pengawas atau yang lebih keren, namanya supervisor. Sang supervisor ini setiap jam selalu teriakkan target. Bila dipikir-pikir, supervisor itu diupah bukan untuk kerja, tapi untuk teriak. Begitu juga manajer produksi, kalau target tidak tercapai, semua departemen dimarahi, termasuk departemen sewing (menjahit). Manajer produksi akan memarahi Chief, Chief lalu memarahi supervisor, supervisor memarahi operator jahit, lalu operator jahit atau buruh marah sama siapa? padahal yang menghasilkan produksi itukan buruh.

Namanya target setiap menit jadi bahan pembicaraan apalagi kalau style baju yang mau dijahit susah, pasti waktu terasa lama di tempat kerja. Sudah jahitan susah, mesinnya rusak, mekanik susah kalau disuruh betulin mesin, sekalinya mau betulin sambil ngomel- ngomel. Katanya, kami- kami ini nggak bisa jahit, kalaupun nggak ngomel- ngomel sukanya colak – colek (ini pelecehan seksual lho).

Buruh garmen selalu bilang kalau target itu biang keroklah, apalah, anulah sebab target ini menjadi salah satu pemicu konflik antar buruh, baik itu dengan atasan atau dengan teman sendiri. Salah satu contohnya seperti yang terjadi beberapa waktu lalu di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung di perusahaan T, karena target, terjadi konflik antara buruh (operator sewing, buang benang dan quality control). Permasalahan itu bermula dari baju yang sudah dijahit harus dibuang benangnya, agar tidak ada benang yang panjang, setelah dibuang benangnya, lalu diperiksa oleh quality control. Namun, karena targetnya tinggi dan buru- buru, seorang buruh di bagian buang benang kurang bersih membuang benangnya, sehingga target tak tercapai dan terjadi penambahan jam kerja yang tidak dihitung lembur. Sementara itu, operator jahit, buang benang dan quality control dituntut untuk menghasilkan kuantitas sesuai target, dengan kualitas yang juga bagus.  Situasi inilah yang kemudian menimbulkan konflik antar buruh, dimana buruh buang benang merasa kesal karena wajahnya dilempar baju oleh seorang buruh bagian quality control yang juga jengkel karena benang tak rapi terbuang dari baju produksi. Kekesalan itu lalu memuncak dan mendorong sang buruh buang benang mencampur air minum quality control dengan cairan thiner yang biasa di gunakan untuk membersihkan karat. Lalu terjadilah seperti yang diberitakan di berbagai media, buruh quality control itu dilarikan ke Rumah Sakit, setelah minum air mineral yang sudah tercampur dengan thiner. Hingga kini, kasus tersebut ditangani oleh pihak kepolisian.

Lantas kenapa ini terjadi ?

Pengusaha yang hendak memaksimalkan produksi untuk memenangkan persaingan pasar, menekan buruhnya untuk memproduksi baju dalam jumlah banyak dengan kualitas bagus. Tanpa memikirkan letihnya buruh sebagai manusia, pengusaha terus menerus memaksakan target yang tinggi, yang seringkali tidak masuk akal. Bila tidak tercapai, jam kerja ditambah dan tidak dibayar atau bilapun dibayar, tidak sesuai dengan UU Ketenagakerjaan

Masih banyaknya buruh yang belum berserikat dan kurang memahami hak- hak kerjanya membuat banyak buruh yang mau saja dilemburkan begitu saja. Padahal, UU Ketenagakerjaan No.13/2003 mengatur bahwa lembur  harus berdasarkan kesepakatan buruh dan pengusaha

Hal ini terdapat dalam Pasal 78 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi:

(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat:

  1. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
  2. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

Hal serupa juga diatur dalam Pasal 6 Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No. KEP-102/MEN/VI/2004 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur:

Pasal 6

(1) Untuk melakukan kerja lembur harus ada perintah tertulis dari pengusaha dan persetujuan tertulis dari pekerja/buruh yang bersangkutan.

(2) Perintah tertulis dan persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibuat dalam bentuk daftar pekerja/buruh yang bersedia bekerja lembur yang ditandatangani oleh pekerja/buruh yang bersangkutan dan pengusaha.

(3) Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus membuat daftar pelaksanaan kerja lembur yang memuat nama pekerja/buruh yang bekerja lembur dan lamanya waktu kerja lembur.

Jadi, bila buruh tidak mencapai target, pengusaha semestinya memberikan surat perintah lembur dan buruh punya hak menerima maupun menolak lembur. Pengusaha tidak punya hak memaksakan lembur, apakagi tanpa bayar atau dibayar tak sesuai Undang – Undang Ketenagakerjaan.

Ketidaktahuan buruh terkait hal tersebut kerap dijadikan kesempatan oleh pengusaha untuk terus menekan buruh dan memeras tenaga buruh agar terus bekerja dan terus memberikan loyalitas tanpa batas, guna memenuhi hasrat  pengusaha untuk mendulang keuntungan dengan memenangkan persaingan pasar. Kerakusan pengusaha yang selalu ingin keuntungan berlipat ganda nyaris tanpa batas maupun kontrol dari negara. Dengan alasan kejar ekspor, pengusaha menekan buruh, dan seringkali dengan alasan gagal ekspor pengusaha  tidak mau bayar upah. Alasan gagal ekspor ini kerap dijadikan dalil pengusaha menakut- nakuti buruh agar buruh  taat pada peraturan target yang ngaco ini.

Target yang menjadi bagian dari sistem persaingan antar pengusaha, akhirnya juga menjadi persaingan antar buruh di pabrik.Tak jarang dengan iming-iming bonus terhadap buruh yang berhasil mencapai target, sesama buruh pun saling sikut. Demi bonus tak seberapa, perkawanan antar buruh dikorbankan. Namun, pengecualian bagi buruh yang sudah sadar berserikat dan berjuang. Buruh yang sadar akan lebih memilih menguatkan solidaritas antar buruh untuk menolak target, memperjuangkan lembur sesuai Undang – Undang Ketenagakerjaan dan sulit diadu domba.

Sistem persaingan pasar bebas yang diagung – agungkan pemilik modal demi keuntungan sebesar-besarnya inilah yang mesti dilawan oleh kaum buruh. Sebuah sistem yang mendunia sehingga butuh keterlibatan sebanyak- banyaknya rakyat tertindas. Karenanya, sesama kaum buruh sebaik – baiknya saling mengenal satu sama lain, bersimpati, berempati dan bersolidaritas. Pun juga dengan rakyat di luar buruh yang mengalami ketertindasan yang sama. Melatih solidaritas adalah keniscayaan dan dipupuk dalam kehidupan sehari – hari untuk mencapai tujuan bersama, kesejahteraan hidup. Inilah yang selalu dituntut buruh sepanjang waktu, di setiap kesempatan, pun dalam setiap momentum bersejarah. Salah satunya, tentu saja momentum 1 Mei (May Day)

HIDUUP BURRUH

 

 

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

BURUH KONTRAK HARUS BERSERIKAT

Oleh: (Jumisih – FSBPI-KPBI) Banyak pihak berpendapat bahwa buruh kontrak tidak perlu berserikat karena toch akan terPHK. Logika ini keliru. Justeru karena status kita adalah

Buruh Perempuan Bicara KDRT

Meski era semakin maju, alat komunikasi semakin canggih, dimana kita bisa mengakses  informasi apapun. Meski sudah sering lembaga-lembaga pemerintah dan organisasi perempuan mengadakan pendidikan, pemahaman

DI IBU KOTA

kemacetan di KBN Cakung. Putera/dok marsinahfm   Ketika malam sangatlah indah di pandangan mata Cahaya lampu warna warni berkilauan Menghiasi gedung gedung,jalanan,dan pertokoan Sungguh indah

Bukan Suratan

Meski rintih perih tak redup,
Majikan makin bringas tanpa jeda,
Dipanggilnya PRT-PRT lain,
Diperintahnya mereka untuk merantai kaki dan tanganku di kandang anjing,
Dengan segala sumpah serapah.